Minggu, 08 April 2012

Piere Bourdieu “Menyapa” Dahlan Iskan dan Suparto Broto


Prilaku Dahlan Iskan, sang Menteri BUMN, membuat masyarakat tercengang. Ia sering menghadiri rapat kabinet dengan menumpang ojek, tidak menggunakan mobil layaknya kebiasaan para menteri lainnya. Fenomena terbaru adalah saat ia mengamuk di pintu tol. Ia membuka paksa palang pintu dan mempersilakan semua kendaraan melintas tanpa membayar. Meskipun konon katanya Dahlan Iskan membayar seluruh ongkos kendaraan yang melintas tersebut. Banyak yang sudah membicarakannya.

Lantas bagaimana bila prilaku itu dibaca melalui kaca mata Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis yang lahir 1930 dan meninggal 2002 lalu. Ia penulis yang dikenal karena pandangan politiknya yang vokal dan keterlibatannya dalam isu-isu publik. Bourdieu adalah salah satu pemain terkemuka dalam kehidupan intelektual Perancis. Ia menjadi “referensi intelektual” bagi gerakan yang menentang neo-liberalisme dan globalisasi, yang berkembang di Perancis dan bagian dunia lain selama 1990-an.

Bourdieu menggunakan metode-metode yang diserap dari berbagai disiplin ilmu: dari filsafat dan teori sastra ke sosiologi dan antropologi. Ia sangat dikenal karena bukunya, Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste, di mana ia berargumen bahwa penilaian-penilaian selera itu berhubungan dengan posisi sosial.

Hal ini menjadi topik dalam diskusi rutin  yang diadakan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Diskusi yang diikuti para mahasiswa dan penulis ini digelar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) pada Kamis (29/3) malam. Sebagai pembicara adalah Kukuh Yuda Kananta, dosen Universitas Ciputra Surabaya dan Dheny Jatmiko, sastrawan. Keduanya sama-sama sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogjakarta.

Dalam konteks sosial budaya, Kukuh menggunakan fenomena Dahlan Iskan untuk menjelaskan bagaimana pemikiran Bourdieu bekerja. “Jika dicermati dengan sedikit lebay sekaligus serius kisah Dahlan sebenarnya menampilkan suatu pertentangan antara individu terhadap protokoler yang dihasilkan institusi institusi,” kata Kukuh di hadapan peserta diskusi.

Lebih lanjut diterangkan,  pemerintahan merupakan sistem yang di dalamnya terdapat struktur, hirarki, aturan, yang mana individu mesti patuh, terkenai segala prosedur yang beroperasi di dalamnya. Tapi kisah Dahlan itu berbeda karena dia sengaja memilih untuk tampil beda. Katakanlah Si Dahlan ini agen, maka dia melakukan apa yang dalam bahasa Bourdieu disebut praktek agensi,” terangnya.

Agen yakni individu yang menjadi subjek sosial. Sedangkan agensi adalah ide bahwa setiap individu telah dilengkapi dengan kemampuan memahami dan mengontrol tindakan masing-masing berdasarkan kondisi-kondisi di mana individu tersebut tinggal -seringkali terkait dengan intensionalitas dan individualitas.

Dengan kalimat lain, jika agen mengacu pada individu, maka agensi lebih mengacu pada kemampuan individu tersebut terkait dengan relasinya terhadap struktur sosial. Adapun struktur sosial dipahami dalam dua dimensi yakni struktur objektif, struktur yang terpampang dalam struktur sosial dan struktur subjektif yakni struktur yang berada dan bekerja di dalam diri individu.

Jika agen dianggap mampu melakukan dan bertindak sebagai agensi, hal itu dikarenakan agen memiliki habitus dan modal yang memungkinkan atau mendukungnya. Bourdieu mengartikan habitus sebagai konsep yang mengekspresikan. Di satu sisi, cara individu untuk “menjadi dirinya sendiri” -mengembangkan sikap dan disposisi,  dan di sisi lain adalah cara individu-individu terlibat dalam praktik.

Istilah modal dipakai Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat.  Modal dapat digolongkan ke dalam empat jenis menurut Bourdieu yakni modal ekonomi, modal budaya, modal sosial atau jaringan sosial,  serta modal simbolik .  “Nah, Dahlan Iskan memiliki modal itu semua sehingga bisa membentuk habitus yang seperti dilakukannya saat ini,” terang cowok 25 tahun ini.

Selain itu, Dahlan yang punya banyak pabrik koran dan stasiun TV ini  tak kurang suatu apapun secara ekonomi. Dahlan punya linuwih lainnya: skill-nya sebagai jurnalis memang bagus: tulisannya lancar, jernih, menghibur, dan memberi wawasan. Momen saat tulisan itu dibaca, dan dipercaya orang maka sesungguhnya Dahlan melakukan apa yang Bourdieu sebut sebagai kuasa-simbolik.

“Kuasa simbolik adalah kuasa untuk mengubah dan menciptakan realitas, yakni mengubah dan menciptakannya sebaga sesuatu yang diakui, dikenali, dan juga sah. Kuasa simbolik untuk membuat orang melihat dan percaya, untuk memperkuat atau mengubah cara pandang terhadap dunia dan bagaimana mengubah dunia itu sendiri,” papar Kukuh.

Lantas bagaimana jika pemikiran Bourdieu ini digunakan untuk menganalisis sebuah karya sastra. Dheny Jatmiko menggunakannya untuk mengulas karya-karya Suparto Broto, prosais asal Surabaya yang banyak menulis tentang kondisi riil sosial masyarakat kota, seperti Surabaya.

“Dapat dipahami bahwa habitus adalah struktur yang distrukturkan. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Jelas habitus bukan kodrat, bukan bawaan alamiah yang melengkapi manusia, baik secara psikologis maupun biologis,” papar pria yang juga staf Humas Stikom Surabaya ini.

Ditambahkan, habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas. Habitus juga dapat disebut merupakan hasil dari internalisasi eksternal yang dimunculkan sebagai eksternalisasi internal. “Untuk menganalisis karya-karya Suparto Broto menggunakan Bourdieu, mau tidak mau kita juga juga harus mengenal Suparto Broto sebagai individu.  Kebiasaan dia seperti apa. Jadi ketika menjadikannya bahan tesis maka saya pu harus melakukan wawancara dengan penulisnya,” tuturnya sambil tersenyum.zaki zubaidi

Tidak ada komentar: