Samuel Backett dalam karyanya “Waiting for Godot” menyuguhkan sebuah absurditas dunia dalam kemasan yang ringan dan kocak. Sebuah penantian tokoh Vladimir dan Estragon terhadap tokoh bernama Godot menjadi inti cerita lakon tersebut. Sosok yang ditunggu itu jelas adalah Godot. Tapi yang datang tokoh lain dan utusan Godot yang mengabarkan tuannya itu tak bisa datang hari ini. Godot akan datang besok.
Keesokan harinya, penantian itu dilakukan lagi. Namun yang
terjadi hanya semacam dejavu. Yang datang hanya tokoh lain yang sama dengan
kemarin dan utusan Godot. Utusan ini pun menyampaikan tuannya tak bisa datang
hari ini dan baru akan datang esok hari.
Kisah tentang penantian ini juga disuguhkan oleh Teater Galau Surabaya
yang mementaskan naskah Asu karya Mashuri di Ruang 314 Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga, Sabtu (17/12) malam. Pementasan disutradarai Indra
Tjahyadi dengan aktor F Aziz Manna (Malaikat Iblis), Suryadi Kusniawan (Anjing
2), Galih Pradipta (Anjing 3), dan Andika Setyo (Anjing 1).
Ruang panggung tidak menggunakan konvensional proscenium
ataupun arena. Karya ini seolah ingin menghilangkan jarak antara dunia penonton
dengan dunia panggung. Dalam ruang ada tiga titik panggung yang berjajar
diagonal. Dunia Anjing 1 yang dirantai terikat (semacam) pohon, dunia
Malaikat-Iblis yang posisinya paling tinggi dibanding dua dunia yang lain,
serta dunia Anjing 2 dan 3 yang lebih bebas bergerak. Penonton tersebar diantara
ketiga dunia panggung itu. Penonton pun dipaksa hanya bisa menikmati sajian
panggung yang paling dekat dengan posisinya. Kalau ingin menikmati dunia yang
lain, sedikit ada usaha meski hanya menolehkan kepala.
"Blarr.." Sebuah ledakan sangat mengejutkan di
awal pertunjukan dalam kondisi ruangan yang masih gelap. Ledakan itu disusul
suara perkusi yang sangat memekakkan telinga.
Terasa seperti Big Bang, salah satu teori penciptaan semesta. Dunia ini
tercipta diawali oleh sebuah ledakan yang sangat besar. Dan benar setelah itu
lampu panggung Anjing 1 menyala fade in. Anjing itu bergerak-gerak (hanya)
mengitari pohon, sambil terus mengaduk-aduk tanah. Lalu lampu meredup. Remang.
Anjing 1 tetap saja bergerak. Ya bergerak layaknya anjing.
Di spot tengah lampu fade in. Malaikat-Iblis berdiri sendiri
dengan lighting dari bawah membuat bayang-bayangnya bergerak di atap.
"Kita memang berada di lahat. Lihatlah tak ada apa-apa, kecuali nafas kita
sendiri yang diam dan menggumpal. Lihatlah, kita dibebaskan dari beban lama
kita, ingatan-ingatan kita." Setelah itu lampu fade out. Dialog ini
menjadi penuntun bahwa setting yang dibangun tersebut adalah alam kematian.
Kehidupan baru setelah kehidupan di muka bumi.
Kemudian di spot lain, di pojok tampak Anjing 2 dan 3 mematung.
Satu berdiri memegang payung, satunya lagi jongkok di atas tong. Beberapa detik
kemudian mereka bergerak, berdioalog dan melakukan adegan percakapan.
"Kita seperti mahluk asing."
"Tidak, kita diasingkan."
"Kita selalu saja disalahkan
"Tidak. Kita memang menunggu sesuatu."
Dari dialog kedua anjing ini diketahui naskah bercerita
tentang alam kematian. Anjing-anjing itu mati dalam gelisah. Lalu lampu black
out. Dan Anjing 1 langsung menyahut. "Kita sedang menunggu sesuatu. Kita
sedang menunggu sesuatu. Kita sedang menunggu sesuatu. Kita sedang menunggu
sesuatu. Kita sedang menunggu sesuatu." Monolog dari Anjing 1 memberi
penegasan tentang sebuah penantian para anjing di alam kematian.
Penantian ini jelas lebih absurd dibanding “Waiting for
Godot”. Dalam lakon ini sosok atau tokoh yang ditunggu saja tidak jelas. Sosok
yang menjadi perdebatan panjang Anjing 2 dan 3. Antara malaikat, iblis dan
maut. Mereka masih meragukan kematian yang sudah terjadi. Sampai-sampai di alam
barzah itu mereka masih merasa salah satu yang ditunggu adalah kematian. Mereka
masih terbebani hal-hal duniawi. Bahkan istri yang cantik juga membuat
kegelisahan luar biasa. Seperti kalimat yang diucapkan Anjing 3 kepada Anjing
2. “Kau belum bebas. Kau masih ingat istrimu. Dia memang cantik. Bahkan terlalu
cantik untuk dilupakan. Meskipun ia suka selingkuh."
Perdebatan dan penantian ini tidak berakhir. Mereka hanya
anjing-anjing yang tidak mau secara ihlas menerima sebuah kematian -yang juga
sekaligus sebuah kehidupan baru-. Sosok
Malaikat-Iblis yang sejak awal memunclukan keiblisan dan kemalaikatannya secara
bergantian pun jengah dengan segala omong kosong para anjing. "Kalian
bukan Musa. Yang ketika didatangi
malaikat maut, mampu menamparnya. Kalian asu!"
Absudirtas simbol tampil sangat meruah pada pementasan ini.
Ada semacam kebebasan yang selama ini sering dilupakan dalam sebuah penggarapan
pementasan. Dan memang menurut Indra Tjahyadi, tindak penciptaan sebuah
pertunjukan teater senantiasa berada dalam situasi yang revolusioner. Dikatakan
demikian sebab dalam tindak penciptaan tersebut kreator senantiasa berada dalam
situasi perjuangan melawan “sistem”.
Pertunjukan teater, sebagaimana seni pada umumnya, memiliki
tradisi-tradisi, mempunyai kaidah-kaidah, memiliki “sistem-sistem”-nya yang
baku. Pengkreator pertunjukan teater adalah ia atau mereka yang berusaha untuk
melepaskan diri dari pembakuan-pembakuan, fiksasi-fiksasi, penetapan-penetapan
secara niscaya yang dihadirkan oleh “sistem” seni pertunjukan teater. Ini
dilakukan karena sebuah pertunjukan teater adalah sebuah “perjuangan”.
Merujuk pada pemikiran Laclau dan Mouffe, dalam situasi revolusioner adalah tidak
mungkin bagi kita untuk menentukan secara tetap makna harafiah atas sebuah
perjuangan. Sebuah perjuangan senantiasa menghadirkan makna harafiahnya
masing-masing, dan dalam kesadaran massa teater, perjuangan tersebut merupakan
representasi dari pusat perjuangan yang lebih global melawan “sistem”. Oleh
karena itu, dalam situasi revolusioner kesadaran menjadi “aktif” dan “praktis”.
Ini dimungkinkan karena dalam suatu situasi revolusioner,
makna dari setiap mobilisasi massa akan tampak terbelah. Mereka tidak akan
hanya berada dalam tuntutan-tuntutan harafiah saja, tetapi juga berusaha untuk
merepresentasikan keseluruhan proses revolusioner itu sendiri. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan apabila dalam sebuah pertunjukan teater kita akan
dihadapkan pada kenyataan melimpahnya penanda oleh petanda. Pelimpahan yang
memperlihatkan karakteristik yang khas dari simbol.
Keberlimpahan ini jelas mengakibatkan situasi yang dinamis,
yakni bahwa sebuah pertunjukan teater adalah sebuah wacana yang senantiasa
berada dalam medan perjuangan kewacanaan. Dengan demikian, segala usaha untuk
memfiksasi makna sebuah pertunjukan akan sia-sia, yang ada hanya sebuah
dominasi sementara dari satu perspektif. Maka, sebuah pertunjukan teater adalah
sebuah wacana kosong yang senantiasa dikitari oleh wacana-wacana mengambang
yang berusaha menetapkan makna atasnya.zaki
zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar