Minggu, 08 April 2012

Ketika Lukisan Tak Sekadar Hiasan


 Lukisan dengan berbagai jenis dan alirannya menjadi salah satu pilihan hiasan dinding rumah. Lambang gengsi. Kemungkinan itu yang paling bisa dicurigai. Tidak bermaksud pesimistis dengan selera seni masyarakat Surabaya namun ya begitulah. Begitu juga yang terasa saat menyaksikan pameran lukisan Dec-Art Di Hati yang digelar di Galery Balai Pemuda, sejak tanggal 20-31 Desember 2011.

Pengunjung disuguhi sekitar 45 karya dengan tema yang tidak seragam dari para pelukis yang tergabung dalam Lentero  Art. Meski demikian tetap ada beberapa karya yang bisa dinikmati lebih dari sebuah hiasan dinding. Lukisan berjudul “Penantian” karya Basuki Bawono masih memberi peluang penikmat untuk meliarkan imajinasinya. Tak sekadar melihat sebuah tiruan; imitasi dari kenyataan.

Seorang perempuan menggunakan gaun putih duduk dengan tatapan mata kosong. Matanya memang agak sayu. Tapi di depannya hanya warna putih. Polos tak ada jendela atau objek lainnya. Ruang kosong yang coba dihadirkan untuk memberi kesempatan imajinasi membentuk objek sesuka hati. Jelas suasana hati penikmati sangat menentukannya. Sepertinya begitu, namun tirai merah di belakang perempuan itu mencegah keliaran. Terasa ngelangut dengan emosi yang tertahan.

Lukisan lain dengan objek perempuan adalah “Penari Bali”. Lukisan karya Suratno ini menampilkan penari sedang bergerak rancak.  Matanya terbelalak (seperti biasanya penari Kecak) memesona. Saputannya cukup mampu membuat lukisan tersebut terasa terus bergerak. Benar-benar seperti sebuah penari yang menampilkan keriangan. Dengan kombinasi warna-warna cerah yang merdeka. Cukup kontras dengan suasana yang ditawarkan lukisan “Penantian”.

Ada juga lukisan nakal berjudul “Oh Yes” karya Sugeng Wahyono. Lukisan berukuran 50x60 centimeter ini menampilkan gambar lelaki dan perempuan sedang bercumbu. Sang laki-laki mengenakan celana panjang dan singlet, sedangkan perempuan mengenakan celana panjang dan bra. Namun bentuk fisiknya yang gemuk glinuk-glinuk menjadikan gambar realis itu sedikit absurd. Bisa sebagai orang dewasa tapi juga sebagai anak baru gede.

Diantaranya juga ada karya yang mengusung tema kritik sosial. Salah satunya lukisan berjudul “Panen+MPR” karya Yudhadi. Karya tersebut menampilkan visual para petani sedang pesta panen padi. Namun mereka tidak berada di sawah atau sebauh pedesaan. Di belakang mereka tampak gedung DPR RI serta Tugu Monas. Sedangkan tempat mereka berpijak adalah awan putih. Peristiwa di atas tanah itu diusung di negeri di atas awan. Semacam parodi dari kenyataan negeri ini.

Keanekaragaman karya yang dipaperkan cukup memberi pilihan bagi para kolektor atau sekadar pencari hiasan dinding rumah. Terlepas dari suatu karya itu memiliki nilai yang layak diapresiasi atau tidak, pameran lukisan di sebuah kota kerja seperti Surabaya sudah patut disyukuri. Meskipun gejala komersialisasi seni itu begitu terasa.

Imam Muhtarom, pemerhati seni rupa, mengakui memang ada gejala komersialisasi seni tersebut.  “Semangat untuk mengembalikan pada kemurnian seni di tengah berbagai gempuran tersebut yang menjadi persoalan tersendiri,” kata Imam yang kini berdomisi di Jakarta. Namun karya bisa “berkembang” keindahannya seiring waktu yang bergulir mengubah sebuah masyarakat.

“Kita juga tidak bisa menduga bila di kemudian hari karya yang tidak sedap dipandang mata justru dicari kolektor. Sebab kapital selalu bisa memperlakukan apa saja, terutama seni rupa, menjadi barang komodifikasi sejauh barang itu dianggap berharga. Atau, sesuatu yang mulanya dianggap remeh temeh menjadi berharga ketika kapital mengakomodasinya menjadi sederet komoditas,” ungkap pria yang juga kurator lukisan ini.

Bagi Ribut Wijoto, kondisi seni rupa di Surabaya beberapa tahun terakhir sudah mengalami perubahan yang positif. “Lumayan, sekarang sudah banyak galeri-galeri yang intens menggelar pameran dengan standar kuratorial yang berkualitas,” kata pria yang juga seorang kritikus seni ini.

Bisa dikata, perupa tidak punya kesulitan mencari tempat unjuk kreativitas atau unjuk karya. Kolektor juga memiliki banyak pilihan ruang pameran. Di Surabaya, hampir tiap bulan ada pameran seni rupa. Bahkan, pada bulan yang sama, pameran bisa digelar pada tiga sampai empat tempat.

Apakah riuhnya pameran berbanding lurus dengan kualitas karya? Bagi Ribut hal itu belum bisa jadi ukuran. Kata Ribut, sampai sekarang, lukisan hasil pameran di Surabaya yang laku terjual di atas angka Rp100 juta, sungguh sangat langka. Paling banter sekitar Rp10 juta sampai Rp20 juta. Harga memang bukan ukuran utama karya. Justru sebaliknya, harga jual kerap kali menyesatkan atau membiaskan potensi estetik lukisan.

“Tetapi, begitulah kondisi seni rupa di Surabaya. Perihal harga tidak mampu bersaing dengan seni rupa Yogyakarta dan Bandung,” tuturnya. Di luar masalah harga, karya seni rupa fenomenal memang nyaris tidak pernah muncul di Surabaya. Periksa saja laporan pameran atau peristiwa seni rupa di media-media nasional. Isinya hampir selalu disesaki oleh pameran di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan kadang-kadang Bali.

Padahal sebagai sebuah kota besar dengan penduduk yang sangat besar pula, media seharusnya memberi porsi pemberitaan yang besar terhadap peristiwa kesenian (baca: pameran) di Surabaya. Persoalannya, peristiwa keseniannya mungkin memang tidak layak diberitakan secara besar.

Berpuluh puluh, beratus ratus, bahkan ribuan pameran yang digelar di Surabaya tampaknya masih dipandang sebelah mata. Belum layak diperbincangkan secara nasional. Belum mampu memberi kontribusi terhadap ranah seni rupa Indonesia. Pameran hanya sebatas pameran. Mulai dari pameran seni rupa realis, surrealis, impresionis, naturalis, post-naturalist, hiperrealis, dadaisme, kubisme, dan lain-lain nasibnya sama saja. Tidak memunculkan karya dengan teknik tinggi maupun ide brilian.

Pada wilayah kritik atau wacana seni rupa, Surabaya juga masih lemah. Jarang sekali ada guliran wacana yang muncul dari Surabaya lantas merebak ke kota-kota lain di Indonesia. Yang lebih sering terjadi, Surabaya mengadopsi bahkan mengekor wacana-wacana yang sedang berkembang di Yogya maupun Bandung. Kritik seni rupa juga langka. zaki zubaidi

Tidak ada komentar: