Prilaku Dahlan Iskan, sang Menteri BUMN, membuat masyarakat tercengang. Ia sering menghadiri rapat kabinet dengan menumpang ojek, tidak menggunakan mobil layaknya kebiasaan para menteri lainnya. Fenomena terbaru adalah saat ia mengamuk di pintu tol. Ia membuka paksa palang pintu dan mempersilakan semua kendaraan melintas tanpa membayar. Meskipun konon katanya Dahlan Iskan membayar seluruh ongkos kendaraan yang melintas tersebut. Banyak yang sudah membicarakannya.
Lantas bagaimana bila prilaku itu dibaca melalui kaca mata
Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis yang lahir 1930 dan meninggal 2002 lalu. Ia penulis
yang dikenal karena pandangan politiknya yang vokal dan keterlibatannya dalam
isu-isu publik. Bourdieu adalah salah satu pemain terkemuka dalam kehidupan
intelektual Perancis. Ia menjadi “referensi intelektual” bagi gerakan yang
menentang neo-liberalisme dan globalisasi, yang berkembang di Perancis dan
bagian dunia lain selama 1990-an.
Bourdieu menggunakan metode-metode yang diserap dari
berbagai disiplin ilmu: dari filsafat dan teori sastra ke sosiologi dan
antropologi. Ia sangat dikenal karena bukunya, Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste, di mana ia
berargumen bahwa penilaian-penilaian selera itu berhubungan dengan posisi
sosial.
Hal ini menjadi topik dalam diskusi rutin yang diadakan Forum Studi Sastra dan Seni
Luar Pagar (FS3LP). Diskusi yang diikuti para mahasiswa dan penulis ini digelar
di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) pada Kamis (29/3)
malam. Sebagai pembicara adalah Kukuh Yuda Kananta, dosen Universitas Ciputra Surabaya
dan Dheny Jatmiko, sastrawan. Keduanya sama-sama sedang menempuh pendidikan
pascasarjana di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogjakarta.
Dalam konteks sosial budaya, Kukuh menggunakan fenomena
Dahlan Iskan untuk menjelaskan bagaimana pemikiran Bourdieu bekerja. “Jika
dicermati dengan sedikit lebay sekaligus serius kisah Dahlan sebenarnya
menampilkan suatu pertentangan antara individu terhadap protokoler yang dihasilkan institusi institusi,” kata Kukuh di hadapan peserta diskusi.
Lebih lanjut
diterangkan, pemerintahan merupakan sistem yang di dalamnya terdapat struktur,
hirarki, aturan, yang mana individu mesti patuh, terkenai segala prosedur yang
beroperasi di dalamnya. Tapi kisah Dahlan itu berbeda karena dia sengaja memilih
untuk tampil beda. “Katakanlah
Si Dahlan ini agen, maka dia
melakukan apa yang dalam bahasa Bourdieu disebut praktek agensi,” terangnya.
Agen yakni
individu yang menjadi subjek sosial.
Sedangkan agensi adalah ide bahwa setiap individu telah dilengkapi dengan
kemampuan memahami dan mengontrol tindakan masing-masing berdasarkan
kondisi-kondisi di mana individu tersebut tinggal -seringkali terkait dengan intensionalitas dan individualitas.
Dengan kalimat lain, jika agen mengacu pada individu,
maka agensi lebih mengacu pada kemampuan individu tersebut terkait dengan
relasinya terhadap struktur sosial. Adapun struktur sosial dipahami dalam dua
dimensi yakni struktur objektif, struktur yang terpampang dalam struktur sosial
dan struktur subjektif yakni struktur yang berada dan bekerja di dalam diri
individu.
Jika agen dianggap mampu melakukan dan bertindak sebagai
agensi, hal itu dikarenakan agen memiliki habitus dan modal yang memungkinkan
atau mendukungnya. Bourdieu
mengartikan habitus sebagai konsep yang mengekspresikan. Di satu sisi,
cara individu untuk “menjadi dirinya sendiri” -mengembangkan sikap dan disposisi, dan di sisi lain adalah cara
individu-individu terlibat dalam praktik.
Istilah modal dipakai Bourdieu untuk memetakan
hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
Modal dapat digolongkan ke dalam empat jenis menurut Bourdieu yakni modal ekonomi, modal budaya, modal sosial atau jaringan sosial, serta modal simbolik
. “Nah, Dahlan Iskan memiliki modal itu semua sehingga bisa membentuk
habitus yang seperti dilakukannya saat ini,” terang cowok 25 tahun ini.
Selain itu, Dahlan yang punya banyak pabrik koran dan stasiun TV
ini tak kurang suatu apapun secara ekonomi. Dahlan
punya linuwih lainnya: skill-nya
sebagai jurnalis memang bagus: tulisannya lancar, jernih, menghibur, dan
memberi wawasan. Momen saat tulisan itu dibaca, dan dipercaya orang maka sesungguhnya
Dahlan melakukan apa yang Bourdieu sebut sebagai kuasa-simbolik.
“Kuasa simbolik
adalah kuasa untuk mengubah dan menciptakan realitas, yakni mengubah dan
menciptakannya sebaga sesuatu yang diakui, dikenali, dan juga sah. Kuasa
simbolik untuk membuat orang melihat dan percaya, untuk memperkuat atau
mengubah cara pandang terhadap dunia dan bagaimana mengubah dunia itu sendiri,” papar Kukuh.
Lantas bagaimana
jika pemikiran Bourdieu ini digunakan untuk menganalisis sebuah karya sastra.
Dheny Jatmiko menggunakannya untuk mengulas karya-karya Suparto Broto, prosais
asal Surabaya yang banyak menulis tentang kondisi riil sosial masyarakat kota,
seperti Surabaya.
“Dapat dipahami bahwa habitus adalah struktur yang
distrukturkan. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia
lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Jelas
habitus bukan kodrat, bukan bawaan alamiah yang melengkapi manusia, baik secara
psikologis maupun biologis,” papar pria yang juga staf Humas Stikom Surabaya
ini.
Ditambahkan, habitus merupakan hasil pembelajaran lewat
pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas.
Habitus juga dapat disebut merupakan hasil dari internalisasi eksternal yang
dimunculkan sebagai eksternalisasi internal. “Untuk menganalisis karya-karya
Suparto Broto menggunakan Bourdieu, mau tidak mau kita juga juga harus mengenal
Suparto Broto sebagai individu. Kebiasaan dia seperti apa. Jadi ketika
menjadikannya bahan tesis maka saya pu harus melakukan wawancara dengan
penulisnya,” tuturnya sambil tersenyum.zaki
zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar