Mengetahui ruang pertunjukan pementasa teater berjudul “Renungan Kanvas Kopi” cukup mengejutkan. Pertunjukan perdana angkatan Alang Alang dari Teater Lingkar Stikosa-AWS tersebut dilaksanakan di sebuah joglo kampus tersebut. Ruang hanya ditutup kain hitam. Tipis. Mungkin ada tawaran baru yang ingin disajikan.
Waktu pertunjukan dimulai. Setelah seluruh auden masuk
langsung disuguhi sajian modern dance
yang entah apa judulnya. Cukup menarik sebuah hiburan untuk menggelitik libido.
Dancer-nya lumayan cantik. Sajian
selanjutnya pembacaan puisi. Hanya satu judul puisi karya penyair Indra
Tjahyadi. Puisinya memang bagus tapi tidak sebanding dengan performa
penyajinya.
Tibalah pada pertunjukan teater dengan judul “Renungan
Kanvas Kopi”. Ruang yang tidak begitu gelap membuat penataan setting panggung terlihat. Sinar di
sekitar luar joglo menembus kain hitam tipis yang dijadikan penutup. Sebuah
kursi di tengah dan semacam tempat melukis -lengkap dengan beberapa kanvas dan
cat yang tergeletak- di sisi kanan panggung. Jelas setting yang tak seimbang. Mungkin ada tawaran lain yang sengaja
ingin ditampilkan.
Suara gitar terdengar. Seorang tokoh yang hendak melukis
dibuat pusing oleh genjrengan gitar temannya. Pelukis yang bernama Bramantyo itu geram. Ia membentak pemain
gitar (yang tak tampak dipanggung) bernama Buyung. “Buyung bisa kau....,”
teriak Bram. Artikulasi yang buruk. Padahal hanya untuk melafalkan kalimat
bentakan menghentikan permaian gitar. Mungkin ada tawaran lain yang sengaja
ingin ditampilkan.
Bram terus mengomel. Gitar terus digenjreng. Bram semakin
emosi hingga menghempaskan segelas kopi. Minuman hitam itu mengenai kanvas. Lalu
Bram menghilang di balik backdrop. Buyung pun muncul di panggung. Ia mencari
Bram. Saat masih bingung muncul tokoh Sandra. Dan suara berisik di luar ruang
pertunjukkan mulai sangat mengganggu. Penataan lighting yang apa adanya hingga wajah
aktor sering sekali gelap. Semua menjadi di luar ekspektasi untuk menyaksikan
pertunjukan teater yang sederhana: menghibur.
Tiba-tiba ada semacam kegelisahan. Pertanyaan tentang
dasar-dasar bermain teater. Bagaimana sebuah teater realis itu seharusnya
ditampilkan. Segala yang bersifat elementer dalam teater. Dan memutuskan tidak
melanjutkan menyaksikan pertunjukan tersebut adalah sebuah kegagalan. Entah
bagi penonton (yang keluar itu) atau penyaji.
Beberapa tahun yang lalu Max Arifin pernah menulis tentang
“Realisme dalam Teater”. Paparan sederhana yang seharusnya tidak diremehkan
dalam sebuah proses berteater. Masalah
realisme dalam teater bukan sekadar “taken
directly from actuality”, tetapi ada pengolahan kesadaran tentang hal yang
besar hingga yang kecil dan mencoba “menyiasati” penggunaan dan pemanfaatan
unsur-unsur dalam pentas -yang akan merangsang adanya refleksi terhadap
kenyataan hidup yang getir, pahit, mencemaskan, penuh keputusasaan, tetapi
tidak juga membuat kita jera untuk hidup terus. (Bakdi Sumanto, 2001:292).
Pembicaraan tentang realisme dalam teater bukanlah
pertama-tama mempersoalkan seberapa tepat, cocok, pas antara yang dilukiskan
pada naskah lakon dan yang disajikan di atas pentas, tetapi, yang lebih
mendasar adalah: bagaimana memahami, merumuskan, menghadirkan sesuatu yang
dibayangkan sebagai realitas itu dan bagaimana menggunakannya untuk
tujuan-tujuan tertentu.
Stanislavski, seorang
aktor-direktor besar Rusia, memberikan
suatu derajat pada kata aktor, suatu dignity,
yang tak diperoleh sebelumnya. Ia membuat para aktornya sebagai orang-orang
humanis dan psikologis, orang-orang yang memahami dan mengekspresikan
perasaan-perasaannya, motif-motifnya , action
dan strategi-strategi tingkah-laku manusia. Ia menolak aktor-aktor yang malas,
bebal, yang suka mejeng, melacur yang hidupnya hanya untuk dikeploki orang atau
penonton. Aktor harus menghidupkan
hidupnya “dalam seni” -latihan-latihan dan disiplin yang ketat, selalu menguji
dirinya, standar-standar etika yang tinggi, mengejar selera yang baik di atas
dan di luar pentas.
Namun memang begitulah teater kampus. Harus bisa dimaklumi
selama itu semua adalah proses belajar untuk menjadi lebih baik. F Aziz Manna, aktor sekaligus penyair
menyatakan adalah bohong jika suatu teater kampus tidak pernah gagal, selalu
sukses dalam proses produksi. Sebab teater kampus ada wadah pembelajaran.
Target utamanya proses belajar bukan hanya proses produksi teater.
“Sehingga wajar jika dalam proses produksi teater kampus
sering mengalami kegagalan. Jika ada teater kampus yang tidak pernah gagal
dalam produksi itu tidak wajar. Itu menyalahi hukum sejarah,” kata aktor yang
pernah bermain monolog berjudul Alibi dengan durasi tiga jam ini.
Aziz mengakui, teater
kampus tidak berurusan dengan kuantitas dan kualitas. Tugasnya hanya menjaga
proses belajar agar bisa terus berdenyut dan gagasan terus bermunculan dari
para anggotanya. Dan kondisi semacam ini harus dijaga dan disadari.
Dicontohkan, kasus Teater Garasi Yogyakarta. Teater kampus ini terlena untuk
segera menjadi teater umum. “Wadah pembelajaran berubah menjadi kendaraan demi
ambisi beberapa tokohnya,” tandasnya.zaki
zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar