Lukisan dengan berbagai jenis dan alirannya menjadi salah satu pilihan hiasan dinding rumah. Lambang gengsi. Kemungkinan itu yang paling bisa dicurigai. Tidak bermaksud pesimistis dengan selera seni masyarakat Surabaya namun ya begitulah. Begitu juga yang terasa saat menyaksikan pameran lukisan Dec-Art Di Hati yang digelar di Galery Balai Pemuda, sejak tanggal 20-31 Desember 2011.
Pengunjung disuguhi sekitar 45 karya dengan tema yang tidak
seragam dari para pelukis yang tergabung dalam Lentero Art. Meski demikian tetap ada beberapa karya
yang bisa dinikmati lebih dari sebuah hiasan dinding. Lukisan berjudul
“Penantian” karya Basuki Bawono masih memberi peluang penikmat untuk meliarkan
imajinasinya. Tak sekadar melihat sebuah tiruan; imitasi dari kenyataan.
Seorang perempuan menggunakan gaun putih duduk dengan
tatapan mata kosong. Matanya memang agak sayu. Tapi di depannya hanya warna
putih. Polos tak ada jendela atau objek lainnya. Ruang kosong yang coba
dihadirkan untuk memberi kesempatan imajinasi membentuk objek sesuka hati.
Jelas suasana hati penikmati sangat menentukannya. Sepertinya begitu, namun
tirai merah di belakang perempuan itu mencegah keliaran. Terasa ngelangut
dengan emosi yang tertahan.
Lukisan lain dengan objek perempuan adalah “Penari Bali”.
Lukisan karya Suratno ini menampilkan penari sedang bergerak rancak. Matanya terbelalak (seperti biasanya penari
Kecak) memesona. Saputannya cukup mampu membuat lukisan tersebut terasa terus
bergerak. Benar-benar seperti sebuah penari yang menampilkan keriangan. Dengan
kombinasi warna-warna cerah yang merdeka. Cukup kontras dengan suasana yang
ditawarkan lukisan “Penantian”.
Ada juga lukisan nakal berjudul “Oh Yes” karya Sugeng
Wahyono. Lukisan berukuran 50x60 centimeter ini menampilkan gambar lelaki dan
perempuan sedang bercumbu. Sang laki-laki mengenakan celana panjang dan
singlet, sedangkan perempuan mengenakan celana panjang dan bra. Namun bentuk
fisiknya yang gemuk glinuk-glinuk
menjadikan gambar realis itu sedikit absurd. Bisa sebagai orang dewasa tapi
juga sebagai anak baru gede.
Diantaranya juga ada karya yang mengusung tema kritik
sosial. Salah satunya lukisan berjudul “Panen+MPR” karya Yudhadi. Karya tersebut
menampilkan visual para petani sedang pesta panen padi. Namun mereka tidak
berada di sawah atau sebauh pedesaan. Di belakang mereka tampak gedung DPR RI
serta Tugu Monas. Sedangkan tempat mereka berpijak adalah awan putih. Peristiwa
di atas tanah itu diusung di negeri di atas awan. Semacam parodi dari kenyataan
negeri ini.
Keanekaragaman karya yang dipaperkan cukup memberi pilihan
bagi para kolektor atau sekadar pencari hiasan dinding rumah. Terlepas dari
suatu karya itu memiliki nilai yang layak diapresiasi atau tidak, pameran
lukisan di sebuah kota kerja seperti Surabaya sudah patut disyukuri. Meskipun
gejala komersialisasi seni itu begitu terasa.
Imam Muhtarom, pemerhati seni rupa, mengakui memang ada
gejala komersialisasi seni tersebut. “Semangat
untuk mengembalikan pada kemurnian seni di tengah berbagai gempuran tersebut
yang menjadi persoalan tersendiri,” kata Imam yang kini berdomisi di Jakarta.
Namun karya bisa “berkembang” keindahannya seiring waktu yang bergulir mengubah
sebuah masyarakat.
“Kita juga tidak bisa menduga bila di kemudian hari karya
yang tidak sedap dipandang mata justru dicari kolektor. Sebab kapital selalu
bisa memperlakukan apa saja, terutama seni rupa, menjadi barang komodifikasi
sejauh barang itu dianggap berharga. Atau, sesuatu yang mulanya dianggap remeh
temeh menjadi berharga ketika kapital mengakomodasinya menjadi sederet
komoditas,” ungkap pria yang juga kurator lukisan ini.
Bagi Ribut Wijoto, kondisi seni rupa di Surabaya beberapa
tahun terakhir sudah mengalami perubahan yang positif. “Lumayan, sekarang sudah
banyak galeri-galeri yang intens menggelar pameran dengan standar kuratorial
yang berkualitas,” kata pria yang juga seorang kritikus seni ini.
Bisa dikata, perupa tidak punya kesulitan mencari tempat
unjuk kreativitas atau unjuk karya. Kolektor juga memiliki banyak pilihan ruang
pameran. Di Surabaya, hampir tiap bulan ada pameran seni rupa. Bahkan, pada
bulan yang sama, pameran bisa digelar pada tiga sampai empat tempat.
Apakah riuhnya pameran berbanding lurus dengan kualitas
karya? Bagi Ribut hal itu belum bisa jadi ukuran. Kata Ribut, sampai sekarang,
lukisan hasil pameran di Surabaya yang laku terjual di atas angka Rp100 juta,
sungguh sangat langka. Paling banter sekitar Rp10 juta sampai Rp20 juta. Harga
memang bukan ukuran utama karya. Justru sebaliknya, harga jual kerap kali
menyesatkan atau membiaskan potensi estetik lukisan.
“Tetapi, begitulah kondisi seni rupa di Surabaya. Perihal
harga tidak mampu bersaing dengan seni rupa Yogyakarta dan Bandung,” tuturnya. Di
luar masalah harga, karya seni rupa fenomenal memang nyaris tidak pernah muncul
di Surabaya. Periksa saja laporan pameran atau peristiwa seni rupa di
media-media nasional. Isinya hampir selalu disesaki oleh pameran di Yogyakarta,
Bandung, Jakarta, dan kadang-kadang Bali.
Padahal sebagai sebuah kota besar dengan penduduk yang
sangat besar pula, media seharusnya memberi porsi pemberitaan yang besar
terhadap peristiwa kesenian (baca: pameran) di Surabaya. Persoalannya,
peristiwa keseniannya mungkin memang tidak layak diberitakan secara besar.
Berpuluh puluh, beratus ratus, bahkan ribuan pameran yang
digelar di Surabaya tampaknya masih dipandang sebelah mata. Belum layak
diperbincangkan secara nasional. Belum mampu memberi kontribusi terhadap ranah
seni rupa Indonesia. Pameran hanya sebatas pameran. Mulai dari pameran seni
rupa realis, surrealis, impresionis, naturalis, post-naturalist, hiperrealis,
dadaisme, kubisme, dan lain-lain nasibnya sama saja. Tidak memunculkan karya
dengan teknik tinggi maupun ide brilian.
Pada wilayah kritik atau wacana seni rupa, Surabaya juga
masih lemah. Jarang sekali ada guliran wacana yang muncul dari Surabaya lantas
merebak ke kota-kota lain di Indonesia. Yang lebih sering terjadi, Surabaya
mengadopsi bahkan mengekor wacana-wacana yang sedang berkembang di Yogya maupun
Bandung. Kritik seni rupa juga langka. zaki
zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar