Minggu, 15 April 2012

Membaca Antologi FPII 2012 dengan Tanda Tanya Bertubi-tubi


Buku tebal itu tergelak tepat disamping segelas kopi hitam. Hard cover berwarna hijau. Tulisan besar; What’s Poetry. Di bawahnya menjelaskan buku tebal itu adalah sebuah antologi puisi. Di bawahnya lagi tertulis; Forum Penyair Internasional Indonesia 2012. Jelas antologi itu bukan buku murah. Isinya apakah memang “semahal” kualitas fisiknya?

Jelas pembaca langsung ingin tahu siapa sajakah sastrawan Indonesia yang ada dalam FPII 2012 itu.  Puisi apa saja yang ada dalam antologi yang telah dilaunching secara maraton di Magelang, Pekalongan, Malang, dan Surabaya ini. Bukan karya yang pertama kali dibaca, tapi siapa saja penyairnya.

Biodata para penyair itu ada di halaman 437 hingga 495. Beberapa nama dalam biodatanya terjelaskan sebagai seorang yang memang telah menulis beberapa karya dan terpublikasikan  di media. Tapi ada juga yang membuat pembaca tercengang-heran, diantaranya biodata Mikael Johani, Ratri Ninditya, dan Stephani Mamonto.

Mikael Johani dalam biodatanya menerangkan tinggal di Ciledug, Tangerang. Senin-Jumat naik vespa lx150 ke kantor di daerah Senopati, Kebayoran Baru (rute pencuri kerbau di zaman pra-Indonesia). Sabtu-Mingggu disko di rumah. Menulis puisi dan resensi (selain nge-tweet) di tumblr, posterous, multiply, facebook notes, blogspot dan goodreads. Pernah menerbitkan stensilan puisi bahas Inggris di tahun 2008, berjudul We are Nowhere and It’s Wow. Dalam banyak hal masih, masih nowhere sampai sekarang. Lahir di Yogyakarta, 18 Juni 1976. Lulis S1 dari Australian National  University , Jurusan Sastra Yunani Kuno.

Ratri Ninditya menjelaskan dalam biodata jika dirinya ngekos pindah-pindah di berbagai tempat di Jakarta. Sebulan sekali pulang ke rumah orang tua di Gandul, Depok. Menulis copy untuk perusahaan iklan, doesn’t matter. Menulis puisi dan cerpen di tumblr dan blogspot (yang ini matters to me). S1 Universitas Indonesia, Jurusan Komunikasi. Suka baca, suka lars von trier, makan, dan ngelamun di kendaraan umum.

Sedangkan Stephanie Mamonto menulis biodatanya, lahir di Jakarta 7 Mei 1986 dan memilih tetap tinggal di rumah orang tunya di Rawa buaya sampain saat ini meskipun jauhnya bikin badan encok. Jam 7 pagi sudah menjelma menjadi mbak-mbak Sudirman, siangnya bisa ada di manamana mengejar bloger/penulis untuk sebuah perusahaan startup digital media di Indonesia, dan malamnya ada di Salemba untuk kuliah atau di kedai-kedai kopi tersembunyi yang kurang hipster untuk menyusun tesis atau menulis sebagai kontributor di majalah-majalah gaya hidup masa kini tentang pop culture. Hanya bahagia ketika mengaduk kesedihan di dalam mangkuk berisi sesendok kopi hitam, sedikit susu,  dan sejumput gula. Kuliah malam S-2 Komunikasi di Universitas Indonesia.

Dalam pemikiran Pierre Bourdieu dinyatakan suatu habitus itu setidaknya didukung empat modal, yaitu; modal ekonomi,  modal sosial, modal budaya, dan modal simbolis. Suatu proses kepenyairan (habitus) haruslah didukung keempat modal itu agar dalam bertarung atau memiliki eksitansi dalam arena (baca: sastra) agar bisa terbaca sebagai sebuah praktik (baca: puisi atau penyair). Sederhananya, Bourdieu  merumuskan (habitus x modal) + arena = praktik. Sehingga untuk melihat sebuah karya bisa dilakukan dengan merunut bagaimana kehidupan penulisnya, karya-karya apa saja yang dihasilkan sebelumnya.

Nah, berdasar biodata ketiga nama itu bisa terjelaskan bahwa proses kepenyairan mereka itu hanya didukung modal sosial dan modal ekonomi. Keterlibatan mereka dalam antologi FPII 2012 tidak disertai modal budaya apalagi modal simbolis.  Modal sosial, jelas mereka punya karena ranah pertaruhan mereka di internet. Jaringan yang sudah terbentuk diantara sesama blogger atau sejenisnya. Modal ekonomi, jelas, karena mereka memiliki laptop untuk memproduksi tulisan-tulisannya. Mereka tidak memiliki modal budaya yang cukup sebagai penulis yang karya-karya terpublikasikan melalui sebuah seleksi yang ketat. Kalaupun tidak terpublikasikan, karya mereka bisa dipertanggungjawabkan secara estetis.   

Lalu apa penjelasan kurator tentang tanda tanya ini. Afrizal Malna dalam esai kuratorialnya ternyata menerangkan bahwa puisi yang terkumpul bukanlah puisi kanon. “Kurasi ini merupakan laporan dari kecenderungan puisi kontemporer Indonesia. Kehadirannya masih membutuhkan pewacanaan lebih lanjut. Karena itu saya menyebutnya sebagai sebuah versi dalam puisi kontemporer Indonesia melalui kurasi ini. Puisi-puisi Indonesia yang sudah menjadi kanon, saling mereproduksi dirinya, tidak menjadi perhatian utama kurasi ini,” kata Afrizal dalam tulisan kuratorialnya.

Tentang karya yang tersebar melalui media internet, Afrizal juga memaklumi jika masih banyak kekurangannya. “Penyair-penyair ini rata-rata tinggal di kota-kota besar Indonesia, dan kurasi ini sejak awal harus mengakui kelemahannya untuk mengenali keberagamannya,” tegas Afrizal.

Dari penjelasan ini memang sepertinya ingin mewadahi para penyair yang belum memiliki karya kanon. Tapi pertanyaan lain masih menyusul; mengapa ada  penyair-penyair kawakan sekaliber Zawawi Imron dan Mustofa Bisri? Juga nama-nama lain (meski belum sedemikian kanon) yang karya-karyanya sudah banya terpublikasikan? Tak salah jika muncul kecurigaan, antologi ini tanpa konsep yang jelas. Atau melenceng dari konsep awal Tapi mungkin juga kecurigaan itu salah karena cara membaca yang juga salah. Atau?

Dari pada bingung dengan tanda tanya, mungkin sebaiknya menikmati puisi penyair internasional Ratri Ninditya yang berjudul “Gengges”. Ngapain cepet-cepet mati/di dalam kubur pasti sepi sekali/daripada di rumah/main internet/donlot film bokep/lebih baik keluar/lihat yang nyata/lihat gadis manis dengan gelembung di dada/aa ubanan dengan gelembung di celana/minum di bremer/dinner pepenero/keleleran di seven ngalayven/cipika cipiki sama selebriti kurang terkenal/futu futu waktu kalian buka kamar/hisap hisap yang asam/tiup tiup yang lain/hihihi udah ah/malu/lain kali jangan ngomongin diri sendiri melulu!zaki zubaidi

Minggu, 08 April 2012

Bagai Melancong dengan Bekal Pas-pasan


Wina Bojonegoro adalah satu dari sedikit perempuan penulis yang dimiliki negeri ini. Pemilik nama asli Endang Winarti itu sudah cukup banyak menciptakan cerita pendek (cerpen) dan sering dimuat di media-media. Dari karya yang telah terpublikasi maupun yang belum itulah Wina meluncurkan kumpulan cerpen berjudul “Korsakov” di Togamas Petra beberapa waktu lalu.

Terdapat 17 judul cerpen di dalam yang diterbitkan secara swadaya ini. Pemilihan judul antologi tersebut memang cukup membuat tanda tanya di kepala. Korsakov, jelas sebuah nama atau tempat atau entah yang asing di telinga kita. Namun yang pasti itu nama khas itu menyeret pengetahuan pembaca pada sebuah tempat  yang berada nun jauh di sana; Rusia. Tak salah jika pembaca akan memulai membaca buku ini dari cerpen berjudul “Korsakov”.

Wina memulai kisahnya dengan gaya bertutur. Melalui kalimat pembuka Kepada sahabtku; Jay, jelas bisa dipahami cerpen ini berisi sebuah surat tokoh aku kepada temannya. Sang tokoh –lewat suratnya- menceritakan perjalanannya dari tanah air menuju St Petersburg. Kepergian yang disebabkan hasrat menemui sang kekasih. Wajar ika pembaca berharap akan ikut menikmati surat tersebut dan ingin merasakan gairah tokoh aku selama perjalananya.

Nama-nama tempat dijejalkan dalam sebuah paragraf –juga paragraf yang lain. Pagi buta menyeretku tergopoh-gopoh menuju Bandara Internasional Changi yang sibuk luar biasa. Pernahkan ada ketenangan dalam hati yang tergesa-gesa menemui kekasihnya? Tidak juga aku. Dan juga ketika aku harus tidur semalam di Bandara Narita, itulah penyiksaan paling buruk dalam sejarah penantianku.

 Berselang satu paragraf, penulis kembali menjejalkan beberapa nama tempat. Dengan feri aku meninggalkan  Wakkanai, Hokkaido, membelah teluk Aniva menuju dermaga Korsakov tempat dia berdiri.

Banyak tempat yang disebutkan namun sayang rasanya nama-nama tempat itu hanya semacam buku pemandu wisata. Ada semacam keinginan penulis mengajak pembacanya menyinggahi atau setidaknya berhenti sejenak untuk menikmati udara di kota-kota tersebut. Namun sayang penulis terlalu tergesa-gesa bergerak menceritakan gelora tokoh aku, Sri Sulastri,  yang akan segera bertemu dengan kekasihnya; Nickolay Erlangga Korsakov.

Ada usaha dari penulis untuk mengisahkan pertemuan itu di sebuah rumah yang disebut mirip Grahadi namun  dalam skala kecil. Penulis juga ingin pembaca merasakan suasana pertemuan kedua tokoh (yang tetap ditutur dalam surat) dengan menyebut beberapa komposisi yang dimainkan Korsakov: Nocturne karya Chopin.  Jika saja permainan piano Korsakov bisa dibahasakan dengan lebih detil dan luwes, mungkin alunan Nocturne itu bisa ikut terlantun. Penulis hanya menyuguhkan perdebatan kedua tokoh tentang apakah Nocturne itu lagu sedih atau lagu bahagia.

Di akhir kisahnya memang lumayan mengejutkan. Kejadian pertemuan yang di alami Sri tersebut ternyata tidak nyata. Sebab diketahui sejak lima sebelum kedatangannya, Nickolay Erlangga Korsakov sedang dirawat di rumah sakit dalam keadaan koma. Terasa memang cukup manis jika hanya sekadar mengatakan betapa besar kekuatan cinta dengan segala keajaibannya. Dan kisah ini tidak akan mengalami banyak perubahan jika seandainya nama-nama tempat yang dijejalkan untuk disinggahi tersebut ditiadakan.  Semacam “pelancongan” yang tergesa-gesa karena gairah yang berlebihan untuk “singgah” .

Menikmati cerpen lain berjudul “Prime Customer” beda lagi rasanya. Cerita ini dibuka dengan dialog yang vulgar dan nakal.
“Istriku frigid..”katanya pilu.
“Hmm..sykurlah...”kataku riang.
“Asem! Kamu senang ya?”
“Dengan begitu kau akan selalu datang padaku.”
“Bantulah aku.”
“Sudah.”
“Maksudku, tidak begini.”
“Lalu dengan apa?”
“Aku mencintainya.”
“Masa bodoh!”
“Asem akan kubayar.”

Tokoh lelaki itu pun membayar mahal agar pelacur langgannya itu mau mengajari istrinya bercinta.  Dengan uang yang cukup banyak sang pelacur tak kuasa menolak. Maka ia pun mencari cara untuk bisa kenal dengan istri pelanggannya itu tanpa curiga. Perkenalan yang sewajarnya antara dua perempuan.  Jejaring sosial Facebook dipilih sebagai wadah perkenalan. Sang pelacur mengundang istri pelanggannya untuk berteman dengan pencitraan palsu.

Aku pandai merangkai kalimat, aku dulu pemain teater. Dan pernah belajar menulis sastra. Ada bakat tersembunyi dalam hal itu. Jangan pernah mengkhawatirkan kemampuanku merangkai kata. Kemudian aku mengkopi tulisan-tulisan para ahli pembuat kata-kata mutiara, sebagai status harianku. Ini penting, pencitraan sangat dibutuhkan sebagaibentuk aktualisasi diri. Jelas-jelas paragraf yang janggal. Entah kesengajaan atau keteledoran.

Singkat cerita kedua perempuan ini akrab. Pelacur berhasil membuat istri pelanggannya itu berubah.  Namun istri yang kolot itu malah berubah liar dan jarang di rumah. Pelanggan jadi kesepian. Ia pun ingin ditemani pelacur. Tapi sang pelacur menolaknya. Pelacur itu lebih memilih menjalin kasih dengan istri pelanggannya. Cinta sesama jenis.

Malam ini aku ingin merayakan sesuatu, sebuah awal kehidupan baru. Perempuan itu datang, melambai. Dia terlihat sangat feminine, langsing, tersenyum segar, dan parfumnya yang lembut menggoda saraf-sarafku. Aku menyerahkan senyum terbaik untuknya. Hari ini akan kuserahkan malam untuknya.

Mengakhiri cerita dengan luar biasa memang penting. Tapi kejutan itu tidak bisa didatangkan tiba-tiba tanpa alasan.  Seorang Anton Chekov pun dengan karya-karyanya yang selalu meledak di akhir, tetap membangun alasan itu hal itu. Ending yang meng-KO pembaca sudah dipersiapkan sejak awal.

Namun ini hanya sebatas menikmati sebuah karya. Kenikmatan yang didapat mungkin tidak sama antara pembaca yang satu dengan yang lain. Apapun hasil sebuah pembacaan, peluncuran kumpulan ini adalah memberi warna dan meramaikan kesustraan Indonesia yang nyaris kehilangan perempuan-perempuan penulisnya.

Akhirnya, dari beberapa testimoner buku ini mungkin hanya Budi Darma yang memberikan kritiknya. Ia mengatakan cerpen Korsakov terlalu “touristic”, tapi segala sesuatunya serba sepintas, tidak ada pendalaman. Sekarang sudah banyak orang mengenal luar negeri. Cerpen ini, sementara itu, banyak bercerita mengenai luar negeri, apalagi sifatnya hanya sepintas-pintas, dan karena itu, tidak terasa unsur eksotisnya. zaki zubaidi

Piere Bourdieu “Menyapa” Dahlan Iskan dan Suparto Broto


Prilaku Dahlan Iskan, sang Menteri BUMN, membuat masyarakat tercengang. Ia sering menghadiri rapat kabinet dengan menumpang ojek, tidak menggunakan mobil layaknya kebiasaan para menteri lainnya. Fenomena terbaru adalah saat ia mengamuk di pintu tol. Ia membuka paksa palang pintu dan mempersilakan semua kendaraan melintas tanpa membayar. Meskipun konon katanya Dahlan Iskan membayar seluruh ongkos kendaraan yang melintas tersebut. Banyak yang sudah membicarakannya.

Lantas bagaimana bila prilaku itu dibaca melalui kaca mata Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis yang lahir 1930 dan meninggal 2002 lalu. Ia penulis yang dikenal karena pandangan politiknya yang vokal dan keterlibatannya dalam isu-isu publik. Bourdieu adalah salah satu pemain terkemuka dalam kehidupan intelektual Perancis. Ia menjadi “referensi intelektual” bagi gerakan yang menentang neo-liberalisme dan globalisasi, yang berkembang di Perancis dan bagian dunia lain selama 1990-an.

Bourdieu menggunakan metode-metode yang diserap dari berbagai disiplin ilmu: dari filsafat dan teori sastra ke sosiologi dan antropologi. Ia sangat dikenal karena bukunya, Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste, di mana ia berargumen bahwa penilaian-penilaian selera itu berhubungan dengan posisi sosial.

Hal ini menjadi topik dalam diskusi rutin  yang diadakan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Diskusi yang diikuti para mahasiswa dan penulis ini digelar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) pada Kamis (29/3) malam. Sebagai pembicara adalah Kukuh Yuda Kananta, dosen Universitas Ciputra Surabaya dan Dheny Jatmiko, sastrawan. Keduanya sama-sama sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogjakarta.

Dalam konteks sosial budaya, Kukuh menggunakan fenomena Dahlan Iskan untuk menjelaskan bagaimana pemikiran Bourdieu bekerja. “Jika dicermati dengan sedikit lebay sekaligus serius kisah Dahlan sebenarnya menampilkan suatu pertentangan antara individu terhadap protokoler yang dihasilkan institusi institusi,” kata Kukuh di hadapan peserta diskusi.

Lebih lanjut diterangkan,  pemerintahan merupakan sistem yang di dalamnya terdapat struktur, hirarki, aturan, yang mana individu mesti patuh, terkenai segala prosedur yang beroperasi di dalamnya. Tapi kisah Dahlan itu berbeda karena dia sengaja memilih untuk tampil beda. Katakanlah Si Dahlan ini agen, maka dia melakukan apa yang dalam bahasa Bourdieu disebut praktek agensi,” terangnya.

Agen yakni individu yang menjadi subjek sosial. Sedangkan agensi adalah ide bahwa setiap individu telah dilengkapi dengan kemampuan memahami dan mengontrol tindakan masing-masing berdasarkan kondisi-kondisi di mana individu tersebut tinggal -seringkali terkait dengan intensionalitas dan individualitas.

Dengan kalimat lain, jika agen mengacu pada individu, maka agensi lebih mengacu pada kemampuan individu tersebut terkait dengan relasinya terhadap struktur sosial. Adapun struktur sosial dipahami dalam dua dimensi yakni struktur objektif, struktur yang terpampang dalam struktur sosial dan struktur subjektif yakni struktur yang berada dan bekerja di dalam diri individu.

Jika agen dianggap mampu melakukan dan bertindak sebagai agensi, hal itu dikarenakan agen memiliki habitus dan modal yang memungkinkan atau mendukungnya. Bourdieu mengartikan habitus sebagai konsep yang mengekspresikan. Di satu sisi, cara individu untuk “menjadi dirinya sendiri” -mengembangkan sikap dan disposisi,  dan di sisi lain adalah cara individu-individu terlibat dalam praktik.

Istilah modal dipakai Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat.  Modal dapat digolongkan ke dalam empat jenis menurut Bourdieu yakni modal ekonomi, modal budaya, modal sosial atau jaringan sosial,  serta modal simbolik .  “Nah, Dahlan Iskan memiliki modal itu semua sehingga bisa membentuk habitus yang seperti dilakukannya saat ini,” terang cowok 25 tahun ini.

Selain itu, Dahlan yang punya banyak pabrik koran dan stasiun TV ini  tak kurang suatu apapun secara ekonomi. Dahlan punya linuwih lainnya: skill-nya sebagai jurnalis memang bagus: tulisannya lancar, jernih, menghibur, dan memberi wawasan. Momen saat tulisan itu dibaca, dan dipercaya orang maka sesungguhnya Dahlan melakukan apa yang Bourdieu sebut sebagai kuasa-simbolik.

“Kuasa simbolik adalah kuasa untuk mengubah dan menciptakan realitas, yakni mengubah dan menciptakannya sebaga sesuatu yang diakui, dikenali, dan juga sah. Kuasa simbolik untuk membuat orang melihat dan percaya, untuk memperkuat atau mengubah cara pandang terhadap dunia dan bagaimana mengubah dunia itu sendiri,” papar Kukuh.

Lantas bagaimana jika pemikiran Bourdieu ini digunakan untuk menganalisis sebuah karya sastra. Dheny Jatmiko menggunakannya untuk mengulas karya-karya Suparto Broto, prosais asal Surabaya yang banyak menulis tentang kondisi riil sosial masyarakat kota, seperti Surabaya.

“Dapat dipahami bahwa habitus adalah struktur yang distrukturkan. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Jelas habitus bukan kodrat, bukan bawaan alamiah yang melengkapi manusia, baik secara psikologis maupun biologis,” papar pria yang juga staf Humas Stikom Surabaya ini.

Ditambahkan, habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas. Habitus juga dapat disebut merupakan hasil dari internalisasi eksternal yang dimunculkan sebagai eksternalisasi internal. “Untuk menganalisis karya-karya Suparto Broto menggunakan Bourdieu, mau tidak mau kita juga juga harus mengenal Suparto Broto sebagai individu.  Kebiasaan dia seperti apa. Jadi ketika menjadikannya bahan tesis maka saya pu harus melakukan wawancara dengan penulisnya,” tuturnya sambil tersenyum.zaki zubaidi

Potensi Yang (Masih) Disia-siakan Pelukis


Lima dari 10 kolektor besar lukisan di Indonesia berasal dari Surabaya. Para kolektor yang berani merogoh kocek tanpa batas nominal untuk sebuah karya lukis itu adalah Erkin Limantara, Wijono Tanoko, Sunarjo Sampurna, Alex Tedja, dan Radjimin. Para investor seni tentu memilik potensi besar membangun pasar seni lukis yang besar di Surabaya.

Namun sayang mereka selama ini lebih banyak melakukan investasi seninya di luar Surabaya. Lebih naif  lagi karya yang mereka buru bukan milik pelukis dari Surabaya. Bukan karena mereka tidak mau membelanjakan uangnya untuk karya-karya pelukis Surabaya, tapi memang masih sedikit karya yang pantas dijadikan sebuah investasi. Imbasnya, beberapa galeri pun mati suri meski beberapa lain masih tetap terjaga eksistensinya.

“Sebuah galeri kalau tidak disiapkan dengan matang pasti tidak bisa bertahan lama. Padahal sesungguhnya lukisan sebagai sebuah bisnis juga sangat menguntungkan. Tapi memang i ini membutuhkan nafas panjang. Tidak bisa seperti orang jualan, asal barang laku langsung mereguk untung,” terang CEO AJBS Gallery Soebagio Widjaja ketika ditemui Seputar Indonesia, Jumat (16/3).

Menurut Soebagio, ada dua hal penting untuk mengelola sebuah galeri yaitu program dan imej. Dalam setahun galeri harus memiliki program pameran yang jelas dan diperhitungkan secara matang. “Misalnya dalam setahun AJBS Gallery menggelar tujuh kali pameran, itu tidak setiap pameran mengeruk untung. Padahal sekali pameran membutuhkan dana sekitar Rp50 juta. Dana tersebut tertutup saja sudah untung. Jangankan subsidi silang, yang sering itu kita rugi,” papar Soebagio yang mengelola AJBS Galllery tiga tahun terakhir ini.

Kondisi seperti memang harus dilalui sebuah galeri di awal pertumbuhannya. Jalan panjang harus dilalui agar imej galeri tersebut terangkat sejalan dengan seringnya pameran yang digelar. Tentu saja sebuah pameran yang berkualitas. “Ekonomi dunia sekarang memang sedang buruk. Tapi kita harus start sekarang. Jika ditunda akan semakin tertinggal,” tuturnya. Kondisi pasar seni lukis sempat sangat sehat antara tahun 2006-2008. Pada era tersebut karya apa saja laku dijual.

“Untuk sementara memang jangan memburu profit marjin dulu. Nanti empat hingga lima tahun baru akan merasakan manisnya,” kata pria yang juga kolektor lukisan ini. Setelah proses panjang bertahan dan membangun imej tersebut tercapai barulah sebuah galeri menargetkan keuntungan. Tentu saja ini juga mimpi panjang yang ingin diwujudkan AJBS Gallery maupun galeri-galeri lain di Surabaya. Tentu  saja sambi berharap pelukis-pelukis Surabaya mengalami pergerakan kualitas menghasilkan karya yang memiliki nilai investasi, bukan sekadar dekorasi.

Untuk itulah, kata Soebagio, dirinya mendatangkan pelukis dari luar Surabaya yang berualitas internasional. “Biar pelukis di sini terbuka wacana, jangan hanya jago kandang. Pelukis lain sudah pameran hingga luar negeri kok masih bangga pameran di kotanya sendiri,” tegas Seobagio. Sebab jam terbang pameran di galeri-galeri besar juga memiliki dampak terhadap harga sebuah karya lukis tersebut. Meskipun antara harga jual dan kualitas karya bukan hal selalu berjalan seiring. Karya yang bagus belum tentu nilai jualnya tinggi, begitu juga sebaliknya karya yang mahal itu belum tentu karya yang bagus. “Harga dan kualitas lukisan adalah dua hal yang berbeda,” lanjutnya.
Yang terpenting, kata Soebagio, untuk pelukis Surabaya adalah berkarya dengan baik dan selalui memegang komitmen yang sportif. “Jika sudah menjalin kerja sama dengan sebuah galeri ya harus berkomitmen. Jangan seenaknya sendiri,” ungkapnya. Karya juga harus ditingkatkan dengan membuka wacana seluas-lusanya. “Kosongkan gelas. Jangan tinggi hati dan harus selalu siap menerima kritik,” harap Soebagio.

Pengamat seni lukis Imam Muhtarom mengakui kondisi Surabaya selama setahun terakhir sudah cukup baik. “Secara umum, adanya acara-acara yang terbilang sering itu menunjukkan kegairahan dalam berseni rupa,” kata pria yang kini menetap di Jakarta ini. Namun sayang intensitas acara itu hanya semacam membangkitkan gairah saja. Kualitas karya belum ikut terbangkitkan.

Menurut Imam, belum terkatrolnya kualitas tersebut bisa dilihat dari acara Bienalle Jatim tahun 2011 kemarin. “Perkembangan konsep yang  dijabarkan sang kurator ternyata tidak serta merta menandakan gerak kualtas di wilayah penciptaaan,” terangnya. Kata Imam, diperlukan kemampuan teknis yang diiringi merumuskan gagasan. Banyak ide yang hendak  disampaikan lewat karya, namun tidak mendapat bentuk yang memadai. Demikian juga sebaliknya. Ada teknis yang menarik, tetapi tidak mendapat abstraksi gagasan yagn kuat.

“Kalau dua hal ini dipersoalakan,  barangkali kerangka masalahnya menjadi luas. Kenapa ide dan teknis ini tidak mendapat akarnya dalam seni rupa di Surabaya dan Jatim pada umumnya? Aku pikir perlunya pendisiplinan dalam hal berkesenian  itu sendiri. Artinya, perupa perlu eksplorasi gagasan-gagasannya dengan sekuat mungkin mengikuti perkembangan lingkungan sosialnya, perkembngan sejarah seni rupa, dan perlunya ada gesekan-gesekan. Atau melakukan perbandingan-perbandingan dalam peta seni rupa di kota-kota Indonesia sendiri,” papar anggota Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) ini.
Memang, lanjut Imam, cara menjawab secara singkat dari persoalan di atas tersebut adalah adanya pendidikan seni yang memadai. Namun sembari menunggu adanya pendidikan formal itu, terpenting adalah mempersiapkan aspek-aspek pendukungnya. Surabaya sudah memiliki beberapa galeri yang memadai. Adanya event berkala yang menjanjikan. Adanya kolektor yang bisa diajak peduli. Informasi begitu mudah diunduh. Artinya tinggal menunggu, terutama seniman muda, untuk menjadi bagian yang menentukan seni rupa di Jawa Timur dan Surabaya pada khususnya.

Proses membangun kualitas ini juga tidak bisa lepas dari campur tangan kurator. “Posisi kurator penting, tetapi susahnya kalau yang dikuratori karyanya belum maksimal. Aku kira sebuah perhelatan seni rupa tidak jalan. karyanya bagus kemudian kuratornya menyajikan kepada audiens secara tepat, itu baru pehelatan seni rupa yang bagus. Tidak timpang,” kata Imam.

Lalu bagaimana pengaruh broker lukisan yang bisa merusak nilai sebuah karya? Bagi Imam, bukan masalah broker atau tidak. “Pertanyaan yang harus dijawab; apakah pameran tersebut berkontribusi bagi perkembangan seni rupa, atau bagi masyarakat sendiri. Misal, perupa kita Soedjojono dalam sejarah seni rupa memberi arti besar bagi pekembangan. Atau dalam wilayah terbatas, tokoh-tokoh setempat,” urainya.

Kalau ingin konservatif, lanjut Imam,  pasar punya medan sosialnya sendiri, sementara medan wacana seni rupa punya medan sosialnya sendiri. Kalau pun dua hal ini bisa saling mendukung akan menarik.  Tapi selama ini tidak atau belum berjalan. “Sebab itu harga dan kualitas karya itu menjadi dua hal yang berbeda,” tegas Imam.

“Dalam soal harga, rumit mengetahuinya secara pasti, apalagi saat terjadi booming seni rupa. Itu biar pasar yang bekerja. Selagi seniman punya prinsip dalam berkaryanya dan mengasah terus-menerus kemampuannya, pasar pasti akan menyerapnya. Tapi jangan beradaptasi dengan selera pasar, itu soal krusialnya bagi para seniman,” harap pria yang juga prosais ini.zaki zubaidi


Antara Symbolic Value dan Economic Value

Nilai ekonomi (economic value) suatu karya seni (baca: lukisan) tidak bisa muncul secara tiba-tiba tanpa jelas asal-usulnya. Yang membentuk nilai ekonomi karya seni tersebut adalah nilai kultural (symbolic value) yang ada di balik karya tersebut. Sehingga pada mulanya  adalah symbolic value (dan ini yang lebih penting dan mendasar) yang kemudian membentuk economic value   -dan selanjutnya berlaku pada hukum besi ekonomi (demand and suplly).

Hal ini dijelaskan oleh Eddy Soetriyono dalam sebuah pengantar kuratorial pameran lukisan “Star Wars” beberapa waktu lalu. Dalam hubungan symbolic dan economic value ini ada semacam dalil yang menyebutkan bahwa di pasar yang established, economic value akan sangat bergantung pada symbolic value, bahwa dalam jangka panjang symbolic value akan menentukan economic value dan bahwa yang namanya economic value itu tidak akan pernah bisa mengubah the real  symbolic value.

Lalu apa acuan kita menilai seberapa jauh symbolic value seorang seniman (baca: pelukis)? Yakni seberapa jauh  seniman itu penting dan mapan dalam perjalanan senin rupa, serta seberapa jauh dia menyumbang suatu yang berguna bagi art world-nya. Dalam peta seni lukis abstarksi di Indonesia, misalnya, Achmad Sadali dari ITB dan Fajar Sidik dari ASRI Yogjakarta jelas merupakan dua tokoh puncaknya. Sehingga jelas symbolic value-nya jelas lebih tinggi dari pada pelukis-pelukis absraksi yang lain.

Namun tidak jarang symbolic value ini dirusak para bakul lukisan. Bakul yang berkedok kolektor ataupun pengamat dadakan yang tidak jelas dasar ilmunya. Mereka ini hanya bisa memanas-manasi  calon kolektor dengan jurus yang sangat menyesatkan; “investasi  di seni rupa itu bagus sekali, dalam tempo sekajap bisa untung ratusan kali lipat”. Padahal kepentingan mereka hanyalah untuk menciptakan boom yang akan menggelembungkan bubble, lahan spekulasi yang subur bagi bakul itu.

Sebab itu masyarakat jangan terburu terkejut ketika harga sebuah karya tiba-tiba melambung tinggi.  Apalagi jika harga itu didapat dari sebuah lelang. Harga tersebut adalah harga semu. Jadi untuk bisa mendapatkan the real price­-nya perlu mengamatinya dalam jangka panjang. Sebab sangat besar kemungkinan harga yang secara tiba-tiba itu hanyalah ulah dari para bakul.

“Istilahnya sebuah karya itu digoreng. Sehingga karya dari seorang pelukis itu menjadi mahal. Padahal ia belum mencapai suatu titik symbolic value yang membuat economic valuenya setinggi itu,” ungkap Seobagio Widjaja. Dijelaskan, karya itu “digoreng” agar nilai jual pelukisnya juga naik. Nah, bakul ini pasti sudah mengoleksi karya-karya dari pelukis yang “diorbitkan” tadi. Dengan begitu koleksi para bakul inipun akan secara tiba-tiba menjadi barang yang mahal. “Namun yang demikian ini pasti tidak bertahan lama. Seiring berjalan waktu harga karya tersebut akan turu lagi,” katanya.zaki zubaidi

Di Antara Kesengajaan dan Ketidaktahuan


Mengetahui ruang pertunjukan pementasa teater berjudul “Renungan Kanvas Kopi” cukup mengejutkan. Pertunjukan perdana angkatan Alang Alang dari Teater Lingkar Stikosa-AWS tersebut dilaksanakan di sebuah joglo kampus tersebut. Ruang hanya ditutup kain hitam. Tipis. Mungkin ada tawaran baru yang ingin disajikan.

Waktu pertunjukan dimulai. Setelah seluruh auden masuk langsung disuguhi sajian modern dance yang entah apa judulnya. Cukup menarik sebuah hiburan untuk menggelitik libido. Dancer-nya lumayan cantik. Sajian selanjutnya pembacaan puisi. Hanya satu judul puisi karya penyair Indra Tjahyadi. Puisinya memang bagus tapi tidak sebanding dengan performa penyajinya.

Tibalah pada pertunjukan teater dengan judul “Renungan Kanvas Kopi”. Ruang yang tidak begitu gelap membuat penataan setting panggung terlihat. Sinar di sekitar luar joglo menembus kain hitam tipis yang dijadikan penutup. Sebuah kursi di tengah dan semacam tempat melukis -lengkap dengan beberapa kanvas dan cat yang tergeletak- di sisi kanan panggung. Jelas setting yang tak seimbang. Mungkin ada tawaran lain yang sengaja ingin ditampilkan.

Suara gitar terdengar. Seorang tokoh yang hendak melukis dibuat pusing oleh genjrengan gitar temannya. Pelukis yang bernama  Bramantyo itu geram. Ia membentak pemain gitar (yang tak tampak dipanggung) bernama Buyung. “Buyung bisa kau....,” teriak Bram. Artikulasi yang buruk. Padahal hanya untuk melafalkan kalimat bentakan menghentikan permaian gitar. Mungkin ada tawaran lain yang sengaja ingin ditampilkan.

Bram terus mengomel. Gitar terus digenjreng. Bram semakin emosi hingga menghempaskan segelas kopi. Minuman hitam itu mengenai kanvas. Lalu Bram menghilang di balik backdrop. Buyung pun muncul di panggung. Ia mencari Bram. Saat masih bingung muncul tokoh Sandra. Dan suara berisik di luar ruang pertunjukkan mulai sangat mengganggu. Penataan lighting yang apa adanya hingga wajah aktor sering sekali gelap. Semua menjadi di luar ekspektasi untuk menyaksikan pertunjukan teater yang sederhana: menghibur.  

Tiba-tiba ada semacam kegelisahan. Pertanyaan tentang dasar-dasar bermain teater. Bagaimana sebuah teater realis itu seharusnya ditampilkan. Segala yang bersifat elementer dalam teater. Dan memutuskan tidak melanjutkan menyaksikan pertunjukan tersebut adalah sebuah kegagalan. Entah bagi penonton (yang keluar itu) atau penyaji.

Beberapa tahun yang lalu Max Arifin pernah menulis tentang “Realisme dalam Teater”. Paparan sederhana yang seharusnya tidak diremehkan dalam sebuah proses berteater.  Masalah realisme dalam teater bukan sekadar “taken directly from actuality”, tetapi ada pengolahan kesadaran tentang hal yang besar hingga yang kecil dan mencoba “menyiasati” penggunaan dan pemanfaatan unsur-unsur dalam pentas -yang akan merangsang adanya refleksi terhadap kenyataan hidup yang getir, pahit, mencemaskan, penuh keputusasaan, tetapi tidak juga membuat kita jera untuk hidup terus. (Bakdi Sumanto, 2001:292).

Pembicaraan tentang realisme dalam teater bukanlah pertama-tama mempersoalkan seberapa tepat, cocok, pas antara yang dilukiskan pada naskah lakon dan yang disajikan di atas pentas, tetapi, yang lebih mendasar adalah: bagaimana memahami, merumuskan, menghadirkan sesuatu yang dibayangkan sebagai realitas itu dan bagaimana menggunakannya untuk tujuan-tujuan tertentu.

Stanislavski,  seorang aktor-direktor besar Rusia,  memberikan suatu derajat pada kata aktor, suatu dignity, yang tak diperoleh sebelumnya. Ia membuat para aktornya sebagai orang-orang humanis dan psikologis, orang-orang yang memahami dan mengekspresikan perasaan-perasaannya, motif-motifnya , action dan strategi-strategi tingkah-laku manusia. Ia menolak aktor-aktor yang malas, bebal, yang suka mejeng, melacur yang hidupnya hanya untuk dikeploki orang atau penonton.  Aktor harus menghidupkan hidupnya “dalam seni” -latihan-latihan dan disiplin yang ketat, selalu menguji dirinya, standar-standar etika yang tinggi, mengejar selera yang baik di atas dan di luar pentas.

Namun memang begitulah teater kampus. Harus bisa dimaklumi selama itu semua adalah proses belajar untuk menjadi lebih baik.  F Aziz Manna, aktor sekaligus penyair menyatakan adalah bohong jika suatu teater kampus tidak pernah gagal, selalu sukses dalam proses produksi. Sebab teater kampus ada wadah pembelajaran. Target utamanya proses belajar bukan hanya proses produksi teater.
“Sehingga wajar jika dalam proses produksi teater kampus sering mengalami kegagalan. Jika ada teater kampus yang tidak pernah gagal dalam produksi itu tidak wajar. Itu menyalahi hukum sejarah,” kata aktor yang pernah bermain monolog berjudul Alibi dengan durasi tiga jam ini.

Aziz mengakui,  teater kampus tidak berurusan dengan kuantitas dan kualitas. Tugasnya hanya menjaga proses belajar agar bisa terus berdenyut dan gagasan terus bermunculan dari para anggotanya. Dan kondisi semacam ini harus dijaga dan disadari. Dicontohkan, kasus Teater Garasi Yogyakarta. Teater kampus ini terlena untuk segera menjadi teater umum. “Wadah pembelajaran berubah menjadi kendaraan demi ambisi beberapa tokohnya,” tandasnya.zaki zubaidi

Pastiche Reinterpretasi Dunia Yang Dilipat


 Ingatan saya langsung tertuju pada sebuah buku berjudul “Sebuah Dunia Yang Dilipat”. Buku karya Yasraf  Amir Piliang ini belum tuntas saya baca, namun tiba-tiba menjejal dibenak saat menikmati lukisan-lukisan yang disajikan dalam pameran bertajuk  “Treasure On Mirror” di AJBS Gallery Jalan Ratna, Kamis (2/3) lalu.

Karya-karya yang disajikan sang kreator, Dadi Setiyadi membuat dunia dalam setting waktu maupun tempat menjadi begitu kecil. Empat belas lukisan tersebut diakui sebagai re-kreasi oleh kuratornya, Eddy Soetriyono. Sebuah upaya penciptaan ulang dari karya (baca: lukisan) lama yang sebelumnya sudah ada. Sementara karya lama tersebut terinspirasi dari cerita legenda maupum mitos.

Namun kiranya yang tertangkap tidak sesederhana itu. Sebab ada semacam proses interpretasi pelukis terhadap karya yang sudah ada sebelumnya. Hingga –mungkin- tidak berlebihan jika disebut sebagai reinterpretasi. Dadi memberi pemaknaan baru terhadap karya-karya yang sudah ada itu dalam konteks kekinian. Ia dengan jujur menunjukkan juga source yang dipinjamnya sebagai bahan karyanya.

Adalah pastiche yang lebih cocok dari pada disebut parodi. Parodi merupakan sebuah komposisi seni ataupun sastra yang di dalamnya gagasan, gaya atau ungkapan khas seorang seniman dipermainkan sedemikan rupa sehingga membuatnya tampak absurd. Benar memang Dadi Setiyadi terkesan ingin bermain-main, menyindir, atau sinis. Namun tidak muncul absurditas sebab lukisannya sangat terjelaskan.

Mungkin agak lebih dekat pada pastiche. Sebuah karya seni maupun sastra yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam  dari satu atau berbagai sumber (seniman, gaya, idiom, kebudayaan) di masa lalu. Ini lebih terasa akrab pada karya Dadi Setiyadi meski ada juga beberapa sumber diambil tidak dari masa lalu. Patutlah ia dianggap mampu  membuat masa lalu menjadi berbekas.  Tidak sekadar seperti yang dinyatakan Walter Benyamin, masa lalu hanya dapat ditangkap sebagai citraan yang bersinar seketika dan kemudian lenyap tak berbekas.

Paling dekat dengan pintu masuk galeri adalah lukisan berjudul “Nyi Pohaci Sanghyang Sri”. Lukisan ini sangat lega dinikmati. Tertuang dalam kanvas berukuran 200x300 Cm dengan bahan acrylic. Di samping lukisan itu –juga yang lain- disajikan keterangan yang sangat lengkap. Apa saja sumbernya hingga keterangan interpretasi –entah kreator atau kurator-  yang ingin disampaikan pada penikmat seni. Lukisan tersebut dibuat dari bahan lukisan karya Sandro Boticelli yang berjudul “The Birth  of Venus”, lukisan Franz Wilhelm Junghuhn berjudul “Plateau Dieng”. Sumber lain –bukan lukisan- adalah tokoh Batman, buah-buahan dan sayuran, mawar, pohon aren, serta pohon bambu.

Keterangan lukisannya juga sangat memanjakan pengunjung. Dijelaskan bahwa Nyi Pohaci atau Dewi Sri, dalam mitologi di pulau Jawa dan Bali, adalah dewi “langit” yang cantik parasnya, sintal, berisi tubuhnya serta panjang terurai rambutnya. Dewi khayangan yang cantik ini mengganggu kestabilan langit hingga terpaksa dibunuh dan mayatnya dikubur di jagat “duniawi”. Karena sang dewi luhur budinya maka dia dengan tulus mempersembahkan keelokan tubuhnya demi kesuburan bumi. Sehingga dari segenap bagian tubunya menjelma segala macam tumbuhan yang berguna bagi manusia.

Masih yang tertulis dalam keterangan lukisan itu; begitu mengingat mitos Dewi Sri maka membayang kuat di benak perupa Dadi Setiyadi sosok Dewi Venus yang dilukiskan  dalam karya pelukis top Renaisans Italia, Sandro Boticelli (1445-1510) berjudul Kelahiran Venus (1486) yang hingga kini masih tersimpan prima di Galeri Uffizi, Florence. Apalagi menurut ahli seni rupa Renaisans termashur, Ernst Gombrich, Venus merupakan dewi “duniawi” yang dilindungi hal-hal yang fisik-material tapi sekaligus diliputi cahaya “surgawi”. Menggairahkan dan penuh kejelitaan sekaligus melambangkan “kesuburan penciptaan”.

Menggunakan bahan lukisan itu untuk mere-kreasi mitos Dewi Sari, maka Dadi Setiyadi pun mengganti latar bahari dari lukisan Botocelli dengan latar agraris. Cangkang kerang menjadi wadah penuh persembahan berjenis sayur-mayur dan buah-buhan. Tanaman pun berganti beragam pohon tropis, termasuk pohon aren bersadap nira manis yang konon menjelma dari lubang vagina sang dewi. Deburan laut berombak digantikan hamparan sawah menguning panen. Sedangkan langit luas bersaput mega sirna dan menjelma gulungan pegunungan yang diambil dari lukisan “mooie indie” karya seorang naturalis penemu kina sebagai obat malaria yang sekaligus seorang botanikus dan vulkanolog, FW Junghuhn (1809-1864) tentang pemandangan di “Plateau Dieng” yang sangat kuat bau pulau Jawa-nya. Lengkap dengan mawar tersebar. Bahkan agar lebih kuat bau lokal Nyi Pohaci Shanghyang Sri sebagai dewi kesuburan di pulai Jawa sang seniman melabeli lukisannya dengan pita bertajuk “Gemah Ripah Loh Jinawi”, metafor bahasa di Jawa untuk menggambarkan negeri yang tenteram dan makmur serta subur tanahnya.

Tapi untuk mengungkapkan bahwa mitos itu tak pernah lekang dimakan zaman karena maknanya yang berlapis sehingga tidak habis ditafsir ulang, Dadi Setoyadi juga melakukan penciptaan ulang karya Boticelli agar menebarkan aroma masa kini dengan menggambarkan adegan sang dewi bersayap bidadari ketika dibawa ke bumi oleh tokoh super hero manusia kelelawar Batman, tokoh dalam mitologi kontemporer.

Keterangan yang cukup panjang dan memanjakan siapa saja (seorang bodohpun) untuk bisa menikmati lukisan tersebut. Namun keterangan yang begitu panjang dan detil pada setiap karya bisa sekaligus menjadi penjara interpretasi pengunjung pameran. Ada pemaksaan yang dijejalkan. Namun menikmati pameran tersebut cukup menjadi sebuah refresing sekaligus menambah wawasan tentang lukisan, mitos, hingga isu terkini yang menjadi sumber kenakalan Dadi Setiyadi.

Dan seperti dikatakan kurator Eddy Soetriyono, Dadi Setiyadi mampu melakukan kreativitas untuk melakukan change of meaning ataupun transfer of meaning, sehingga semua itu menciptakan metafor baru. Referensi yang ada digodok sedemikian rupa sehingga menjadi metafor baru yang membuka horison kepada dunia yang baru terbangun itu. Sebuah dunia baru yang mengundang dengan akrab agar kita meninjau dan bertamsya di dalamnya.zaki zubaidi

Membaca Religiusitas Kaum Marjinal


YB Manungwijaya menyatakan pada awal mula segala sastra adalah religius.
Religiusitas sastra dalam konteks ini adalah substansi pemikiran yang ada dalam karya sastra yang mengarah pada problema tokoh sentral cerita sebagai manusia yang mengalami religare; keterikatannya pada Tuhan. Secara tematis, karya sastra mengungkapkan perjalanan kehidupan manusia yang senantiasa mesti kembali pada keterbatasan dan kefanaannya sebagai makhluk.

Tema inilah yang terbaca mendominasi antologi cerita pendek (cerpen) “Tentang Kami Para Penghuni Sorter”. Kumpulan karya sembilan cerpenis Mojokerto ini dibedah oleh Mashuri (sastrawan) dan Akhudiat (budayawan) di Balai Pemuda Surabaya, Sabtu (11/2). Diskusi ini diselenggarakan Jurusan Teater STKW Surabaya bekerja sama dengan Dewan Kesenian Surabaya dan Dewan Kesenian Jatim.

Kembali kepada karya. Ternyata antologi ini memang menyuguhkan keberagaman kualitas. Bukan bermaksud menghakimi sebuah karya itu baik atau buruk, namun hanya beberapa karya saja yang bisa dianggap “matang”. Itu bukan sebuah persoalan karena memang kematangan penulis itu akan diraih dari sebuah proses kreatif yang panjang. Dan salah proses menuju kematangan itu adalah membedah karya tersebut.

Religiusitas -kaum marjinal-  memang sangat kental menjadi tema antologi ini. Banyak cara yang bisa dipilih untuk menyampaikannya. Pendalaman terhadap persoalan hidup akan nampak pada kekayaan dan kepadatan estetika dan wawasan pengarang. Kematangan inilah yang bisa membuat sebuah penyampaian religiusitas itu tidak klise. Banyak keformalan yang menganggu kedalaman religiusitas yang sebenarnya bisa disampaikan dengan cara yang tidak formal.

Seperti dalam cerpen berjudul “Catatan Seorang Tuna Netra” karya Atina Nabila.  Cerpen itu berkisah tentang tokoh “aku”, seorang tunanetra yang malang, seorang lelaki tak berdaya, yang sedang mencari titik eksistensial dalam alur hidupnya. Tokoh adalah sosok remeh yang sedang berproses untuk menghargai hidup, yang terbuang oleh keluarganya. Ia bersandar pada sisi manusiawi, yang pada titik tertentu terlihat tegar, di sisi lainnya rapuh.

Pada momen tertentu, ia merasa tak berdaya. Tetapi pada momen lainnya, ia akan berucap “Aku memang buta tapi aku bukan manusia lemah”. “Dalam kontradiksi itulah, tokoh yang mengingatkan saya pada para penghapal Alquran yang buta itu, menyandarkan dirinya pada kekuatan di luar diri, yaitu Tuhan. Alhasil, nasib pun berpihak padanya. Ia bahagia dengan dirinya,” kata Mashuri yang juga Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jatim.

Namun, terasa ada yang mengganjal dari cerpen ini. Dominasi pesan seakan meruntuhkan bangunan teksnya. Tiga paragraf terakhir adalah inti dari cerpen ini tetapi sekaligis titik lemahnya. Sangat klise Selain itu, mengangkat orang buta, dengan sudut pandang aku-an, adalah mentranser segala kebutaan dalam perspektif yang subyektif. Bagaimana pembaca bisa merasakan “kegelapan”-nya.

Tetapi dalam cerpen ini, sangat terasa bagaimana tokoh “aku” berkisah tentang dirinya dan memandang sebagai “orang yang melihat”. Jika ia bertumpu pada “aku”  yang buta, tentu pembaca akan mendapatkan begitu banyak kabar dan warna dari “dunia kegelapan” sana, yang siapa tahu bisa mencipta “terang” di sini, di mata pembaca.  
Tiga paragraf terakhir tersebut: Kebanyakan manusia menggunakan matanya untuk melihat sesuatu yang tidak halal dan untuk menarik perhatian lawan jenis.

 Aku bersyukur atas semua takdir Allah yang diberikan kepadaku. Mungkin ini yang terbaik. Buta ini membawa berkah untukku. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita banyak kenikmatan.

Dan terima kasih Ya Allah, karena Engkau telah membukakan pintu hati kedua orang tuaku, sehingga aku kini dianggap oleh mereka sebagai anak mereka. Sempurnalah kini hidupku karena semua rencana-Mu. Thanks God.

Religiusitas  wong cilik juga bisa dilihat pada cerpen “Penghuni Sorter” karya Hardjono WS. Sekilas bisa dikatakan, cerpen “Penghuni Sorter” adalah cerpen yang bercerita tentang orang kecil dengan teknik cerita berbingkai. “Pusatnya adalah Mak Mah, yang mampu menyeret begitu banyak cerita lainnya,” tegas Mashuri.

Cerpen ini menuju taraf  “poliponik” (begitu banyak suara dari sebuah cerita). Bahkan, pada kadar tertentu bisa dikatakan sebagai cerita tanpa “cerita”. Masing-masing unsurnya saling menopang dan berjalan begitu saja, lewat dialog tokoh-tokohnya, dan narasi dari pencerita (narator). Religiusitas mengalir secara integral dalam alurnya dan penokohan/ perwatakan, termasuk di dalamnya adalah pandangan/laku hidup tokoh Mak Pah pada alur hidup dan nasib.

“Dalam cerpen, saya juga menemukan adonan antara ironi, satir, dan humor pahit. Nilai-nilai lokalitas berpadu universalitas. Yang tetap berkelit-kelindan dengan yang berubah. Orang-orang kecil datang dan pergi untuk menjadi orang besar. Sentilan sisi kemanusiaannya juga besar. Cerpen ini prototripe sastra yang terlibat (memihak) tanpa mengorbankan nilai sastranya,” paparnya.

Mak Pah pun bisa menyampaikan religiusitasnya dengan sederhana namun mengena. Berikut dialog Mak Pah dengan tokoh “Aku” tentang anak.  “Nggak usah ikut KB sebenarnya,” katanya tiba-tiba. “Itu urusan Tuhan, seperti saya sendiri. Beberapa kali saya minta anak, tetapi tidak seorang pun Tuhan berikan. Kenapa harus kau bunuh anak-anakmu yang mestinya diberi Tuhan kepadamu?” Kata Mak Pah.

Tujuh cerita lain yang terkumpul dalam antologi ini adalah “Rebiin” karya Akhmad Fatoni, “Yang Dibunuh Cerita-Cerita” karya Dadang Ari Murtono, “Tukang Semir Sepatu” karya Jack Effendi, “Tentang Kami” karya Jr Dasamuka, “Payung” karya Mochammad Asrori, “Negeri Dongeng” karya Nasrulloh Habibi, serta “Purnama Di Tepi Sungai Brantas” karya Rais Muhamad KS. Mereka adalah anggota Komunitas Arek Japanan (KAJ) Mojokerto.  

“Ini adalah proses kami. Selanjutnya terserah para pembaca menyikapi kelahiran antologi ini. Entah mau memaki, memuji, menggunjing ataupun mengucilkan kami, kami akan siap menerimanya. Karena kami telah berikrar  bahwa kami lahir bukan karena terpaksa, tetapi kami lahir dari ketulusan jiwa,” kata Akhmad Fatoni yang juga Ketua KAJ.zaki zubaidi

Karya Jujur Meski Minim Simbol


Memamerkan sebuah karya (baca:seni rupa) membutuhkan keberanian. Ketika karya tersebut dipajang untuk memberi ruang interaksi dengan masyarakat, maka segala bentuk apresiasi akan muncul. Entah itu cemooh atau puji, kreator harus bisa berbesar hati.

Keduanya bisa menjadi cambuk untuk meningkatkan kualitas atau juga sekaligus membuat semakin terpuruk. Tapi jika karya yang jujur dari sebuah proses belajar itu yang dipamerkan, maka apapun hasilnya patut dan wajib dianggap positif. Karya-karya yang masih harus banyak dikritik itu ditampilkan dalam pameran seni rupa "Ekspresi Rupa Buana" yang digelar di Galeri Surabaya Dewan Kesenian Surabaya Jalan Pemuda pada 1 hingga 5 Februari 2012.

Mengutip Susanne K.Langer,  karya seni meskipun dalam arti tertentu mempunyai kemiripan dengan alam, namun ia sudah tercabut dari kenyataan alamiah. Pada seni terdapat prinsip kelainan dari alam, yang membuat seni itu sungguh-sungguh berdiri sendiri sebagai ciptaan. Prinsip ketercabutan dari kenyataan alamiah menjadi prinsip penciptaan seni.

Bertolak dari asumsi bahwa karya seni adalah hasil simbolisasi manusia, maka prinsip penciptaan seni mengambil pola dari prinsip simbolisasi atau pembentukan simbol. Intuisi atau inspirasi memegang peranan yang penting di dalam aktivitas mencipta. Dari pengalaman estetik, manusia memperoleh kesan dalam kehidupannya. Dan manusia cenderung ingin mengabadikan kesan yang dimilikinya.

Memang banyak karya yang dinikmati tak lebih dari sebuah hiasan. Tapi masih ada juga beberapa karya menarik, misalnya lukisan berjudul "Wayang Beber" karya Kusnuddin Jurri mahasiswa Jurusan Seni Rupa Universitas Adi Buana. Lukisan ini menampilkan sosok tokoh pewayangan. Namun tak jelas siapa tokoh yang dimaksud. "Saya tak tahu siapa tokoh wayang itu karena saya juga tidak merujuk pada yang ada. Yang jelas salah satu ciri wayang beber adalah kedua matanya ditonjolkan. Tidak seperti wayang kulit yang hanya satu mata," katanya.

Tentu saja ini ungkapan jujur dan penuh keberanian. Tanpa peduli pada rahim penciptaan tokoh tersebut karya itu menyampaikan sebuah keberanian. Wayang itu menggunakan pakaian khas Jawa dengan pose seperti hendak menerjang bahaya. Matanya yang menonjol terkesan melotot; sebuah amarah. Lukisan ini tidak menggunakan pewarna yang lazim digunakan pelukis. Kusnuddin menggunakan pewarna batik dalam karyanya itu.

Ada juga karya yang mencoba bermain di wilayah ambigu. Lukisan berjudul "Jebakan Hidup" karya Danang Dwi Kusuma yang menawarkannya. Lukisan perempuan telanjang dengan posisi telungkup memeluk lutut. Tubuh itu separoh tertutup kain putih dengan lilitan tali warna merah. Ia berada di sebuah ruang yang juga temboknya berwarna merah. Di bagian atas ata jendela dari jeruji besi yang membiaskan sinar dari luar. Mungkin di dalam sebuah ruang tahanan. Tali yang melilit tubuh perempuan terikat pada jeruji besi jendela.

Jebakan hidup bisa dimaknai jebakan yang hidup, tapi juga bisa dianggap jebakan dalam sebuah kehidupan. Perempuan itu adalah objek yang terjebak dalam ruang, namun juga memungkinkan sebagai umpan yang bisa menjebak siapa saja. Sejarah perempuan dalam sebuah kekuasaan sangat signifikan. Betapa perempuan bisa membuat Napoleon Bonaparte tersungkur dari kursi kejayaannya. Perempuan mahluk yang lemah yang juga sekaligus bisa sangat berkuasa. Merah warna cinta, merah juga bisa amarah.

Ada juga lukisan yang didominasi warna putih berjudul "Kesepian" karya Anggi. Menggunakan media lilin, lukisan ini menggembarkan sosok terpekur dengan memeluk lutut dalam posisi duduk. Goresannya hanya semacam sketsa hitam yang kabur. Sosok itu membelakang lilin padam yang di atasnya ada sebuah topeng warna biru.

Dominasi dasar putih dengan sketsa hitam cukup menarik dan menjadi agak nakal untuk menggambarkan kesepian. Kesepian biasanya disampaikan dalam warna-warna gelap. Namun penggunaan lilin sebagai bahan sekaligus salah satu objek membuat karya ini begitu tragis. Lilin yang menyala bisa menjadi penerang. Ia membakar dirinya sendiri hingga tandas. Kesepian yang begitu mengerikan meskipun tanpa dominasi warna hitam.

Namun sayang, pilihan warna biru pada topeng membuat karya ini agak sedikit terganggu. Topeng ini hanya terkesan seperti stempel tinta. Menjadi tidak menyatu dengan dua objek lainnya. Mungkin lebih bermakna jika menggunakan warna hitam atau bahkan juga putih. Serupa bayang-bayang Tuhan pada kelam. Tapi mungkin saja kreator memiliki maksud lain yang tidak mudah terpahami.

Selain lukisan ada juga karya patung tanpa judul. Empat patung ini merupakan bentuk kepala masing-masing kreatornya. Meraka adalah  Putri Nila Kusuma, Kusnuddin Jurri, Agustina Wulandari, dan Ratu Eka. Patung dibuat dari bahan semen yang dicor. Keempatnya menyampaikan ekspresi yang berbeda. Tapi totalitas warna hitam akhirnya menjebak seluruh ekspresi tersebut pada kemurungan.

Kalaupun tersenyum, senyum itu seperti hanya menyembunyikan luka. Ada juga yang tertawa, tapi tawa itu juga menyampaikan kegetiran. Ada yang tenang tapi malah seperti memendam dendam. Ada juga yang berteriak, tapi yang "terdengar" jerit kesakitan.  Memang begitulah risiko sebuah pilihan.

Kata Hariadie, karya yang dipamerkan merupakan hasil studi selama kuliah di Jurusan Seni Rupa Fakultas Keguruan Ilmu PendidiAn Universitas Adi Buana Surabaya. Seba itulah karya-karya tersebut sifatnya masih belajar dan banyak kekurangan.

"Ibarat menabur benih kesenian ketika bersemi tinggal merabuknya. Seperti yang kami singgung, tatkala ingin merawatnya maka tumbuhlah pohon yang subur," kata Hariadie yang merupakan dosen pengampu mata kuliah tersebut.

Sementara itu Kusnuddin Jurri mengakui pameran ini merupakan proses studi tahap akhir, yaitu proses studi yang menuntut pembuktian aktualisasi diri pada masyarakat. "Inilah yang sedang kami lakukan. Sebuah tuntutan akademis yang mengharuskan mahasiswa seni rupa semester akhir mengapresiasikan karya yang dibuat selama proses studi," kata Kusnuddin yang juga ketua panitia pameran.

Ditambahkan, sebenarnya mata kuliahnya bukan "pameran studi", tapi lebih pada cara memanajemeni sebuah pameran. Tentu saja pamer karya menjadi tantang tersendiri. Bagi Kusnuddin, subtansi dari apresiasi itu adalah penilaian terhadap suatu karya yang tentu saja syarat dengan berbagai kekurangan dan kelebihan.  "Tentu berbagai kritik dan saran akan sangat bermakna bagi sukses atau tidaknya sebuah perhelatan kesenian yang bersifat apresiatif ini," katanya. zaki zubaidi

Konflik Dua Dunia Dalam Rambut Slentem



Seperti kebanyakan karya Danarto, naskah drama Obrok Owok Owok Ebrek Ewek Ewek (O3E3) juga kental dengan nuansa mistik. Dunia baru yang diciptakan menghancurkan konvensi dunia yang sangat mengagungkan nalar. Karya Danarto berada di luar wilayah tersebut. Namun bangunan kondisi tersebut masih berpijak pada realitas yang sesungguhnya.

Kelompok Dramaturgi 7 Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) mementaskan O3E3 di Gedung Cak Durasim Taman Budaya Jatim Jalan Gentengkali, Rabu (11/1), lalu. Menyaksikan karya tersebut, langsung mencerabut ingatan pada kumpulan cepren Danarto, salah satunya yang berjudul “Godlob”. Penuh aroma mistik. Suasana itu juga yang coba disuguhkan dalam pementasan itu dengan menebar aroma dupa dalam ruangan.

Pementasan ini berkisah tentang Tomi (Arif Hakim) yang sedang menyelesaikan tugas akhir kuliahnya dengan mengambil objek desain batik. Ia menciptakan batik dengan nama Silhouette of Your Body (dalam naskah asli Shadow of Your Smile). Ia mendekati seorang juragan batik bernama Sumirah (Mahasti Budi) agar desain barunya tersebut laris. Sedangkan untuk kepentingan kelulusan, Tomi memacari anak Profesor (M Apridio) yang bernama Kusningtyas (Maria).

Diantara mereka masih ada tokoh Ati (Zaratul ilmia) sebagai teman Sumirah dan Slentem (Andi Pratama) yang menjadi tokoh sentral lakon ini. Slentem adalah tukang sapu Pasar Bringharjo. Namun Slentem bukan tokoh biasa. Ia juga menjadi benang merah dua setting panggung yang berbeda; rumah Profesor dan Pasar Bringharjo.  Slentem juga narator yang bisa beralih-alih dari dunia panggung dan dunia penonton. Slentem menjadi Sang Mahatahu sekaligus manusia biasa. Bahkan di akhir cerita muncul Slentem Dua (Zulfira Hildana)

Sisi kanan panggung dibangun setting pasar dengan dagangan kain batik yang didisplay. Setting realis Sisi kiri panggung adalah rumah Profesor. Rumah ini dibangun dengan properti non-realis (sebab memang tidak absurd). Ruang tengah, ruang tamu, teras, serta ruang lain bisa terlihat karena tanpa tembok pembatas. Pintu dan jendela hanya kusen tanpa papan/triplek. Lampu menggunakan warna netral semuanya membuat kedua setting itu seolah satu tempat.

Agak membingungkan bagi penonton yang belum pernah tahu atau membaca atau melihat O3E3. Peristiwa di dua tempat yang berbeda itu terjadi linier. Masing-masing tokoh adalah realis di tempat masing-masing. Hanya Slentem yang bisa berpindah-pindah melewati ruang realitas yang disuguhkan dalam pementasan. Selain ditandai dengan perpindahan blocking, juga bisa terbaca melalui dialog Slentem yang bisa menyahuti tokoh yang ada di pasar maupun rumah. Hanya Slentem yang dimake up seperti badut, tokoh lainnya make up realis.

Cerita yang dibangun dalam pementasan tersebut sayangnya terganggu sound feedback dari awal hingga akhir. Mungkin karena letak mikropom gantung yang terlalu rapat. Kendala ini seharusnya tidak terjadi jika kualitas vokal para aktor mumpuni. Penggunaan mikropon yang diharap bisa membantu kelemahan vokal tersebut malah menjadi bumerang. Dialog yang kurang keras itu malah tertimpali denging noise yang memekakkan telinga. Namun untung masih tertolong penampilan Slentem yang bisa dianggap tidak buruk.

Jalinan konflik terbangun ketika Profesor tidak meluluskan Tomi. Tak hanya Tomi yang marah, tapi juga Sumirah. Sumirah penasaran ingin tahu seperti apa Profesor yang tidak mau meluluskan kekasihnya itu. Profesor pun masih penasaran dengan hubungan Tomi dengan Sumirah. Profesor juga memikirkan nasib anaknya. Baik Profesor maupun Sumirah sama-sama meminta bantuan Slentem yang dianggap memiliki semacam kelebihan. Pada waktu dan tempat yang berbeda, Slentem memberikan sehelai rambutnya kepada Profesor dan Sumirah.

Slentem hanya iseng. Ia tahu rambutnya tersebut tidak bertuah. Namun yang terjadi ternyata di Sumirah bisa bertemu dengan Profesor. Pertemuan mistik -dua dunia yang disatukan- ini terjadi di atas tempat tidur. Tapi hanya Profesor yang bisa melihat Sumirah, begitu juga sebaliknya. Keberhasilan pertemuan malah membuat Slentem bingung. Mulailah dibangun kecurigaan ada pihak ketiga yang memiliki kekuatan gaib tersebut. Adegan mistik ini juga dimunculkan saat Sumirah maupun Profesor menggambar desain batik. Kapur yang mereka pegang berpindah tangan secara bergantian.

Konflik berlanjut namun berubah. Slentem yang tidak terima karena Tomi tidak lulus. Slentem berkirim surat kaleng ke Profesor namun tidak ditanggapi. Slentem pun mendatangi rumah Profesor untuk melakukan perhitungan. Namun adegang hanya sampai eyel-eyelan selanjutnya black out. Pada ending muncullah Slentem Dua yang diwujudkan pada sosok Nyonya Profesor dengan make up badut, sama dengan Slentem. Ternyata Slentem Dua itulah yang memiliki “kekuatan” melebibih Slentem.

Cerita yang bagus dari naskah asli sayangnya harus terganggu dengan hal-hal sepele dan mendasar. Teknik keluar masuk aktor yang janggal, sound yang berisik, musik yang tak terdengar jelas, hingga kualitas vokal yang buruk. Namun sebagai suatu penampilan dari para pemula (sebab pementasan ini dilakukan sebagai pengganti tugas ujian),  dengan persiapan hanya tiga bulan, semua kekurangan itu bisa sedikit dimaklumi.

“Memang banyak kendala yang kami hadapi. Namun kami tetap berusaha,” kata Zulfira Hildana yang juga wakil pimpinan produksi pementasan ini. Diterangkan, memang ada dua jenis konsep artistik yang digunakan. Pertama merujuk pada panggung yang menyatukan dua panggung; rumah Profesor dan Pasar Bringharjo. Sedangkan kedua merujuk pada konsep penyutradaraan yang ingin menggabungkan tiga masa; masa lalu, kini, dan masa mendatang.

Masa lalu itu terdapat di atas panggung yang sedang dimainkan. Sedangkan yang sekarang adalah saat Slentem turun ke luar panggung dan bersolilokui. Masa yang akan datang dicapai saat Slentem berdialog dengan penonton.  Sementara untuk setting rumah Profesor sebenarnya harus realis. Namun dilakukan adaptasi sehingga menjatuhkan pilihan dengan menggunakan properti yang semirealis.

Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan penampilan dua dunia bersama-sama dalam suatu karya sastra bukanlah hal asing dalam sastra mistik. Tetapi keistimewaan cerita-cerita Danarto ini terletak pada cara penyampaian. Biasanya, cerita-cerita berbau protes sosial atau mistik disampaikan  dengan tanpa kelakar, tentunya karena pengarang beranggapan masalah itu penting sehingga harus disampaikan dengan bersungguh-sungguh.

Namun Danarto memilih langkah yang berbeda. Ia sengaja menyisipkan berbagai kata, ungkapan, dan kalimat yang menyebabkan suasana ceritanya tidak terlalu ketat. Danarto sengaja memasukkan kelakar jika suasana yang dibangunnya sudah mencapai puncak. Danarto juga senang meledek kecenderungan manusia yang mati-matian  berpegang teguh pada nalar.zaki zubaidi

Ketika Lukisan Tak Sekadar Hiasan


 Lukisan dengan berbagai jenis dan alirannya menjadi salah satu pilihan hiasan dinding rumah. Lambang gengsi. Kemungkinan itu yang paling bisa dicurigai. Tidak bermaksud pesimistis dengan selera seni masyarakat Surabaya namun ya begitulah. Begitu juga yang terasa saat menyaksikan pameran lukisan Dec-Art Di Hati yang digelar di Galery Balai Pemuda, sejak tanggal 20-31 Desember 2011.

Pengunjung disuguhi sekitar 45 karya dengan tema yang tidak seragam dari para pelukis yang tergabung dalam Lentero  Art. Meski demikian tetap ada beberapa karya yang bisa dinikmati lebih dari sebuah hiasan dinding. Lukisan berjudul “Penantian” karya Basuki Bawono masih memberi peluang penikmat untuk meliarkan imajinasinya. Tak sekadar melihat sebuah tiruan; imitasi dari kenyataan.

Seorang perempuan menggunakan gaun putih duduk dengan tatapan mata kosong. Matanya memang agak sayu. Tapi di depannya hanya warna putih. Polos tak ada jendela atau objek lainnya. Ruang kosong yang coba dihadirkan untuk memberi kesempatan imajinasi membentuk objek sesuka hati. Jelas suasana hati penikmati sangat menentukannya. Sepertinya begitu, namun tirai merah di belakang perempuan itu mencegah keliaran. Terasa ngelangut dengan emosi yang tertahan.

Lukisan lain dengan objek perempuan adalah “Penari Bali”. Lukisan karya Suratno ini menampilkan penari sedang bergerak rancak.  Matanya terbelalak (seperti biasanya penari Kecak) memesona. Saputannya cukup mampu membuat lukisan tersebut terasa terus bergerak. Benar-benar seperti sebuah penari yang menampilkan keriangan. Dengan kombinasi warna-warna cerah yang merdeka. Cukup kontras dengan suasana yang ditawarkan lukisan “Penantian”.

Ada juga lukisan nakal berjudul “Oh Yes” karya Sugeng Wahyono. Lukisan berukuran 50x60 centimeter ini menampilkan gambar lelaki dan perempuan sedang bercumbu. Sang laki-laki mengenakan celana panjang dan singlet, sedangkan perempuan mengenakan celana panjang dan bra. Namun bentuk fisiknya yang gemuk glinuk-glinuk menjadikan gambar realis itu sedikit absurd. Bisa sebagai orang dewasa tapi juga sebagai anak baru gede.

Diantaranya juga ada karya yang mengusung tema kritik sosial. Salah satunya lukisan berjudul “Panen+MPR” karya Yudhadi. Karya tersebut menampilkan visual para petani sedang pesta panen padi. Namun mereka tidak berada di sawah atau sebauh pedesaan. Di belakang mereka tampak gedung DPR RI serta Tugu Monas. Sedangkan tempat mereka berpijak adalah awan putih. Peristiwa di atas tanah itu diusung di negeri di atas awan. Semacam parodi dari kenyataan negeri ini.

Keanekaragaman karya yang dipaperkan cukup memberi pilihan bagi para kolektor atau sekadar pencari hiasan dinding rumah. Terlepas dari suatu karya itu memiliki nilai yang layak diapresiasi atau tidak, pameran lukisan di sebuah kota kerja seperti Surabaya sudah patut disyukuri. Meskipun gejala komersialisasi seni itu begitu terasa.

Imam Muhtarom, pemerhati seni rupa, mengakui memang ada gejala komersialisasi seni tersebut.  “Semangat untuk mengembalikan pada kemurnian seni di tengah berbagai gempuran tersebut yang menjadi persoalan tersendiri,” kata Imam yang kini berdomisi di Jakarta. Namun karya bisa “berkembang” keindahannya seiring waktu yang bergulir mengubah sebuah masyarakat.

“Kita juga tidak bisa menduga bila di kemudian hari karya yang tidak sedap dipandang mata justru dicari kolektor. Sebab kapital selalu bisa memperlakukan apa saja, terutama seni rupa, menjadi barang komodifikasi sejauh barang itu dianggap berharga. Atau, sesuatu yang mulanya dianggap remeh temeh menjadi berharga ketika kapital mengakomodasinya menjadi sederet komoditas,” ungkap pria yang juga kurator lukisan ini.

Bagi Ribut Wijoto, kondisi seni rupa di Surabaya beberapa tahun terakhir sudah mengalami perubahan yang positif. “Lumayan, sekarang sudah banyak galeri-galeri yang intens menggelar pameran dengan standar kuratorial yang berkualitas,” kata pria yang juga seorang kritikus seni ini.

Bisa dikata, perupa tidak punya kesulitan mencari tempat unjuk kreativitas atau unjuk karya. Kolektor juga memiliki banyak pilihan ruang pameran. Di Surabaya, hampir tiap bulan ada pameran seni rupa. Bahkan, pada bulan yang sama, pameran bisa digelar pada tiga sampai empat tempat.

Apakah riuhnya pameran berbanding lurus dengan kualitas karya? Bagi Ribut hal itu belum bisa jadi ukuran. Kata Ribut, sampai sekarang, lukisan hasil pameran di Surabaya yang laku terjual di atas angka Rp100 juta, sungguh sangat langka. Paling banter sekitar Rp10 juta sampai Rp20 juta. Harga memang bukan ukuran utama karya. Justru sebaliknya, harga jual kerap kali menyesatkan atau membiaskan potensi estetik lukisan.

“Tetapi, begitulah kondisi seni rupa di Surabaya. Perihal harga tidak mampu bersaing dengan seni rupa Yogyakarta dan Bandung,” tuturnya. Di luar masalah harga, karya seni rupa fenomenal memang nyaris tidak pernah muncul di Surabaya. Periksa saja laporan pameran atau peristiwa seni rupa di media-media nasional. Isinya hampir selalu disesaki oleh pameran di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan kadang-kadang Bali.

Padahal sebagai sebuah kota besar dengan penduduk yang sangat besar pula, media seharusnya memberi porsi pemberitaan yang besar terhadap peristiwa kesenian (baca: pameran) di Surabaya. Persoalannya, peristiwa keseniannya mungkin memang tidak layak diberitakan secara besar.

Berpuluh puluh, beratus ratus, bahkan ribuan pameran yang digelar di Surabaya tampaknya masih dipandang sebelah mata. Belum layak diperbincangkan secara nasional. Belum mampu memberi kontribusi terhadap ranah seni rupa Indonesia. Pameran hanya sebatas pameran. Mulai dari pameran seni rupa realis, surrealis, impresionis, naturalis, post-naturalist, hiperrealis, dadaisme, kubisme, dan lain-lain nasibnya sama saja. Tidak memunculkan karya dengan teknik tinggi maupun ide brilian.

Pada wilayah kritik atau wacana seni rupa, Surabaya juga masih lemah. Jarang sekali ada guliran wacana yang muncul dari Surabaya lantas merebak ke kota-kota lain di Indonesia. Yang lebih sering terjadi, Surabaya mengadopsi bahkan mengekor wacana-wacana yang sedang berkembang di Yogya maupun Bandung. Kritik seni rupa juga langka. zaki zubaidi