Minggu, 08 April 2012

Membaca Religiusitas Kaum Marjinal


YB Manungwijaya menyatakan pada awal mula segala sastra adalah religius.
Religiusitas sastra dalam konteks ini adalah substansi pemikiran yang ada dalam karya sastra yang mengarah pada problema tokoh sentral cerita sebagai manusia yang mengalami religare; keterikatannya pada Tuhan. Secara tematis, karya sastra mengungkapkan perjalanan kehidupan manusia yang senantiasa mesti kembali pada keterbatasan dan kefanaannya sebagai makhluk.

Tema inilah yang terbaca mendominasi antologi cerita pendek (cerpen) “Tentang Kami Para Penghuni Sorter”. Kumpulan karya sembilan cerpenis Mojokerto ini dibedah oleh Mashuri (sastrawan) dan Akhudiat (budayawan) di Balai Pemuda Surabaya, Sabtu (11/2). Diskusi ini diselenggarakan Jurusan Teater STKW Surabaya bekerja sama dengan Dewan Kesenian Surabaya dan Dewan Kesenian Jatim.

Kembali kepada karya. Ternyata antologi ini memang menyuguhkan keberagaman kualitas. Bukan bermaksud menghakimi sebuah karya itu baik atau buruk, namun hanya beberapa karya saja yang bisa dianggap “matang”. Itu bukan sebuah persoalan karena memang kematangan penulis itu akan diraih dari sebuah proses kreatif yang panjang. Dan salah proses menuju kematangan itu adalah membedah karya tersebut.

Religiusitas -kaum marjinal-  memang sangat kental menjadi tema antologi ini. Banyak cara yang bisa dipilih untuk menyampaikannya. Pendalaman terhadap persoalan hidup akan nampak pada kekayaan dan kepadatan estetika dan wawasan pengarang. Kematangan inilah yang bisa membuat sebuah penyampaian religiusitas itu tidak klise. Banyak keformalan yang menganggu kedalaman religiusitas yang sebenarnya bisa disampaikan dengan cara yang tidak formal.

Seperti dalam cerpen berjudul “Catatan Seorang Tuna Netra” karya Atina Nabila.  Cerpen itu berkisah tentang tokoh “aku”, seorang tunanetra yang malang, seorang lelaki tak berdaya, yang sedang mencari titik eksistensial dalam alur hidupnya. Tokoh adalah sosok remeh yang sedang berproses untuk menghargai hidup, yang terbuang oleh keluarganya. Ia bersandar pada sisi manusiawi, yang pada titik tertentu terlihat tegar, di sisi lainnya rapuh.

Pada momen tertentu, ia merasa tak berdaya. Tetapi pada momen lainnya, ia akan berucap “Aku memang buta tapi aku bukan manusia lemah”. “Dalam kontradiksi itulah, tokoh yang mengingatkan saya pada para penghapal Alquran yang buta itu, menyandarkan dirinya pada kekuatan di luar diri, yaitu Tuhan. Alhasil, nasib pun berpihak padanya. Ia bahagia dengan dirinya,” kata Mashuri yang juga Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jatim.

Namun, terasa ada yang mengganjal dari cerpen ini. Dominasi pesan seakan meruntuhkan bangunan teksnya. Tiga paragraf terakhir adalah inti dari cerpen ini tetapi sekaligis titik lemahnya. Sangat klise Selain itu, mengangkat orang buta, dengan sudut pandang aku-an, adalah mentranser segala kebutaan dalam perspektif yang subyektif. Bagaimana pembaca bisa merasakan “kegelapan”-nya.

Tetapi dalam cerpen ini, sangat terasa bagaimana tokoh “aku” berkisah tentang dirinya dan memandang sebagai “orang yang melihat”. Jika ia bertumpu pada “aku”  yang buta, tentu pembaca akan mendapatkan begitu banyak kabar dan warna dari “dunia kegelapan” sana, yang siapa tahu bisa mencipta “terang” di sini, di mata pembaca.  
Tiga paragraf terakhir tersebut: Kebanyakan manusia menggunakan matanya untuk melihat sesuatu yang tidak halal dan untuk menarik perhatian lawan jenis.

 Aku bersyukur atas semua takdir Allah yang diberikan kepadaku. Mungkin ini yang terbaik. Buta ini membawa berkah untukku. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita banyak kenikmatan.

Dan terima kasih Ya Allah, karena Engkau telah membukakan pintu hati kedua orang tuaku, sehingga aku kini dianggap oleh mereka sebagai anak mereka. Sempurnalah kini hidupku karena semua rencana-Mu. Thanks God.

Religiusitas  wong cilik juga bisa dilihat pada cerpen “Penghuni Sorter” karya Hardjono WS. Sekilas bisa dikatakan, cerpen “Penghuni Sorter” adalah cerpen yang bercerita tentang orang kecil dengan teknik cerita berbingkai. “Pusatnya adalah Mak Mah, yang mampu menyeret begitu banyak cerita lainnya,” tegas Mashuri.

Cerpen ini menuju taraf  “poliponik” (begitu banyak suara dari sebuah cerita). Bahkan, pada kadar tertentu bisa dikatakan sebagai cerita tanpa “cerita”. Masing-masing unsurnya saling menopang dan berjalan begitu saja, lewat dialog tokoh-tokohnya, dan narasi dari pencerita (narator). Religiusitas mengalir secara integral dalam alurnya dan penokohan/ perwatakan, termasuk di dalamnya adalah pandangan/laku hidup tokoh Mak Pah pada alur hidup dan nasib.

“Dalam cerpen, saya juga menemukan adonan antara ironi, satir, dan humor pahit. Nilai-nilai lokalitas berpadu universalitas. Yang tetap berkelit-kelindan dengan yang berubah. Orang-orang kecil datang dan pergi untuk menjadi orang besar. Sentilan sisi kemanusiaannya juga besar. Cerpen ini prototripe sastra yang terlibat (memihak) tanpa mengorbankan nilai sastranya,” paparnya.

Mak Pah pun bisa menyampaikan religiusitasnya dengan sederhana namun mengena. Berikut dialog Mak Pah dengan tokoh “Aku” tentang anak.  “Nggak usah ikut KB sebenarnya,” katanya tiba-tiba. “Itu urusan Tuhan, seperti saya sendiri. Beberapa kali saya minta anak, tetapi tidak seorang pun Tuhan berikan. Kenapa harus kau bunuh anak-anakmu yang mestinya diberi Tuhan kepadamu?” Kata Mak Pah.

Tujuh cerita lain yang terkumpul dalam antologi ini adalah “Rebiin” karya Akhmad Fatoni, “Yang Dibunuh Cerita-Cerita” karya Dadang Ari Murtono, “Tukang Semir Sepatu” karya Jack Effendi, “Tentang Kami” karya Jr Dasamuka, “Payung” karya Mochammad Asrori, “Negeri Dongeng” karya Nasrulloh Habibi, serta “Purnama Di Tepi Sungai Brantas” karya Rais Muhamad KS. Mereka adalah anggota Komunitas Arek Japanan (KAJ) Mojokerto.  

“Ini adalah proses kami. Selanjutnya terserah para pembaca menyikapi kelahiran antologi ini. Entah mau memaki, memuji, menggunjing ataupun mengucilkan kami, kami akan siap menerimanya. Karena kami telah berikrar  bahwa kami lahir bukan karena terpaksa, tetapi kami lahir dari ketulusan jiwa,” kata Akhmad Fatoni yang juga Ketua KAJ.zaki zubaidi

Tidak ada komentar: