Minggu, 08 April 2012

Religiusitas dan Absurditas yang Tak Berakhir


Samuel Backett dalam karyanya “Waiting for Godot” menyuguhkan sebuah absurditas dunia dalam kemasan yang ringan dan kocak.  Sebuah penantian tokoh Vladimir dan Estragon terhadap tokoh bernama Godot menjadi inti cerita lakon tersebut. Sosok yang ditunggu itu jelas adalah Godot. Tapi yang datang tokoh lain dan utusan Godot yang mengabarkan tuannya itu tak bisa datang hari ini. Godot akan datang besok.

Keesokan harinya, penantian itu dilakukan lagi. Namun yang terjadi hanya semacam dejavu. Yang datang hanya tokoh lain yang sama dengan kemarin dan utusan Godot. Utusan ini pun menyampaikan tuannya tak bisa datang hari ini dan baru akan datang esok hari.  Kisah tentang penantian ini juga disuguhkan oleh Teater Galau Surabaya yang mementaskan naskah Asu karya Mashuri di Ruang 314 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Sabtu (17/12) malam. Pementasan disutradarai Indra Tjahyadi dengan aktor F Aziz Manna (Malaikat Iblis), Suryadi Kusniawan (Anjing 2), Galih Pradipta (Anjing 3), dan Andika Setyo (Anjing 1).

Ruang panggung tidak menggunakan konvensional proscenium ataupun arena. Karya ini seolah ingin menghilangkan jarak antara dunia penonton dengan dunia panggung. Dalam ruang ada tiga titik panggung yang berjajar diagonal. Dunia Anjing 1 yang dirantai terikat (semacam) pohon, dunia Malaikat-Iblis yang posisinya paling tinggi dibanding dua dunia yang lain, serta dunia Anjing 2 dan 3 yang lebih bebas bergerak. Penonton tersebar diantara ketiga dunia panggung itu. Penonton pun dipaksa hanya bisa menikmati sajian panggung yang paling dekat dengan posisinya. Kalau ingin menikmati dunia yang lain, sedikit ada usaha meski hanya menolehkan kepala.

"Blarr.." Sebuah ledakan sangat mengejutkan di awal pertunjukan dalam kondisi ruangan yang masih gelap. Ledakan itu disusul suara perkusi yang sangat memekakkan telinga.  Terasa seperti Big Bang, salah satu teori penciptaan semesta. Dunia ini tercipta diawali oleh sebuah ledakan yang sangat besar. Dan benar setelah itu lampu panggung Anjing 1 menyala fade in. Anjing itu bergerak-gerak (hanya) mengitari pohon, sambil terus mengaduk-aduk tanah. Lalu lampu meredup. Remang. Anjing 1 tetap saja bergerak. Ya bergerak layaknya anjing.

Di spot tengah lampu fade in. Malaikat-Iblis berdiri sendiri dengan lighting dari bawah membuat bayang-bayangnya bergerak di atap. "Kita memang berada di lahat. Lihatlah tak ada apa-apa, kecuali nafas kita sendiri yang diam dan menggumpal. Lihatlah, kita dibebaskan dari beban lama kita, ingatan-ingatan kita." Setelah itu lampu fade out. Dialog ini menjadi penuntun bahwa setting yang dibangun tersebut adalah alam kematian. Kehidupan baru setelah kehidupan di muka bumi.

Kemudian di spot lain, di pojok tampak Anjing 2 dan 3 mematung. Satu berdiri memegang payung, satunya lagi jongkok di atas tong. Beberapa detik kemudian mereka bergerak, berdioalog dan melakukan adegan percakapan. 
"Kita seperti mahluk asing."
"Tidak, kita diasingkan."
"Kita selalu saja disalahkan
"Tidak. Kita memang menunggu sesuatu."
Dari dialog kedua anjing ini diketahui naskah bercerita tentang alam kematian. Anjing-anjing itu mati dalam gelisah. Lalu lampu black out. Dan Anjing 1 langsung menyahut. "Kita sedang menunggu sesuatu. Kita sedang menunggu sesuatu. Kita sedang menunggu sesuatu. Kita sedang menunggu sesuatu. Kita sedang menunggu sesuatu." Monolog dari Anjing 1 memberi penegasan tentang sebuah penantian para anjing di alam kematian.

Penantian ini jelas lebih absurd dibanding “Waiting for Godot”. Dalam lakon ini sosok atau tokoh yang ditunggu saja tidak jelas. Sosok yang menjadi perdebatan panjang Anjing 2 dan 3. Antara malaikat, iblis dan maut. Mereka masih meragukan kematian yang sudah terjadi. Sampai-sampai di alam barzah itu mereka masih merasa salah satu yang ditunggu adalah kematian. Mereka masih terbebani hal-hal duniawi. Bahkan istri yang cantik juga membuat kegelisahan luar biasa. Seperti kalimat yang diucapkan Anjing 3 kepada Anjing 2. “Kau belum bebas. Kau masih ingat istrimu. Dia memang cantik. Bahkan terlalu cantik untuk dilupakan. Meskipun ia suka selingkuh."

Perdebatan dan penantian ini tidak berakhir. Mereka hanya anjing-anjing yang tidak mau secara ihlas menerima sebuah kematian -yang juga sekaligus sebuah  kehidupan baru-. Sosok Malaikat-Iblis yang sejak awal memunclukan keiblisan dan kemalaikatannya secara bergantian pun jengah dengan segala omong kosong para anjing. "Kalian bukan Musa. Yang ketika didatangi  malaikat maut, mampu menamparnya. Kalian asu!"

Absudirtas simbol tampil sangat meruah pada pementasan ini. Ada semacam kebebasan yang selama ini sering dilupakan dalam sebuah penggarapan pementasan. Dan memang menurut Indra Tjahyadi, tindak penciptaan sebuah pertunjukan teater senantiasa berada dalam situasi yang revolusioner. Dikatakan demikian sebab dalam tindak penciptaan tersebut kreator senantiasa berada dalam situasi perjuangan melawan “sistem”.

Pertunjukan teater, sebagaimana seni pada umumnya, memiliki tradisi-tradisi, mempunyai kaidah-kaidah, memiliki “sistem-sistem”-nya yang baku. Pengkreator pertunjukan teater adalah ia atau mereka yang berusaha untuk melepaskan diri dari pembakuan-pembakuan, fiksasi-fiksasi, penetapan-penetapan secara niscaya yang dihadirkan oleh “sistem” seni pertunjukan teater. Ini dilakukan karena sebuah pertunjukan teater adalah sebuah “perjuangan”.

Merujuk pada pemikiran Laclau dan Mouffe,  dalam situasi revolusioner adalah tidak mungkin bagi kita untuk menentukan secara tetap makna harafiah atas sebuah perjuangan. Sebuah perjuangan senantiasa menghadirkan makna harafiahnya masing-masing, dan dalam kesadaran massa teater, perjuangan tersebut merupakan representasi dari pusat perjuangan yang lebih global melawan “sistem”. Oleh karena itu, dalam situasi revolusioner kesadaran menjadi “aktif” dan “praktis”.

Ini dimungkinkan karena dalam suatu situasi revolusioner, makna dari setiap mobilisasi massa akan tampak terbelah. Mereka tidak akan hanya berada dalam tuntutan-tuntutan harafiah saja, tetapi juga berusaha untuk merepresentasikan keseluruhan proses revolusioner itu sendiri. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila dalam sebuah pertunjukan teater kita akan dihadapkan pada kenyataan melimpahnya penanda oleh petanda. Pelimpahan yang memperlihatkan karakteristik yang khas dari simbol.

Keberlimpahan ini jelas mengakibatkan situasi yang dinamis, yakni bahwa sebuah pertunjukan teater adalah sebuah wacana yang senantiasa berada dalam medan perjuangan kewacanaan. Dengan demikian, segala usaha untuk memfiksasi makna sebuah pertunjukan akan sia-sia, yang ada hanya sebuah dominasi sementara dari satu perspektif. Maka, sebuah pertunjukan teater adalah sebuah wacana kosong yang senantiasa dikitari oleh wacana-wacana mengambang yang berusaha menetapkan makna atasnya.zaki zubaidi

Tidak ada komentar: