Minggu, 08 April 2012

Realitas Literal yang Mudah Dibaca


Howard W Dick dalam bukunya "Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History 1900-2000" menegaskan Surabaya adalah kota kerja. Tapi hasil penelitian ini seolah perlu sedikit "digugat" . (Mungkin) tak seutuhnya benar. Begitulah kesan yang didapat saat menyaksikan pamerasn lukisan "Surabaya Tanpa Batas" yang digelar di Gedung CCCL Jalan Darmokali, Surabaya, 6-20  Desember 2011.

Pameran tersebut menampilkan karya tujuh fotografer dan seorang videograver dari kelompok Matanesia serta Marie Jo Stevens dan Agus Suparta. Karya-karya yang disuguhkan memang ingin mengungkap sisi lain kota yang sibuk ini. Misalnya, 12 frame foto karya Marie Jo Stevens berjudul Pasar Keputran. Fotografer berkebangsaan Prancis ini menyuguhkan keceriaan para pedagang tradisional.

Paduan warna-warna kontras yang dihasilkan dari visualisasi buah dan sayur sangat terasa kesegarannya. Ditambah lagi setiap pedagang tampak tersenyum di bawah cahaya lampu kekuningan. Sebuah foto juga merekam diam, (mungkin) sepasang suami-istri sedang bergurau. Senyum lepas dari keduanya. Begitu bahagia, diantara tumpukan sayur dan buah.

Semua objek manusia dalam foto itu sedang bekerja. Malam hari. Saat manusia lain tidur lelap. Tapi tak sedikitpun terlihat gurat tekanan kerja. Mereka ceria seolah sedang berpesta. Surabaya begitu ramah. Marie Jo Stevens menyatakan foto yang ditampilkannya adalah foto potrait. Kebalikan dari foto candid. Setiap foto tersebut mewakili sebuah pertemuan singkat dan intens dengan orang yang tidak dikenal.

Sebagai seorang fotografer, Marie Jo Stevens juga menggemari etnologi dan antropologi. Saat ia mengambil gambar, ia memiliki kesadaran bahwa dalam 50 tahun mendatang hal tersebut akan menjadi sebuah catatan, kesaksian akan gaya hidup pada suatu masa.

Catatan tentang Surabaya juga ada pada foto dengan tema The Paradox of Urbanspace karya Artika Farmita. Tiga bingkai foto yang menampilkan lahan yang masih alami: sawah dan rumput liar, diparadokkan dengan gedung tinggi. Kini keduanya masih bisa dinikmati bersama. Tapi kelak seiring pembangunan yang tak mungkin dibendung, hijau asri itu pasti perlahan hilang.

Ya, sementara hanya itu yang bisa dinikmati. Hanya rekaman sejarah. Rekaman gambar statis. Sebagai sebuah hal statis seharusnya fotografer bisa memberi penajaman. Bisa jadi banyak pilihan cara dalam melakukan penajaman tersebut. Hingga karya tersebut benar-benar bisa merekam sesuatu yang kelak pasti menjadi sejarah yang berharga.

Meski demikian, ada juga karya yang menjadikan tema sosial itu bukan ambisi utama. Tak ada peristiwa sosial yang ditonjolkan. Seperti karya Aftonun Nuha yang diberi judul Kampung dan Mall.  Lima foto hasil jepretannya hanya menggunakan pewarnaan black and white. Dengan pilihan warna yang stereotip ini tertangkap ada ambisi artistik yang ingin disajikan Aftonun Nuha.

Ambisi artistik ini sangat kental pada foto dengan objek parkiran Royal Plasa di malam hari. Dengan efek hitam putih itu, Aftonus Nuha bisa menyuguhkan lampu mall tersebut bagai gerhana bulan dengan lingkar cincinnya yang putih bersinar. Ini jelas paradoks. Bulan tak bisa dinikmati di kota ini dengan kendahan setara di desa. Efek lampu di malam hari pun diabaikan. Dan memang masih jarang hasil jepretan malam hari yang hanya black and white.

Surabaya juga punya sisi religiusitas. Sebuah kampung bernama Sidoresmo merupakan salah satu kawasan pondok pesantren. Dalam keterangan fotonya, Wirawan Dwi P, mencoba membeber asal usul kampung yang dekat dengan Stasiun Wonokromo. Ada empat frame yang disajikan; pria bersarung bermain bola, dua sosok santri bersama-sama menjinjing bak, dua santri mengaji dari lantai atas, serta salah satu sudut masjid di gang sempit. Keempat foto berusaha menarasikan aktivitas di kampung Sidoresmo.

Memang foto-foto yang dipamerkan tidak cukup membuat decak kagum sebagai suatu karya seni namun cukup lumayan sebagai sebuah transmisi informasi. Jujur dan apa adanya. Dan Roland Barthes dalam bukunya berjudul "Le message photographique" menyatakan, pada dasarnya scene (peristiwa, aktivitas, pemandangan) yang terekam dalam foto merupakan realitas literal yang mudah dibaca.

Tetapi pada saat pemindahan objek nyata itu ke dalam sebentuk imaji (citra, foto, gambar) terjadi reduksi -entah reduksi proporsu atau ukuran, sudut pandang, maupun warna. Meski demikian proses pemindahan itu tidak pernah mereduksi proses transformasi. Sehingga untuk memindahkan realitas ke dalam foto sama sekali tidak perlu mencincang realitas menjadi unit-unit kecil serta  tidak perlu menyisipkan tanda karena hanya akan mengurangi kekuatan foto itu sendiri.

Imaji tentu saja berbeda dengan realitas. Tapi imaji fotografis adalah analogon (turunan, salinan, kopian) yang sempurna dari realitas dan justru kesempurnaan analogis inilah yang diterima umum sebagai kekhasan atau kekuatan foto. Hingga kita tahu bahwa imaji fotografis menyandang status istimewa: ia adalah pesan tanpa kode. Lalu dari proposisi ini bisa mengamini konsekuensinya: pesan fotografis adalah pesan yang bersifat kontinyu (polos, telanjang).zaki zubaidi

Tidak ada komentar: