Ingatan saya langsung tertuju pada sebuah buku berjudul “Sebuah Dunia Yang Dilipat”. Buku karya Yasraf Amir Piliang ini belum tuntas saya baca, namun tiba-tiba menjejal dibenak saat menikmati lukisan-lukisan yang disajikan dalam pameran bertajuk “Treasure On Mirror” di AJBS Gallery Jalan Ratna, Kamis (2/3) lalu.
Karya-karya yang disajikan sang kreator, Dadi Setiyadi
membuat dunia dalam setting waktu
maupun tempat menjadi begitu kecil. Empat belas lukisan tersebut diakui sebagai
re-kreasi oleh kuratornya, Eddy Soetriyono. Sebuah upaya penciptaan ulang dari
karya (baca: lukisan) lama yang sebelumnya sudah ada. Sementara karya lama
tersebut terinspirasi dari cerita legenda maupum mitos.
Namun kiranya yang tertangkap tidak sesederhana itu. Sebab
ada semacam proses interpretasi pelukis terhadap karya yang sudah ada
sebelumnya. Hingga –mungkin- tidak berlebihan jika disebut sebagai
reinterpretasi. Dadi memberi pemaknaan baru terhadap karya-karya yang sudah ada
itu dalam konteks kekinian. Ia dengan jujur menunjukkan juga source yang dipinjamnya sebagai bahan
karyanya.
Adalah pastiche
yang lebih cocok dari pada disebut parodi. Parodi merupakan sebuah komposisi
seni ataupun sastra yang di dalamnya gagasan, gaya atau ungkapan khas seorang
seniman dipermainkan sedemikan rupa sehingga membuatnya tampak absurd. Benar
memang Dadi Setiyadi terkesan ingin bermain-main, menyindir, atau sinis. Namun
tidak muncul absurditas sebab lukisannya sangat terjelaskan.
Mungkin agak lebih dekat pada pastiche. Sebuah karya seni maupun sastra yang disusun dari
elemen-elemen yang dipinjam dari satu
atau berbagai sumber (seniman, gaya, idiom, kebudayaan) di masa lalu. Ini lebih
terasa akrab pada karya Dadi Setiyadi meski ada juga beberapa sumber diambil
tidak dari masa lalu. Patutlah ia dianggap mampu membuat masa lalu menjadi berbekas. Tidak sekadar seperti yang dinyatakan Walter
Benyamin, masa lalu hanya dapat ditangkap sebagai citraan yang bersinar
seketika dan kemudian lenyap tak berbekas.
Paling dekat dengan pintu masuk galeri adalah lukisan
berjudul “Nyi Pohaci Sanghyang Sri”. Lukisan ini sangat lega dinikmati.
Tertuang dalam kanvas berukuran 200x300 Cm dengan bahan acrylic. Di samping
lukisan itu –juga yang lain- disajikan keterangan yang sangat lengkap. Apa saja
sumbernya hingga keterangan interpretasi –entah kreator atau kurator- yang ingin disampaikan pada penikmat seni.
Lukisan tersebut dibuat dari bahan lukisan karya Sandro Boticelli yang berjudul
“The Birth of Venus”, lukisan Franz
Wilhelm Junghuhn berjudul “Plateau Dieng”. Sumber lain –bukan lukisan- adalah
tokoh Batman, buah-buahan dan sayuran, mawar, pohon aren, serta pohon bambu.
Keterangan lukisannya juga sangat memanjakan pengunjung.
Dijelaskan bahwa Nyi Pohaci atau Dewi Sri, dalam mitologi di pulau Jawa dan
Bali, adalah dewi “langit” yang cantik parasnya, sintal, berisi tubuhnya serta
panjang terurai rambutnya. Dewi khayangan yang cantik ini mengganggu kestabilan
langit hingga terpaksa dibunuh dan mayatnya dikubur di jagat “duniawi”. Karena sang
dewi luhur budinya maka dia dengan tulus mempersembahkan keelokan tubuhnya demi
kesuburan bumi. Sehingga dari segenap bagian tubunya menjelma segala macam
tumbuhan yang berguna bagi manusia.
Masih yang tertulis dalam keterangan lukisan itu; begitu
mengingat mitos Dewi Sri maka membayang kuat di benak perupa Dadi Setiyadi
sosok Dewi Venus yang dilukiskan dalam
karya pelukis top Renaisans Italia, Sandro Boticelli (1445-1510) berjudul
Kelahiran Venus (1486) yang hingga kini masih tersimpan prima di Galeri Uffizi,
Florence. Apalagi menurut ahli seni rupa Renaisans termashur, Ernst Gombrich,
Venus merupakan dewi “duniawi” yang dilindungi hal-hal yang fisik-material tapi
sekaligus diliputi cahaya “surgawi”. Menggairahkan dan penuh kejelitaan
sekaligus melambangkan “kesuburan penciptaan”.
Menggunakan bahan lukisan itu untuk mere-kreasi mitos Dewi
Sari, maka Dadi Setiyadi pun mengganti latar bahari dari lukisan Botocelli
dengan latar agraris. Cangkang kerang menjadi wadah penuh persembahan berjenis
sayur-mayur dan buah-buhan. Tanaman pun berganti beragam pohon tropis, termasuk
pohon aren bersadap nira manis yang konon menjelma dari lubang vagina sang
dewi. Deburan laut berombak digantikan hamparan sawah menguning panen.
Sedangkan langit luas bersaput mega sirna dan menjelma gulungan pegunungan yang
diambil dari lukisan “mooie indie” karya seorang naturalis penemu kina sebagai
obat malaria yang sekaligus seorang botanikus dan vulkanolog, FW Junghuhn
(1809-1864) tentang pemandangan di “Plateau Dieng” yang sangat kuat bau pulau
Jawa-nya. Lengkap dengan mawar tersebar. Bahkan agar lebih kuat bau lokal Nyi
Pohaci Shanghyang Sri sebagai dewi kesuburan di pulai Jawa sang seniman
melabeli lukisannya dengan pita bertajuk “Gemah Ripah Loh Jinawi”, metafor
bahasa di Jawa untuk menggambarkan negeri yang tenteram dan makmur serta subur
tanahnya.
Tapi untuk mengungkapkan bahwa mitos itu tak pernah lekang
dimakan zaman karena maknanya yang berlapis sehingga tidak habis ditafsir ulang,
Dadi Setoyadi juga melakukan penciptaan ulang karya Boticelli agar menebarkan
aroma masa kini dengan menggambarkan adegan sang dewi bersayap bidadari ketika
dibawa ke bumi oleh tokoh super hero manusia kelelawar Batman, tokoh dalam
mitologi kontemporer.
Keterangan yang cukup panjang dan memanjakan siapa saja
(seorang bodohpun) untuk bisa menikmati lukisan tersebut. Namun keterangan yang
begitu panjang dan detil pada setiap karya bisa sekaligus menjadi penjara
interpretasi pengunjung pameran. Ada pemaksaan yang dijejalkan. Namun menikmati
pameran tersebut cukup menjadi sebuah refresing sekaligus menambah wawasan
tentang lukisan, mitos, hingga isu terkini yang menjadi sumber kenakalan Dadi
Setiyadi.
Dan seperti dikatakan kurator Eddy Soetriyono, Dadi Setiyadi
mampu melakukan kreativitas untuk melakukan change
of meaning ataupun transfer of
meaning, sehingga semua itu menciptakan metafor baru. Referensi yang ada
digodok sedemikian rupa sehingga menjadi metafor baru yang membuka horison
kepada dunia yang baru terbangun itu. Sebuah dunia baru yang mengundang dengan
akrab agar kita meninjau dan bertamsya di dalamnya.zaki zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar