Minggu, 08 April 2012

Di Antara Kesengajaan dan Ketidaktahuan


Mengetahui ruang pertunjukan pementasa teater berjudul “Renungan Kanvas Kopi” cukup mengejutkan. Pertunjukan perdana angkatan Alang Alang dari Teater Lingkar Stikosa-AWS tersebut dilaksanakan di sebuah joglo kampus tersebut. Ruang hanya ditutup kain hitam. Tipis. Mungkin ada tawaran baru yang ingin disajikan.

Waktu pertunjukan dimulai. Setelah seluruh auden masuk langsung disuguhi sajian modern dance yang entah apa judulnya. Cukup menarik sebuah hiburan untuk menggelitik libido. Dancer-nya lumayan cantik. Sajian selanjutnya pembacaan puisi. Hanya satu judul puisi karya penyair Indra Tjahyadi. Puisinya memang bagus tapi tidak sebanding dengan performa penyajinya.

Tibalah pada pertunjukan teater dengan judul “Renungan Kanvas Kopi”. Ruang yang tidak begitu gelap membuat penataan setting panggung terlihat. Sinar di sekitar luar joglo menembus kain hitam tipis yang dijadikan penutup. Sebuah kursi di tengah dan semacam tempat melukis -lengkap dengan beberapa kanvas dan cat yang tergeletak- di sisi kanan panggung. Jelas setting yang tak seimbang. Mungkin ada tawaran lain yang sengaja ingin ditampilkan.

Suara gitar terdengar. Seorang tokoh yang hendak melukis dibuat pusing oleh genjrengan gitar temannya. Pelukis yang bernama  Bramantyo itu geram. Ia membentak pemain gitar (yang tak tampak dipanggung) bernama Buyung. “Buyung bisa kau....,” teriak Bram. Artikulasi yang buruk. Padahal hanya untuk melafalkan kalimat bentakan menghentikan permaian gitar. Mungkin ada tawaran lain yang sengaja ingin ditampilkan.

Bram terus mengomel. Gitar terus digenjreng. Bram semakin emosi hingga menghempaskan segelas kopi. Minuman hitam itu mengenai kanvas. Lalu Bram menghilang di balik backdrop. Buyung pun muncul di panggung. Ia mencari Bram. Saat masih bingung muncul tokoh Sandra. Dan suara berisik di luar ruang pertunjukkan mulai sangat mengganggu. Penataan lighting yang apa adanya hingga wajah aktor sering sekali gelap. Semua menjadi di luar ekspektasi untuk menyaksikan pertunjukan teater yang sederhana: menghibur.  

Tiba-tiba ada semacam kegelisahan. Pertanyaan tentang dasar-dasar bermain teater. Bagaimana sebuah teater realis itu seharusnya ditampilkan. Segala yang bersifat elementer dalam teater. Dan memutuskan tidak melanjutkan menyaksikan pertunjukan tersebut adalah sebuah kegagalan. Entah bagi penonton (yang keluar itu) atau penyaji.

Beberapa tahun yang lalu Max Arifin pernah menulis tentang “Realisme dalam Teater”. Paparan sederhana yang seharusnya tidak diremehkan dalam sebuah proses berteater.  Masalah realisme dalam teater bukan sekadar “taken directly from actuality”, tetapi ada pengolahan kesadaran tentang hal yang besar hingga yang kecil dan mencoba “menyiasati” penggunaan dan pemanfaatan unsur-unsur dalam pentas -yang akan merangsang adanya refleksi terhadap kenyataan hidup yang getir, pahit, mencemaskan, penuh keputusasaan, tetapi tidak juga membuat kita jera untuk hidup terus. (Bakdi Sumanto, 2001:292).

Pembicaraan tentang realisme dalam teater bukanlah pertama-tama mempersoalkan seberapa tepat, cocok, pas antara yang dilukiskan pada naskah lakon dan yang disajikan di atas pentas, tetapi, yang lebih mendasar adalah: bagaimana memahami, merumuskan, menghadirkan sesuatu yang dibayangkan sebagai realitas itu dan bagaimana menggunakannya untuk tujuan-tujuan tertentu.

Stanislavski,  seorang aktor-direktor besar Rusia,  memberikan suatu derajat pada kata aktor, suatu dignity, yang tak diperoleh sebelumnya. Ia membuat para aktornya sebagai orang-orang humanis dan psikologis, orang-orang yang memahami dan mengekspresikan perasaan-perasaannya, motif-motifnya , action dan strategi-strategi tingkah-laku manusia. Ia menolak aktor-aktor yang malas, bebal, yang suka mejeng, melacur yang hidupnya hanya untuk dikeploki orang atau penonton.  Aktor harus menghidupkan hidupnya “dalam seni” -latihan-latihan dan disiplin yang ketat, selalu menguji dirinya, standar-standar etika yang tinggi, mengejar selera yang baik di atas dan di luar pentas.

Namun memang begitulah teater kampus. Harus bisa dimaklumi selama itu semua adalah proses belajar untuk menjadi lebih baik.  F Aziz Manna, aktor sekaligus penyair menyatakan adalah bohong jika suatu teater kampus tidak pernah gagal, selalu sukses dalam proses produksi. Sebab teater kampus ada wadah pembelajaran. Target utamanya proses belajar bukan hanya proses produksi teater.
“Sehingga wajar jika dalam proses produksi teater kampus sering mengalami kegagalan. Jika ada teater kampus yang tidak pernah gagal dalam produksi itu tidak wajar. Itu menyalahi hukum sejarah,” kata aktor yang pernah bermain monolog berjudul Alibi dengan durasi tiga jam ini.

Aziz mengakui,  teater kampus tidak berurusan dengan kuantitas dan kualitas. Tugasnya hanya menjaga proses belajar agar bisa terus berdenyut dan gagasan terus bermunculan dari para anggotanya. Dan kondisi semacam ini harus dijaga dan disadari. Dicontohkan, kasus Teater Garasi Yogyakarta. Teater kampus ini terlena untuk segera menjadi teater umum. “Wadah pembelajaran berubah menjadi kendaraan demi ambisi beberapa tokohnya,” tandasnya.zaki zubaidi

Tidak ada komentar: