Memamerkan sebuah karya (baca:seni rupa) membutuhkan keberanian. Ketika karya tersebut dipajang untuk memberi ruang interaksi dengan masyarakat, maka segala bentuk apresiasi akan muncul. Entah itu cemooh atau puji, kreator harus bisa berbesar hati.
Keduanya bisa
menjadi cambuk untuk meningkatkan kualitas atau juga sekaligus membuat semakin
terpuruk. Tapi jika karya yang jujur dari sebuah proses belajar itu yang
dipamerkan, maka apapun hasilnya patut dan wajib dianggap positif. Karya-karya
yang masih harus banyak dikritik itu ditampilkan dalam pameran seni rupa
"Ekspresi Rupa Buana" yang digelar di Galeri Surabaya Dewan Kesenian
Surabaya Jalan Pemuda pada 1 hingga 5 Februari 2012.
Mengutip Susanne
K.Langer, karya seni meskipun dalam arti
tertentu mempunyai kemiripan dengan alam, namun ia sudah tercabut dari
kenyataan alamiah. Pada seni terdapat prinsip kelainan dari alam, yang membuat
seni itu sungguh-sungguh berdiri sendiri sebagai ciptaan. Prinsip ketercabutan
dari kenyataan alamiah menjadi prinsip penciptaan seni.
Bertolak dari
asumsi bahwa karya seni adalah hasil simbolisasi manusia, maka prinsip
penciptaan seni mengambil pola dari prinsip simbolisasi atau pembentukan
simbol. Intuisi atau inspirasi memegang peranan yang penting di dalam aktivitas
mencipta. Dari pengalaman estetik, manusia memperoleh kesan dalam kehidupannya.
Dan manusia cenderung ingin mengabadikan kesan yang dimilikinya.
Memang banyak karya
yang dinikmati tak lebih dari sebuah hiasan. Tapi masih ada juga beberapa karya
menarik, misalnya lukisan berjudul "Wayang Beber" karya Kusnuddin
Jurri mahasiswa Jurusan Seni Rupa Universitas Adi Buana. Lukisan ini
menampilkan sosok tokoh pewayangan. Namun tak jelas siapa tokoh yang dimaksud.
"Saya tak tahu siapa tokoh wayang itu karena saya juga tidak merujuk pada
yang ada. Yang jelas salah satu ciri wayang beber adalah kedua matanya
ditonjolkan. Tidak seperti wayang kulit yang hanya satu mata," katanya.
Tentu saja ini
ungkapan jujur dan penuh keberanian. Tanpa peduli pada rahim penciptaan tokoh
tersebut karya itu menyampaikan sebuah keberanian. Wayang itu menggunakan
pakaian khas Jawa dengan pose seperti hendak menerjang bahaya. Matanya yang
menonjol terkesan melotot; sebuah amarah. Lukisan ini tidak menggunakan pewarna
yang lazim digunakan pelukis. Kusnuddin menggunakan pewarna batik dalam
karyanya itu.
Ada juga karya yang
mencoba bermain di wilayah ambigu. Lukisan berjudul "Jebakan Hidup"
karya Danang Dwi Kusuma yang menawarkannya. Lukisan perempuan telanjang dengan
posisi telungkup memeluk lutut. Tubuh itu separoh tertutup kain putih dengan
lilitan tali warna merah. Ia berada di sebuah ruang yang juga temboknya
berwarna merah. Di bagian atas ata jendela dari jeruji besi yang membiaskan sinar
dari luar. Mungkin di dalam sebuah ruang tahanan. Tali yang melilit tubuh
perempuan terikat pada jeruji besi jendela.
Jebakan hidup bisa
dimaknai jebakan yang hidup, tapi juga bisa dianggap jebakan dalam sebuah
kehidupan. Perempuan itu adalah objek yang terjebak dalam ruang, namun juga
memungkinkan sebagai umpan yang bisa menjebak siapa saja. Sejarah perempuan
dalam sebuah kekuasaan sangat signifikan. Betapa perempuan bisa membuat
Napoleon Bonaparte tersungkur dari kursi kejayaannya. Perempuan mahluk yang
lemah yang juga sekaligus bisa sangat berkuasa. Merah warna cinta, merah juga
bisa amarah.
Ada juga lukisan
yang didominasi warna putih berjudul "Kesepian" karya Anggi.
Menggunakan media lilin, lukisan ini menggembarkan sosok terpekur dengan memeluk
lutut dalam posisi duduk. Goresannya hanya semacam sketsa hitam yang kabur.
Sosok itu membelakang lilin padam yang di atasnya ada sebuah topeng warna biru.
Dominasi dasar
putih dengan sketsa hitam cukup menarik dan menjadi agak nakal untuk
menggambarkan kesepian. Kesepian biasanya disampaikan dalam warna-warna gelap.
Namun penggunaan lilin sebagai bahan sekaligus salah satu objek membuat karya
ini begitu tragis. Lilin yang menyala bisa menjadi penerang. Ia membakar
dirinya sendiri hingga tandas. Kesepian yang begitu mengerikan meskipun tanpa
dominasi warna hitam.
Namun sayang,
pilihan warna biru pada topeng membuat karya ini agak sedikit terganggu. Topeng
ini hanya terkesan seperti stempel tinta. Menjadi tidak menyatu dengan dua
objek lainnya. Mungkin lebih bermakna jika menggunakan warna hitam atau bahkan
juga putih. Serupa bayang-bayang Tuhan pada kelam. Tapi mungkin saja kreator
memiliki maksud lain yang tidak mudah terpahami.
Selain lukisan ada
juga karya patung tanpa judul. Empat patung ini merupakan bentuk kepala
masing-masing kreatornya. Meraka adalah
Putri Nila Kusuma, Kusnuddin Jurri, Agustina Wulandari, dan Ratu Eka.
Patung dibuat dari bahan semen yang dicor. Keempatnya menyampaikan ekspresi
yang berbeda. Tapi totalitas warna hitam akhirnya menjebak seluruh ekspresi
tersebut pada kemurungan.
Kalaupun tersenyum,
senyum itu seperti hanya menyembunyikan luka. Ada juga yang tertawa, tapi tawa
itu juga menyampaikan kegetiran. Ada yang tenang tapi malah seperti memendam
dendam. Ada juga yang berteriak, tapi yang "terdengar" jerit
kesakitan. Memang begitulah risiko
sebuah pilihan.
Kata Hariadie,
karya yang dipamerkan merupakan hasil studi selama kuliah di Jurusan Seni Rupa
Fakultas Keguruan Ilmu PendidiAn Universitas Adi Buana Surabaya. Seba itulah karya-karya
tersebut sifatnya masih belajar dan banyak kekurangan.
"Ibarat
menabur benih kesenian ketika bersemi tinggal merabuknya. Seperti yang kami
singgung, tatkala ingin merawatnya maka tumbuhlah pohon yang subur," kata
Hariadie yang merupakan dosen pengampu mata kuliah tersebut.
Sementara itu
Kusnuddin Jurri mengakui pameran ini merupakan proses studi tahap akhir, yaitu
proses studi yang menuntut pembuktian aktualisasi diri pada masyarakat.
"Inilah yang sedang kami lakukan. Sebuah tuntutan akademis yang
mengharuskan mahasiswa seni rupa semester akhir mengapresiasikan karya yang
dibuat selama proses studi," kata Kusnuddin yang juga ketua panitia
pameran.
Ditambahkan,
sebenarnya mata kuliahnya bukan "pameran studi", tapi lebih pada cara
memanajemeni sebuah pameran. Tentu saja pamer karya menjadi tantang tersendiri.
Bagi Kusnuddin, subtansi dari apresiasi itu adalah penilaian terhadap suatu
karya yang tentu saja syarat dengan berbagai kekurangan dan kelebihan. "Tentu berbagai kritik dan saran akan
sangat bermakna bagi sukses atau tidaknya sebuah perhelatan kesenian yang
bersifat apresiatif ini," katanya.
zaki zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar