Howard W Dick dalam bukunya "Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History 1900-2000" menegaskan Surabaya adalah kota kerja. Tapi hasil penelitian ini seolah perlu sedikit "digugat" . (Mungkin) tak seutuhnya benar. Begitulah kesan yang didapat saat menyaksikan pamerasn lukisan "Surabaya Tanpa Batas" yang digelar di Gedung CCCL Jalan Darmokali, Surabaya, 6-20 Desember 2011.
Pameran tersebut menampilkan karya tujuh fotografer dan
seorang videograver dari kelompok Matanesia serta Marie Jo Stevens dan Agus
Suparta. Karya-karya yang disuguhkan memang ingin mengungkap sisi lain kota
yang sibuk ini. Misalnya, 12 frame foto karya Marie Jo Stevens berjudul Pasar
Keputran. Fotografer berkebangsaan Prancis ini menyuguhkan keceriaan para
pedagang tradisional.
Paduan warna-warna kontras yang dihasilkan dari visualisasi
buah dan sayur sangat terasa kesegarannya. Ditambah lagi setiap pedagang tampak
tersenyum di bawah cahaya lampu kekuningan. Sebuah foto juga merekam diam,
(mungkin) sepasang suami-istri sedang bergurau. Senyum lepas dari keduanya.
Begitu bahagia, diantara tumpukan sayur dan buah.
Semua objek manusia dalam foto itu sedang bekerja. Malam
hari. Saat manusia lain tidur lelap. Tapi tak sedikitpun terlihat gurat tekanan
kerja. Mereka ceria seolah sedang berpesta. Surabaya begitu ramah. Marie Jo
Stevens menyatakan foto yang ditampilkannya adalah foto potrait. Kebalikan dari
foto candid. Setiap foto tersebut mewakili sebuah pertemuan singkat dan intens
dengan orang yang tidak dikenal.
Sebagai seorang fotografer, Marie Jo Stevens juga menggemari
etnologi dan antropologi. Saat ia mengambil gambar, ia memiliki kesadaran bahwa
dalam 50 tahun mendatang hal tersebut akan menjadi sebuah catatan, kesaksian
akan gaya hidup pada suatu masa.
Catatan tentang Surabaya juga ada pada foto dengan tema The
Paradox of Urbanspace karya Artika Farmita. Tiga bingkai foto yang menampilkan
lahan yang masih alami: sawah dan rumput liar, diparadokkan dengan gedung tinggi.
Kini keduanya masih bisa dinikmati bersama. Tapi kelak seiring pembangunan yang
tak mungkin dibendung, hijau asri itu pasti perlahan hilang.
Ya, sementara hanya itu yang bisa dinikmati. Hanya rekaman
sejarah. Rekaman gambar statis. Sebagai sebuah hal statis seharusnya fotografer
bisa memberi penajaman. Bisa jadi banyak pilihan cara dalam melakukan penajaman
tersebut. Hingga karya tersebut benar-benar bisa merekam sesuatu yang kelak
pasti menjadi sejarah yang berharga.
Meski demikian, ada juga karya yang menjadikan tema sosial
itu bukan ambisi utama. Tak ada peristiwa sosial yang ditonjolkan. Seperti
karya Aftonun Nuha yang diberi judul Kampung dan Mall. Lima foto hasil jepretannya hanya menggunakan
pewarnaan black and white. Dengan pilihan warna yang stereotip ini tertangkap
ada ambisi artistik yang ingin disajikan Aftonun Nuha.
Ambisi artistik ini sangat kental pada foto dengan objek
parkiran Royal Plasa di malam hari. Dengan efek hitam putih itu, Aftonus Nuha
bisa menyuguhkan lampu mall tersebut bagai gerhana bulan dengan lingkar
cincinnya yang putih bersinar. Ini jelas paradoks. Bulan tak bisa dinikmati di
kota ini dengan kendahan setara di desa. Efek lampu di malam hari pun
diabaikan. Dan memang masih jarang hasil jepretan malam hari yang hanya black
and white.
Surabaya juga punya sisi religiusitas. Sebuah kampung
bernama Sidoresmo merupakan salah satu kawasan pondok pesantren. Dalam
keterangan fotonya, Wirawan Dwi P, mencoba membeber asal usul kampung yang
dekat dengan Stasiun Wonokromo. Ada empat frame yang disajikan; pria bersarung
bermain bola, dua sosok santri bersama-sama menjinjing bak, dua santri mengaji
dari lantai atas, serta salah satu sudut masjid di gang sempit. Keempat foto
berusaha menarasikan aktivitas di kampung Sidoresmo.
Memang foto-foto yang dipamerkan tidak cukup membuat decak
kagum sebagai suatu karya seni namun cukup lumayan sebagai sebuah transmisi
informasi. Jujur dan apa adanya. Dan Roland Barthes dalam bukunya berjudul
"Le message photographique" menyatakan, pada dasarnya scene
(peristiwa, aktivitas, pemandangan) yang terekam dalam foto merupakan realitas
literal yang mudah dibaca.
Tetapi pada saat pemindahan objek nyata itu ke dalam
sebentuk imaji (citra, foto, gambar) terjadi reduksi -entah reduksi proporsu
atau ukuran, sudut pandang, maupun warna. Meski demikian proses pemindahan itu
tidak pernah mereduksi proses transformasi. Sehingga untuk memindahkan realitas
ke dalam foto sama sekali tidak perlu mencincang realitas menjadi unit-unit
kecil serta tidak perlu menyisipkan
tanda karena hanya akan mengurangi kekuatan foto itu sendiri.
Imaji tentu saja berbeda dengan realitas. Tapi imaji
fotografis adalah analogon (turunan, salinan, kopian) yang sempurna dari
realitas dan justru kesempurnaan analogis inilah yang diterima umum sebagai
kekhasan atau kekuatan foto. Hingga kita tahu bahwa imaji fotografis menyandang
status istimewa: ia adalah pesan tanpa kode. Lalu dari proposisi ini bisa
mengamini konsekuensinya: pesan fotografis adalah pesan yang bersifat kontinyu
(polos, telanjang).zaki zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar