Minggu, 08 April 2012

Potensi Yang (Masih) Disia-siakan Pelukis


Lima dari 10 kolektor besar lukisan di Indonesia berasal dari Surabaya. Para kolektor yang berani merogoh kocek tanpa batas nominal untuk sebuah karya lukis itu adalah Erkin Limantara, Wijono Tanoko, Sunarjo Sampurna, Alex Tedja, dan Radjimin. Para investor seni tentu memilik potensi besar membangun pasar seni lukis yang besar di Surabaya.

Namun sayang mereka selama ini lebih banyak melakukan investasi seninya di luar Surabaya. Lebih naif  lagi karya yang mereka buru bukan milik pelukis dari Surabaya. Bukan karena mereka tidak mau membelanjakan uangnya untuk karya-karya pelukis Surabaya, tapi memang masih sedikit karya yang pantas dijadikan sebuah investasi. Imbasnya, beberapa galeri pun mati suri meski beberapa lain masih tetap terjaga eksistensinya.

“Sebuah galeri kalau tidak disiapkan dengan matang pasti tidak bisa bertahan lama. Padahal sesungguhnya lukisan sebagai sebuah bisnis juga sangat menguntungkan. Tapi memang i ini membutuhkan nafas panjang. Tidak bisa seperti orang jualan, asal barang laku langsung mereguk untung,” terang CEO AJBS Gallery Soebagio Widjaja ketika ditemui Seputar Indonesia, Jumat (16/3).

Menurut Soebagio, ada dua hal penting untuk mengelola sebuah galeri yaitu program dan imej. Dalam setahun galeri harus memiliki program pameran yang jelas dan diperhitungkan secara matang. “Misalnya dalam setahun AJBS Gallery menggelar tujuh kali pameran, itu tidak setiap pameran mengeruk untung. Padahal sekali pameran membutuhkan dana sekitar Rp50 juta. Dana tersebut tertutup saja sudah untung. Jangankan subsidi silang, yang sering itu kita rugi,” papar Soebagio yang mengelola AJBS Galllery tiga tahun terakhir ini.

Kondisi seperti memang harus dilalui sebuah galeri di awal pertumbuhannya. Jalan panjang harus dilalui agar imej galeri tersebut terangkat sejalan dengan seringnya pameran yang digelar. Tentu saja sebuah pameran yang berkualitas. “Ekonomi dunia sekarang memang sedang buruk. Tapi kita harus start sekarang. Jika ditunda akan semakin tertinggal,” tuturnya. Kondisi pasar seni lukis sempat sangat sehat antara tahun 2006-2008. Pada era tersebut karya apa saja laku dijual.

“Untuk sementara memang jangan memburu profit marjin dulu. Nanti empat hingga lima tahun baru akan merasakan manisnya,” kata pria yang juga kolektor lukisan ini. Setelah proses panjang bertahan dan membangun imej tersebut tercapai barulah sebuah galeri menargetkan keuntungan. Tentu saja ini juga mimpi panjang yang ingin diwujudkan AJBS Gallery maupun galeri-galeri lain di Surabaya. Tentu  saja sambi berharap pelukis-pelukis Surabaya mengalami pergerakan kualitas menghasilkan karya yang memiliki nilai investasi, bukan sekadar dekorasi.

Untuk itulah, kata Soebagio, dirinya mendatangkan pelukis dari luar Surabaya yang berualitas internasional. “Biar pelukis di sini terbuka wacana, jangan hanya jago kandang. Pelukis lain sudah pameran hingga luar negeri kok masih bangga pameran di kotanya sendiri,” tegas Seobagio. Sebab jam terbang pameran di galeri-galeri besar juga memiliki dampak terhadap harga sebuah karya lukis tersebut. Meskipun antara harga jual dan kualitas karya bukan hal selalu berjalan seiring. Karya yang bagus belum tentu nilai jualnya tinggi, begitu juga sebaliknya karya yang mahal itu belum tentu karya yang bagus. “Harga dan kualitas lukisan adalah dua hal yang berbeda,” lanjutnya.
Yang terpenting, kata Soebagio, untuk pelukis Surabaya adalah berkarya dengan baik dan selalui memegang komitmen yang sportif. “Jika sudah menjalin kerja sama dengan sebuah galeri ya harus berkomitmen. Jangan seenaknya sendiri,” ungkapnya. Karya juga harus ditingkatkan dengan membuka wacana seluas-lusanya. “Kosongkan gelas. Jangan tinggi hati dan harus selalu siap menerima kritik,” harap Soebagio.

Pengamat seni lukis Imam Muhtarom mengakui kondisi Surabaya selama setahun terakhir sudah cukup baik. “Secara umum, adanya acara-acara yang terbilang sering itu menunjukkan kegairahan dalam berseni rupa,” kata pria yang kini menetap di Jakarta ini. Namun sayang intensitas acara itu hanya semacam membangkitkan gairah saja. Kualitas karya belum ikut terbangkitkan.

Menurut Imam, belum terkatrolnya kualitas tersebut bisa dilihat dari acara Bienalle Jatim tahun 2011 kemarin. “Perkembangan konsep yang  dijabarkan sang kurator ternyata tidak serta merta menandakan gerak kualtas di wilayah penciptaaan,” terangnya. Kata Imam, diperlukan kemampuan teknis yang diiringi merumuskan gagasan. Banyak ide yang hendak  disampaikan lewat karya, namun tidak mendapat bentuk yang memadai. Demikian juga sebaliknya. Ada teknis yang menarik, tetapi tidak mendapat abstraksi gagasan yagn kuat.

“Kalau dua hal ini dipersoalakan,  barangkali kerangka masalahnya menjadi luas. Kenapa ide dan teknis ini tidak mendapat akarnya dalam seni rupa di Surabaya dan Jatim pada umumnya? Aku pikir perlunya pendisiplinan dalam hal berkesenian  itu sendiri. Artinya, perupa perlu eksplorasi gagasan-gagasannya dengan sekuat mungkin mengikuti perkembangan lingkungan sosialnya, perkembngan sejarah seni rupa, dan perlunya ada gesekan-gesekan. Atau melakukan perbandingan-perbandingan dalam peta seni rupa di kota-kota Indonesia sendiri,” papar anggota Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) ini.
Memang, lanjut Imam, cara menjawab secara singkat dari persoalan di atas tersebut adalah adanya pendidikan seni yang memadai. Namun sembari menunggu adanya pendidikan formal itu, terpenting adalah mempersiapkan aspek-aspek pendukungnya. Surabaya sudah memiliki beberapa galeri yang memadai. Adanya event berkala yang menjanjikan. Adanya kolektor yang bisa diajak peduli. Informasi begitu mudah diunduh. Artinya tinggal menunggu, terutama seniman muda, untuk menjadi bagian yang menentukan seni rupa di Jawa Timur dan Surabaya pada khususnya.

Proses membangun kualitas ini juga tidak bisa lepas dari campur tangan kurator. “Posisi kurator penting, tetapi susahnya kalau yang dikuratori karyanya belum maksimal. Aku kira sebuah perhelatan seni rupa tidak jalan. karyanya bagus kemudian kuratornya menyajikan kepada audiens secara tepat, itu baru pehelatan seni rupa yang bagus. Tidak timpang,” kata Imam.

Lalu bagaimana pengaruh broker lukisan yang bisa merusak nilai sebuah karya? Bagi Imam, bukan masalah broker atau tidak. “Pertanyaan yang harus dijawab; apakah pameran tersebut berkontribusi bagi perkembangan seni rupa, atau bagi masyarakat sendiri. Misal, perupa kita Soedjojono dalam sejarah seni rupa memberi arti besar bagi pekembangan. Atau dalam wilayah terbatas, tokoh-tokoh setempat,” urainya.

Kalau ingin konservatif, lanjut Imam,  pasar punya medan sosialnya sendiri, sementara medan wacana seni rupa punya medan sosialnya sendiri. Kalau pun dua hal ini bisa saling mendukung akan menarik.  Tapi selama ini tidak atau belum berjalan. “Sebab itu harga dan kualitas karya itu menjadi dua hal yang berbeda,” tegas Imam.

“Dalam soal harga, rumit mengetahuinya secara pasti, apalagi saat terjadi booming seni rupa. Itu biar pasar yang bekerja. Selagi seniman punya prinsip dalam berkaryanya dan mengasah terus-menerus kemampuannya, pasar pasti akan menyerapnya. Tapi jangan beradaptasi dengan selera pasar, itu soal krusialnya bagi para seniman,” harap pria yang juga prosais ini.zaki zubaidi


Antara Symbolic Value dan Economic Value

Nilai ekonomi (economic value) suatu karya seni (baca: lukisan) tidak bisa muncul secara tiba-tiba tanpa jelas asal-usulnya. Yang membentuk nilai ekonomi karya seni tersebut adalah nilai kultural (symbolic value) yang ada di balik karya tersebut. Sehingga pada mulanya  adalah symbolic value (dan ini yang lebih penting dan mendasar) yang kemudian membentuk economic value   -dan selanjutnya berlaku pada hukum besi ekonomi (demand and suplly).

Hal ini dijelaskan oleh Eddy Soetriyono dalam sebuah pengantar kuratorial pameran lukisan “Star Wars” beberapa waktu lalu. Dalam hubungan symbolic dan economic value ini ada semacam dalil yang menyebutkan bahwa di pasar yang established, economic value akan sangat bergantung pada symbolic value, bahwa dalam jangka panjang symbolic value akan menentukan economic value dan bahwa yang namanya economic value itu tidak akan pernah bisa mengubah the real  symbolic value.

Lalu apa acuan kita menilai seberapa jauh symbolic value seorang seniman (baca: pelukis)? Yakni seberapa jauh  seniman itu penting dan mapan dalam perjalanan senin rupa, serta seberapa jauh dia menyumbang suatu yang berguna bagi art world-nya. Dalam peta seni lukis abstarksi di Indonesia, misalnya, Achmad Sadali dari ITB dan Fajar Sidik dari ASRI Yogjakarta jelas merupakan dua tokoh puncaknya. Sehingga jelas symbolic value-nya jelas lebih tinggi dari pada pelukis-pelukis absraksi yang lain.

Namun tidak jarang symbolic value ini dirusak para bakul lukisan. Bakul yang berkedok kolektor ataupun pengamat dadakan yang tidak jelas dasar ilmunya. Mereka ini hanya bisa memanas-manasi  calon kolektor dengan jurus yang sangat menyesatkan; “investasi  di seni rupa itu bagus sekali, dalam tempo sekajap bisa untung ratusan kali lipat”. Padahal kepentingan mereka hanyalah untuk menciptakan boom yang akan menggelembungkan bubble, lahan spekulasi yang subur bagi bakul itu.

Sebab itu masyarakat jangan terburu terkejut ketika harga sebuah karya tiba-tiba melambung tinggi.  Apalagi jika harga itu didapat dari sebuah lelang. Harga tersebut adalah harga semu. Jadi untuk bisa mendapatkan the real price­-nya perlu mengamatinya dalam jangka panjang. Sebab sangat besar kemungkinan harga yang secara tiba-tiba itu hanyalah ulah dari para bakul.

“Istilahnya sebuah karya itu digoreng. Sehingga karya dari seorang pelukis itu menjadi mahal. Padahal ia belum mencapai suatu titik symbolic value yang membuat economic valuenya setinggi itu,” ungkap Seobagio Widjaja. Dijelaskan, karya itu “digoreng” agar nilai jual pelukisnya juga naik. Nah, bakul ini pasti sudah mengoleksi karya-karya dari pelukis yang “diorbitkan” tadi. Dengan begitu koleksi para bakul inipun akan secara tiba-tiba menjadi barang yang mahal. “Namun yang demikian ini pasti tidak bertahan lama. Seiring berjalan waktu harga karya tersebut akan turu lagi,” katanya.zaki zubaidi

Tidak ada komentar: