Minggu, 08 April 2012

Pastiche Reinterpretasi Dunia Yang Dilipat


 Ingatan saya langsung tertuju pada sebuah buku berjudul “Sebuah Dunia Yang Dilipat”. Buku karya Yasraf  Amir Piliang ini belum tuntas saya baca, namun tiba-tiba menjejal dibenak saat menikmati lukisan-lukisan yang disajikan dalam pameran bertajuk  “Treasure On Mirror” di AJBS Gallery Jalan Ratna, Kamis (2/3) lalu.

Karya-karya yang disajikan sang kreator, Dadi Setiyadi membuat dunia dalam setting waktu maupun tempat menjadi begitu kecil. Empat belas lukisan tersebut diakui sebagai re-kreasi oleh kuratornya, Eddy Soetriyono. Sebuah upaya penciptaan ulang dari karya (baca: lukisan) lama yang sebelumnya sudah ada. Sementara karya lama tersebut terinspirasi dari cerita legenda maupum mitos.

Namun kiranya yang tertangkap tidak sesederhana itu. Sebab ada semacam proses interpretasi pelukis terhadap karya yang sudah ada sebelumnya. Hingga –mungkin- tidak berlebihan jika disebut sebagai reinterpretasi. Dadi memberi pemaknaan baru terhadap karya-karya yang sudah ada itu dalam konteks kekinian. Ia dengan jujur menunjukkan juga source yang dipinjamnya sebagai bahan karyanya.

Adalah pastiche yang lebih cocok dari pada disebut parodi. Parodi merupakan sebuah komposisi seni ataupun sastra yang di dalamnya gagasan, gaya atau ungkapan khas seorang seniman dipermainkan sedemikan rupa sehingga membuatnya tampak absurd. Benar memang Dadi Setiyadi terkesan ingin bermain-main, menyindir, atau sinis. Namun tidak muncul absurditas sebab lukisannya sangat terjelaskan.

Mungkin agak lebih dekat pada pastiche. Sebuah karya seni maupun sastra yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam  dari satu atau berbagai sumber (seniman, gaya, idiom, kebudayaan) di masa lalu. Ini lebih terasa akrab pada karya Dadi Setiyadi meski ada juga beberapa sumber diambil tidak dari masa lalu. Patutlah ia dianggap mampu  membuat masa lalu menjadi berbekas.  Tidak sekadar seperti yang dinyatakan Walter Benyamin, masa lalu hanya dapat ditangkap sebagai citraan yang bersinar seketika dan kemudian lenyap tak berbekas.

Paling dekat dengan pintu masuk galeri adalah lukisan berjudul “Nyi Pohaci Sanghyang Sri”. Lukisan ini sangat lega dinikmati. Tertuang dalam kanvas berukuran 200x300 Cm dengan bahan acrylic. Di samping lukisan itu –juga yang lain- disajikan keterangan yang sangat lengkap. Apa saja sumbernya hingga keterangan interpretasi –entah kreator atau kurator-  yang ingin disampaikan pada penikmat seni. Lukisan tersebut dibuat dari bahan lukisan karya Sandro Boticelli yang berjudul “The Birth  of Venus”, lukisan Franz Wilhelm Junghuhn berjudul “Plateau Dieng”. Sumber lain –bukan lukisan- adalah tokoh Batman, buah-buahan dan sayuran, mawar, pohon aren, serta pohon bambu.

Keterangan lukisannya juga sangat memanjakan pengunjung. Dijelaskan bahwa Nyi Pohaci atau Dewi Sri, dalam mitologi di pulau Jawa dan Bali, adalah dewi “langit” yang cantik parasnya, sintal, berisi tubuhnya serta panjang terurai rambutnya. Dewi khayangan yang cantik ini mengganggu kestabilan langit hingga terpaksa dibunuh dan mayatnya dikubur di jagat “duniawi”. Karena sang dewi luhur budinya maka dia dengan tulus mempersembahkan keelokan tubuhnya demi kesuburan bumi. Sehingga dari segenap bagian tubunya menjelma segala macam tumbuhan yang berguna bagi manusia.

Masih yang tertulis dalam keterangan lukisan itu; begitu mengingat mitos Dewi Sri maka membayang kuat di benak perupa Dadi Setiyadi sosok Dewi Venus yang dilukiskan  dalam karya pelukis top Renaisans Italia, Sandro Boticelli (1445-1510) berjudul Kelahiran Venus (1486) yang hingga kini masih tersimpan prima di Galeri Uffizi, Florence. Apalagi menurut ahli seni rupa Renaisans termashur, Ernst Gombrich, Venus merupakan dewi “duniawi” yang dilindungi hal-hal yang fisik-material tapi sekaligus diliputi cahaya “surgawi”. Menggairahkan dan penuh kejelitaan sekaligus melambangkan “kesuburan penciptaan”.

Menggunakan bahan lukisan itu untuk mere-kreasi mitos Dewi Sari, maka Dadi Setiyadi pun mengganti latar bahari dari lukisan Botocelli dengan latar agraris. Cangkang kerang menjadi wadah penuh persembahan berjenis sayur-mayur dan buah-buhan. Tanaman pun berganti beragam pohon tropis, termasuk pohon aren bersadap nira manis yang konon menjelma dari lubang vagina sang dewi. Deburan laut berombak digantikan hamparan sawah menguning panen. Sedangkan langit luas bersaput mega sirna dan menjelma gulungan pegunungan yang diambil dari lukisan “mooie indie” karya seorang naturalis penemu kina sebagai obat malaria yang sekaligus seorang botanikus dan vulkanolog, FW Junghuhn (1809-1864) tentang pemandangan di “Plateau Dieng” yang sangat kuat bau pulau Jawa-nya. Lengkap dengan mawar tersebar. Bahkan agar lebih kuat bau lokal Nyi Pohaci Shanghyang Sri sebagai dewi kesuburan di pulai Jawa sang seniman melabeli lukisannya dengan pita bertajuk “Gemah Ripah Loh Jinawi”, metafor bahasa di Jawa untuk menggambarkan negeri yang tenteram dan makmur serta subur tanahnya.

Tapi untuk mengungkapkan bahwa mitos itu tak pernah lekang dimakan zaman karena maknanya yang berlapis sehingga tidak habis ditafsir ulang, Dadi Setoyadi juga melakukan penciptaan ulang karya Boticelli agar menebarkan aroma masa kini dengan menggambarkan adegan sang dewi bersayap bidadari ketika dibawa ke bumi oleh tokoh super hero manusia kelelawar Batman, tokoh dalam mitologi kontemporer.

Keterangan yang cukup panjang dan memanjakan siapa saja (seorang bodohpun) untuk bisa menikmati lukisan tersebut. Namun keterangan yang begitu panjang dan detil pada setiap karya bisa sekaligus menjadi penjara interpretasi pengunjung pameran. Ada pemaksaan yang dijejalkan. Namun menikmati pameran tersebut cukup menjadi sebuah refresing sekaligus menambah wawasan tentang lukisan, mitos, hingga isu terkini yang menjadi sumber kenakalan Dadi Setiyadi.

Dan seperti dikatakan kurator Eddy Soetriyono, Dadi Setiyadi mampu melakukan kreativitas untuk melakukan change of meaning ataupun transfer of meaning, sehingga semua itu menciptakan metafor baru. Referensi yang ada digodok sedemikian rupa sehingga menjadi metafor baru yang membuka horison kepada dunia yang baru terbangun itu. Sebuah dunia baru yang mengundang dengan akrab agar kita meninjau dan bertamsya di dalamnya.zaki zubaidi

Tidak ada komentar: