Lima dari 10 kolektor besar lukisan di Indonesia berasal dari Surabaya. Para kolektor yang berani merogoh kocek tanpa batas nominal untuk sebuah karya lukis itu adalah Erkin Limantara, Wijono Tanoko, Sunarjo Sampurna, Alex Tedja, dan Radjimin. Para investor seni tentu memilik potensi besar membangun pasar seni lukis yang besar di Surabaya.
Namun sayang mereka selama ini lebih banyak melakukan
investasi seninya di luar Surabaya. Lebih naif
lagi karya yang mereka buru bukan milik pelukis dari Surabaya. Bukan
karena mereka tidak mau membelanjakan uangnya untuk karya-karya pelukis
Surabaya, tapi memang masih sedikit karya yang pantas dijadikan sebuah
investasi. Imbasnya, beberapa galeri pun mati suri meski beberapa lain masih
tetap terjaga eksistensinya.
“Sebuah galeri kalau tidak disiapkan dengan matang pasti
tidak bisa bertahan lama. Padahal sesungguhnya lukisan sebagai sebuah bisnis
juga sangat menguntungkan. Tapi memang i ini membutuhkan nafas panjang. Tidak
bisa seperti orang jualan, asal barang laku langsung mereguk untung,” terang
CEO AJBS Gallery Soebagio Widjaja ketika ditemui Seputar Indonesia, Jumat (16/3).
Menurut Soebagio, ada dua hal penting untuk mengelola sebuah
galeri yaitu program dan imej. Dalam setahun galeri harus memiliki program
pameran yang jelas dan diperhitungkan secara matang. “Misalnya dalam setahun
AJBS Gallery menggelar tujuh kali pameran, itu tidak setiap pameran mengeruk
untung. Padahal sekali pameran membutuhkan dana sekitar Rp50 juta. Dana
tersebut tertutup saja sudah untung. Jangankan subsidi silang, yang sering itu
kita rugi,” papar Soebagio yang mengelola AJBS Galllery tiga tahun terakhir
ini.
Kondisi seperti memang harus dilalui sebuah galeri di awal
pertumbuhannya. Jalan panjang harus dilalui agar imej galeri tersebut terangkat
sejalan dengan seringnya pameran yang digelar. Tentu saja sebuah pameran yang
berkualitas. “Ekonomi dunia sekarang memang sedang buruk. Tapi kita harus start
sekarang. Jika ditunda akan semakin tertinggal,” tuturnya. Kondisi pasar seni
lukis sempat sangat sehat antara tahun 2006-2008. Pada era tersebut karya apa
saja laku dijual.
“Untuk sementara memang jangan memburu profit marjin dulu.
Nanti empat hingga lima tahun baru akan merasakan manisnya,” kata pria yang
juga kolektor lukisan ini. Setelah proses panjang bertahan dan membangun imej
tersebut tercapai barulah sebuah galeri menargetkan keuntungan. Tentu saja ini
juga mimpi panjang yang ingin diwujudkan AJBS Gallery maupun galeri-galeri lain
di Surabaya. Tentu saja sambi berharap
pelukis-pelukis Surabaya mengalami pergerakan kualitas menghasilkan karya yang memiliki
nilai investasi, bukan sekadar dekorasi.
Untuk itulah, kata Soebagio, dirinya mendatangkan pelukis
dari luar Surabaya yang berualitas internasional. “Biar pelukis di sini terbuka
wacana, jangan hanya jago kandang. Pelukis lain sudah pameran hingga luar
negeri kok masih bangga pameran di kotanya sendiri,” tegas Seobagio. Sebab jam
terbang pameran di galeri-galeri besar juga memiliki dampak terhadap harga
sebuah karya lukis tersebut. Meskipun antara harga jual dan kualitas karya
bukan hal selalu berjalan seiring. Karya yang bagus belum tentu nilai jualnya
tinggi, begitu juga sebaliknya karya yang mahal itu belum tentu karya yang
bagus. “Harga dan kualitas lukisan adalah dua hal yang berbeda,” lanjutnya.
Yang terpenting, kata Soebagio, untuk pelukis Surabaya
adalah berkarya dengan baik dan selalui memegang komitmen yang sportif. “Jika
sudah menjalin kerja sama dengan sebuah galeri ya harus berkomitmen. Jangan
seenaknya sendiri,” ungkapnya. Karya juga harus ditingkatkan dengan membuka
wacana seluas-lusanya. “Kosongkan gelas. Jangan tinggi hati dan harus selalu
siap menerima kritik,” harap Soebagio.
Pengamat seni lukis
Imam Muhtarom mengakui kondisi Surabaya selama setahun terakhir sudah cukup
baik. “Secara umum, adanya acara-acara yang terbilang sering itu menunjukkan
kegairahan dalam berseni rupa,” kata pria yang kini menetap di Jakarta ini.
Namun sayang intensitas acara itu hanya semacam membangkitkan gairah saja.
Kualitas karya belum ikut terbangkitkan.
Menurut Imam, belum
terkatrolnya kualitas tersebut bisa dilihat dari acara Bienalle Jatim tahun 2011
kemarin. “Perkembangan konsep yang dijabarkan
sang kurator ternyata tidak serta merta menandakan gerak kualtas di wilayah
penciptaaan,” terangnya. Kata Imam, diperlukan kemampuan teknis yang diiringi
merumuskan gagasan. Banyak ide yang hendak disampaikan lewat karya, namun tidak mendapat
bentuk yang memadai. Demikian juga sebaliknya. Ada teknis yang menarik, tetapi
tidak mendapat abstraksi gagasan yagn kuat.
“Kalau dua hal ini
dipersoalakan, barangkali kerangka
masalahnya menjadi luas. Kenapa ide dan teknis ini tidak mendapat akarnya dalam
seni rupa di Surabaya dan Jatim pada umumnya? Aku pikir perlunya pendisiplinan
dalam hal berkesenian itu sendiri.
Artinya, perupa perlu eksplorasi gagasan-gagasannya dengan sekuat mungkin
mengikuti perkembangan lingkungan sosialnya, perkembngan sejarah seni rupa, dan
perlunya ada gesekan-gesekan. Atau melakukan perbandingan-perbandingan dalam
peta seni rupa di kota-kota Indonesia sendiri,” papar anggota Forum Studi
Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) ini.
Memang, lanjut Imam,
cara menjawab secara singkat dari persoalan di atas tersebut adalah adanya
pendidikan seni yang memadai. Namun sembari menunggu adanya pendidikan formal
itu, terpenting adalah mempersiapkan aspek-aspek pendukungnya. Surabaya sudah
memiliki beberapa galeri yang memadai. Adanya event berkala yang menjanjikan. Adanya
kolektor yang bisa diajak peduli. Informasi begitu mudah diunduh. Artinya
tinggal menunggu, terutama seniman muda, untuk menjadi bagian yang menentukan
seni rupa di Jawa Timur dan Surabaya pada khususnya.
Proses membangun
kualitas ini juga tidak bisa lepas dari campur tangan kurator. “Posisi kurator
penting, tetapi susahnya kalau yang dikuratori karyanya belum maksimal. Aku
kira sebuah perhelatan seni rupa tidak jalan. karyanya bagus kemudian
kuratornya menyajikan kepada audiens secara tepat, itu baru pehelatan seni rupa
yang bagus. Tidak timpang,” kata Imam.
Lalu bagaimana
pengaruh broker lukisan yang bisa merusak nilai sebuah karya? Bagi Imam, bukan
masalah broker atau tidak. “Pertanyaan yang harus dijawab; apakah pameran
tersebut berkontribusi bagi perkembangan seni rupa, atau bagi masyarakat
sendiri. Misal, perupa kita Soedjojono dalam sejarah seni rupa memberi arti
besar bagi pekembangan. Atau dalam wilayah terbatas, tokoh-tokoh setempat,”
urainya.
Kalau ingin
konservatif, lanjut Imam, pasar punya
medan sosialnya sendiri, sementara medan wacana seni rupa punya medan sosialnya
sendiri. Kalau pun dua hal ini bisa saling mendukung akan menarik. Tapi selama ini tidak atau belum berjalan.
“Sebab itu harga dan kualitas karya itu menjadi dua hal yang berbeda,” tegas
Imam.
“Dalam soal harga,
rumit mengetahuinya secara pasti, apalagi saat terjadi booming seni rupa. Itu
biar pasar yang bekerja. Selagi seniman punya prinsip dalam berkaryanya dan
mengasah terus-menerus kemampuannya, pasar pasti akan menyerapnya. Tapi jangan
beradaptasi dengan selera pasar, itu soal krusialnya bagi para seniman,” harap
pria yang juga prosais ini.zaki zubaidi
Antara Symbolic Value dan Economic Value
Nilai ekonomi (economic
value) suatu karya seni (baca: lukisan) tidak bisa muncul secara tiba-tiba
tanpa jelas asal-usulnya. Yang membentuk nilai ekonomi karya seni tersebut
adalah nilai kultural (symbolic value)
yang ada di balik karya tersebut. Sehingga pada mulanya adalah symbolic
value (dan ini yang lebih penting dan mendasar) yang kemudian membentuk economic value -dan selanjutnya berlaku pada hukum besi
ekonomi (demand and suplly).
Hal ini dijelaskan oleh Eddy Soetriyono dalam sebuah
pengantar kuratorial pameran lukisan “Star Wars” beberapa waktu lalu. Dalam
hubungan symbolic dan economic value ini ada semacam dalil
yang menyebutkan bahwa di pasar yang established,
economic value akan sangat bergantung
pada symbolic value, bahwa dalam
jangka panjang symbolic value akan
menentukan economic value dan bahwa
yang namanya economic value itu tidak
akan pernah bisa mengubah the real symbolic value.
Lalu apa acuan kita menilai seberapa jauh symbolic value seorang seniman (baca:
pelukis)? Yakni seberapa jauh seniman
itu penting dan mapan dalam perjalanan senin rupa, serta seberapa jauh dia
menyumbang suatu yang berguna bagi art
world-nya. Dalam peta seni lukis abstarksi di Indonesia, misalnya, Achmad
Sadali dari ITB dan Fajar Sidik dari ASRI Yogjakarta jelas merupakan dua tokoh
puncaknya. Sehingga jelas symbolic value-nya
jelas lebih tinggi dari pada pelukis-pelukis absraksi yang lain.
Namun tidak jarang symbolic
value ini dirusak para bakul lukisan. Bakul yang berkedok kolektor ataupun
pengamat dadakan yang tidak jelas dasar ilmunya. Mereka ini hanya bisa
memanas-manasi calon kolektor dengan
jurus yang sangat menyesatkan; “investasi di seni rupa itu bagus sekali, dalam tempo
sekajap bisa untung ratusan kali lipat”. Padahal kepentingan mereka hanyalah
untuk menciptakan boom yang akan
menggelembungkan bubble, lahan
spekulasi yang subur bagi bakul itu.
Sebab itu masyarakat jangan terburu terkejut ketika harga
sebuah karya tiba-tiba melambung tinggi.
Apalagi jika harga itu didapat dari sebuah lelang. Harga tersebut adalah
harga semu. Jadi untuk bisa mendapatkan the
real price-nya perlu mengamatinya dalam jangka panjang. Sebab sangat besar
kemungkinan harga yang secara tiba-tiba itu hanyalah ulah dari para bakul.
“Istilahnya sebuah karya itu digoreng. Sehingga karya dari
seorang pelukis itu menjadi mahal. Padahal ia belum mencapai suatu titik symbolic value yang membuat economic valuenya setinggi itu,” ungkap
Seobagio Widjaja. Dijelaskan, karya itu “digoreng” agar nilai jual pelukisnya
juga naik. Nah, bakul ini pasti sudah mengoleksi karya-karya dari pelukis yang
“diorbitkan” tadi. Dengan begitu koleksi para bakul inipun akan secara
tiba-tiba menjadi barang yang mahal. “Namun yang demikian ini pasti tidak
bertahan lama. Seiring berjalan waktu harga karya tersebut akan turu lagi,”
katanya.zaki zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar