YB Manungwijaya menyatakan pada awal mula segala sastra adalah religius.
Religiusitas sastra dalam konteks ini adalah substansi
pemikiran yang ada dalam karya sastra yang mengarah pada problema tokoh sentral
cerita sebagai manusia yang mengalami religare;
keterikatannya pada Tuhan. Secara tematis, karya sastra mengungkapkan
perjalanan kehidupan manusia yang senantiasa mesti kembali pada keterbatasan
dan kefanaannya sebagai makhluk.
Tema inilah yang terbaca mendominasi antologi cerita pendek
(cerpen) “Tentang Kami Para Penghuni Sorter”. Kumpulan karya sembilan cerpenis
Mojokerto ini dibedah oleh Mashuri (sastrawan) dan Akhudiat (budayawan) di
Balai Pemuda Surabaya, Sabtu (11/2). Diskusi ini diselenggarakan Jurusan Teater
STKW Surabaya bekerja sama dengan Dewan Kesenian Surabaya dan Dewan Kesenian
Jatim.
Kembali kepada karya. Ternyata antologi ini memang
menyuguhkan keberagaman kualitas. Bukan bermaksud menghakimi sebuah karya itu
baik atau buruk, namun hanya beberapa karya saja yang bisa dianggap “matang”.
Itu bukan sebuah persoalan karena memang kematangan penulis itu akan diraih
dari sebuah proses kreatif yang panjang. Dan salah proses menuju kematangan itu
adalah membedah karya tersebut.
Religiusitas -kaum marjinal- memang sangat kental menjadi tema antologi
ini. Banyak cara yang bisa dipilih untuk menyampaikannya. Pendalaman terhadap
persoalan hidup akan nampak pada kekayaan dan kepadatan estetika dan wawasan
pengarang. Kematangan inilah yang bisa membuat sebuah penyampaian religiusitas
itu tidak klise. Banyak keformalan yang menganggu kedalaman religiusitas yang
sebenarnya bisa disampaikan dengan cara yang tidak formal.
Seperti dalam cerpen berjudul “Catatan Seorang Tuna Netra”
karya Atina Nabila. Cerpen itu berkisah
tentang tokoh “aku”, seorang tunanetra yang malang, seorang lelaki tak berdaya,
yang sedang mencari titik eksistensial dalam alur hidupnya. Tokoh adalah sosok
remeh yang sedang berproses untuk menghargai hidup, yang terbuang oleh
keluarganya. Ia bersandar pada sisi manusiawi, yang pada titik tertentu
terlihat tegar, di sisi lainnya rapuh.
Pada momen tertentu, ia merasa tak berdaya. Tetapi pada
momen lainnya, ia akan berucap “Aku
memang buta tapi aku bukan manusia lemah”. “Dalam kontradiksi itulah, tokoh
yang mengingatkan saya pada para penghapal Alquran yang buta itu, menyandarkan
dirinya pada kekuatan di luar diri, yaitu Tuhan. Alhasil, nasib pun berpihak
padanya. Ia bahagia dengan dirinya,” kata Mashuri yang juga Ketua Komite Sastra
Dewan Kesenian Jatim.
Namun, terasa ada yang mengganjal dari cerpen ini. Dominasi
pesan seakan meruntuhkan bangunan teksnya. Tiga paragraf terakhir adalah inti
dari cerpen ini tetapi sekaligis titik lemahnya. Sangat klise Selain itu,
mengangkat orang buta, dengan sudut pandang aku-an, adalah mentranser segala
kebutaan dalam perspektif yang subyektif. Bagaimana pembaca bisa merasakan “kegelapan”-nya.
Tetapi dalam cerpen ini, sangat terasa bagaimana tokoh “aku”
berkisah tentang dirinya dan memandang sebagai “orang yang melihat”. Jika ia
bertumpu pada “aku” yang buta, tentu
pembaca akan mendapatkan begitu banyak kabar dan warna dari “dunia kegelapan”
sana, yang siapa tahu bisa mencipta “terang” di sini, di mata pembaca.
Tiga paragraf terakhir tersebut: Kebanyakan manusia menggunakan matanya untuk melihat sesuatu yang tidak
halal dan untuk menarik perhatian lawan jenis.
Aku bersyukur atas semua takdir Allah yang
diberikan kepadaku. Mungkin ini yang terbaik. Buta ini membawa berkah untukku.
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita banyak kenikmatan.
Dan terima kasih Ya
Allah, karena Engkau telah membukakan pintu hati kedua orang tuaku, sehingga
aku kini dianggap oleh mereka sebagai anak mereka. Sempurnalah kini hidupku
karena semua rencana-Mu. Thanks God.
Religiusitas wong
cilik juga bisa dilihat pada cerpen “Penghuni Sorter” karya Hardjono WS.
Sekilas bisa dikatakan, cerpen “Penghuni Sorter” adalah cerpen yang bercerita
tentang orang kecil dengan teknik cerita berbingkai. “Pusatnya adalah Mak Mah,
yang mampu menyeret begitu banyak cerita lainnya,” tegas Mashuri.
Cerpen ini menuju taraf “poliponik” (begitu banyak suara dari sebuah
cerita). Bahkan, pada kadar tertentu bisa dikatakan sebagai cerita tanpa “cerita”.
Masing-masing unsurnya saling menopang dan berjalan begitu saja, lewat dialog
tokoh-tokohnya, dan narasi dari pencerita (narator). Religiusitas mengalir
secara integral dalam alurnya dan penokohan/ perwatakan, termasuk di dalamnya
adalah pandangan/laku hidup tokoh Mak Pah pada alur hidup dan nasib.
“Dalam cerpen, saya juga menemukan adonan antara ironi,
satir, dan humor pahit. Nilai-nilai lokalitas berpadu universalitas. Yang tetap
berkelit-kelindan dengan yang berubah. Orang-orang kecil datang dan pergi untuk
menjadi orang besar. Sentilan sisi kemanusiaannya juga besar. Cerpen ini
prototripe sastra yang terlibat (memihak) tanpa mengorbankan nilai sastranya,”
paparnya.
Mak Pah pun bisa menyampaikan religiusitasnya dengan
sederhana namun mengena. Berikut dialog Mak Pah dengan tokoh “Aku” tentang
anak. “Nggak usah ikut KB sebenarnya,” katanya tiba-tiba. “Itu urusan Tuhan,
seperti saya sendiri. Beberapa kali saya minta anak, tetapi tidak seorang pun
Tuhan berikan. Kenapa harus kau bunuh anak-anakmu yang mestinya diberi Tuhan
kepadamu?” Kata Mak Pah.
Tujuh cerita lain yang terkumpul dalam antologi ini adalah
“Rebiin” karya Akhmad Fatoni, “Yang Dibunuh Cerita-Cerita” karya Dadang Ari
Murtono, “Tukang Semir Sepatu” karya Jack Effendi, “Tentang Kami” karya Jr
Dasamuka, “Payung” karya Mochammad Asrori, “Negeri Dongeng” karya Nasrulloh
Habibi, serta “Purnama Di Tepi Sungai Brantas” karya Rais Muhamad KS. Mereka
adalah anggota Komunitas Arek Japanan (KAJ) Mojokerto.
“Ini adalah proses kami. Selanjutnya terserah para pembaca
menyikapi kelahiran antologi ini. Entah mau memaki, memuji, menggunjing ataupun
mengucilkan kami, kami akan siap menerimanya. Karena kami telah berikrar bahwa kami lahir bukan karena terpaksa, tetapi
kami lahir dari ketulusan jiwa,” kata Akhmad Fatoni yang juga Ketua KAJ.zaki zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar