Sabtu, 24 November 2012

Semangat Matador dan Protes Dalai Lama



 
Tanggal 14 September 1972 lampau, Dewan Kesenian Subaya (DKS) berdiri. Kini telah 41tahun perjalanan hidup dijalani. Namun DKS mengalami pasang surut dan tahun 2012 ini mungkin –masih- menjadi tahun keprihatinan. Dalam kondisi mati suri tersebut beberapa perupa masih memiliki semangat untuk membangkitkan lagi DKS. Harapan itulah yang terpancar dalam acara Gelar Seni Rupa Spirit 41 Tahun DKS.

Acara yang digelar di Galeri Surabaya Jalan Yos Sudarso itu menampilkan 29 karya perupa dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Ngawi, Bandung, serta Bali. Karya yang dipamerkan 25 lukisan, tiga instalasi dan sebuah fotografi. Beberapa yang menarik perhatian dalam ruang pameran tersebut adalah instalasi karya Bagas AP yang berjudul “Kursi Atos”.

Karya ini mampu mencuri perhatian karena warna merah mencolok dari kain yang menjadi backdrop. Objek utama adalah sebuah kursi kayu tanpa cat, dan di atas sandaran terdapat tengkorak hewan (semacam banteng) dengan sepasang tanduk yang panjang melengkung ke atas. Tengkorak tersebut terkesan futuristik karena terbuat dari Printed Circuit Board (PCB) lengkap komponen-komponennya. Begitu juga di bagian dudukan kursi yang diberi rangkaian-rangkaian hardware komputer.

Bahan kursi yang terbuat dari kayu dipadu dengan barang-barang produksi modern seperti bercerita tentang sebuah evolusi-mutasi; lampau menuju kekinian. Tanduk yang menjulang dengan backdrop pasti langsung mengingatkan kita pada matador-matador Spanyol yang menantang banteng-banteng liar. Apakah ada korelasi kain warna merah dengan amarah banteng?

Pada tahun 2007, Discovery Channel menguji apakah banteng akan menyerang warna atau gerakan dalam tiga percobaan terpisah. Pertama, mereka menempatkan tiga bendera, yang berwarna merah, biru dan putih, pada kandang banteng. Banteng kemudian menyeruduk ketiga bendera tersebut tanpa memperhatikan warnanya.

Selanjutnya, mereka menaruh tiga boneka berbaju merah, biru dan putih di atas arena, dan sekali lagi banteng menyeruduk ketiganya tanpa diskriminasi. Akhirnya, mereka menempatkan orang hidup berbaju merah di arena dengan banteng. Orang itu berdiri diam sementara ada dua koboi yang memakai baju bukan merah yang bergerak di sekitar arena. Banteng itu kemudian menyerang ketika koboi tersebut bergerak dan tidak menyentuh orang berpakaian merah sedikit pun.

Kursi sebagai sebuah tempat duduk adalah sebuah bukti eksistensi. Namun meski sudah dilengkapi perangkat komputer secanggih apapun, kursi itu tidak akan pernah ada gunanya tanpa orang mendudukinya. Kursi raja menjadi sangat berharga juga karena ada sang raja. Mungkin seperti itulah kondisi DKS atau lebih luasanya kesenian di Surabaya saat ini.  DKS sebagai sebuah lembaga memang masih ada namanya. Namun secara eksistensial apakah DKS masih bisa dianggap ada?

Sama dengan kain merah milik para matador itu, hanya sebagai lambang. Banteng-banteng itu tidak akan tertarik perhatiannya karena warna merah, tapi karena gerakan-gerakan kain tersebut. Jika semua hanya duduk manis, bukan tak mungkin ulang tahun DKS yang ke 42 tahun depan menjadi acara haul. Sebuah peringatan atas kematian. Tapi semoga saja tidak karena masih banyak seniman-seniman yang aktif berkarya. Mereka masih mampu membangkitkan lagi gairah berkesenian di kota Surabaya.

Bara api semangat –sekaligus protes- itu sepertinya coba direfleksikan oleh Taufik Monyong dalam intalasi karyanya yang dipajang di halaman Balai Pemuda.  Intalasi tersebut tanpa judul. Karya Taufik ini juga didominasi warna merah. Di tengah-tengah terdapat tiang bendera yang mengibarkan Sang Saka Merah Putih. Tiang-tiang itu terbuat dari bambu yang dicat merah. Di bambu-bambu yang salin terjalin itu tergantung palu raksasa yang juga berwarna merah menyala. Di sekelilingnya ada tumpukan karung yang melingkar. Karung-karung itu juga berwarna merah. Di tengah lingkaran itu, karung-karung dibakar. Pelan namun pasti, karung-karung tersebut akan menjadi api. Ini berarti juga seni instalasi tanpa judul itu pelan-pelan namun pasti juga akan musnah terbakar.

Seni membakar dirinya sendiri. Cukup ironis. Mengingatkan kita pada aksi-aksi bakar diri sebagai bentuk protes yang sering dilakukan di Tibet. Associated Press pernah memberitakan aksi bakar diri yang dilakukan seorang mantan biksu bernama Tenzin Phutsong. Maraknya aksi bakar diri yang dilakukan oleh biksu Tibet menimbulkan kekhawatiran banyak pihak.

Pemerintah China menyalahkan biksu Tibet sebagai biang keladi aksi bakar diri ini. Seorang pejabat Departemen Agama China menuding seorang biksu Budha Tibet yang memiliki kedekatan dengan Dalai Lama, yang dikenal sebagai pemimpin spiritual Tibet, menerapkan ajaran esktrem untuk para biksu melakukan aksi bakar diri.

Terlepas dari masalah di negeri China itu, yang pasti membakar diri sendiri, seni membakar membakar dirinya sendiri adalah sebuah bentuk protes. Kegelisahan atas sebuah kondisi kesenian di Kota Surabaya. “Pameran ini memang dalam rangka memperingati 41 tahun DKS. Semoga pameran yang digelar dengan sederhana ini mampu menjadi spirit untuk menjadi lebih baik di masa-masa mendatang,” kata ketua panitia pameran, Muit Arsa saat ditemui Jumat (23/11) lalu.

Dalam ulang tahun ke-41 tersebut, DKS juga mendapat kado sebuah lukisan di atas biji semangka karya Murya Wijen. Lukisan lambang DKS. Sebagai seniman lukis asal Ngawi, Murya juga menaruh harapan agar DKS bisa bangkit lagi. “Lukisan itu saya buat khusus sebagai kado ulang tahun untuk DKS. Surabaya sebagai kota besar seharusnya juga mampu menjadi jembatan yang menghubungkan seniman-seniman dari seluruh Jawa Timur,” tuturnya.zaki zubaidi

Selasa, 13 November 2012

Semangat Kepahlawanan Dalam Bebiji Wijen


Berkesenian adalah panggilan jiwa. Butuh ketulusan dan pengabdian –yang mungkin- buta untuk bisa tetap eksis.  Tidak ada jenjang pendidikan yang mencetak seniman. Kesenian itu universal, milik siapa saja yang mencintainya. Pencari rumput yang cinta terhadap seni lukis pun mampu mencipta karya yang seksi-rumit. Meski sering kali karya seni itu tidak mendapatkan penghargaan (baca: apresisasi) yang sepadan.

Pria bertopi hitam kumal duduk menunduk di pintu kanan Galeri Surabaya. Menggunakan kaos oblong dan celan jins belel ia mengintip sebiji wijen melalui sebuah alat. Alat yang terbuat dari pipa paralon. Alat itu ternyata semacam kaca pembesar untuk melihat biji wijen dalam ukuran lebih besar dari aslinya. Tangan kanannya sibuk menggerakkan kuas kecil dengan bulu tangan di ujungnya. Sesekali ia mencelupkan kuas kecil itu pada kaleng berisi cat minyak.

Ia menjauhkan matanya dari alat pembesar itu. Matanya berkedip-kedip seperti mengurangi rasa lelah otot pengelihatannya. Setelah mengambil kuas yang sudah dicelupkan cat minyak, ia menguntip lagi lewat lubang paralon yang dimodifikasi sehingga tampak seperti mikroskop sederhanya. Sementara biji wijen itu terus disapunya dengan warna-warna. Sebuah proses melukis wajah pahlawan di atas biji wijen sedang dilakukan oleh pria yang bernama Murya Wijen.

“Tidak apa-apa, Mas. Saya juga butuh istirahat,” jawabnya saat Seputar Indonesia meminta waktu untuk wawancara. Setelah meletakkan kuas, Murya pun menuturkan sekelumit proses kreatifnya. “Kecil itu indah. Sebab itu saya lebih memilih media-media yang sangat kecil dalam melukis. Kalau melukis di kanvas itu sudah banyak dilakukan,” kata Mury. Ia merupakan salah peserta pameran November Art yang digelar di Galeri Surabaya, Kompleks Balai Pemuda Jalan Yos Sudarso, pada 5-12 November 2012.

Ia menjadi peserta pameran tersebut bersama 22 pelukis yang tergabung dalam Komunitas Perupa Jawa Timur (Koperjati). Wurya mengaku sudah bosa melukis di kanvas. Rasa jenuh itu membuat Mury mencari tantangan baru agar memilik ciri khas dibanding dengan pelukis-pelukis yang lain. “Saya sempat melukis di biji beras,” kata berusian 35 tahun ini. Namun temuan baru itu tidak dilanjutkan lagi setelah mengetahui sudah ada pelukis yang menggunakan berasa sebagai media karyanya. Mury tidak mau meniru orang lain.

“Setelah tahu ada yang melukis di atas beras, saya berhenti. Saya bertekad agar bisa melukis di media yang lebih kecil dari pada beras. Akhirnya saya memilih biji wijen,” kata pria yang mengaku kini tinggal di Ngawi. Mury pun memulai petualangan seninya yang baru. Tapi tidak ada proses kreatif yang berjalan lancar. Lukisan pertamanya gagal. “Biji wijen itu kalau langsung dilukis cepat busuk. Itu disebabkan oleh kandungan minyak dalam wijen,” ungkapnya.

Mury pun mencari cara yang tepat untuk mengeringkan biji wijen. Satu-satunya cara terbaik untuk mengeringkan biji wijen adalah dijemur. “Biarkan kering secara alamiah. Sehingga proses mengeringkan pun tergantung cuaca,” kata pelukis otodidak ini. Mury ingat, pada tahun 2002 ia berhasil membuat lukisan pertamanya di atas biji wijen. Sebuah lukisan kaligrafi “bismillah” berhasil diselesaikan dalam waktu selama dua hari. “Tapi selama dua hari itu tidak nonstop. Saya juga refreshing beberapa saat. Bisa juga saya tinggal sebentar untuk mencari rumput. Ya, pekerjaan saya memang pencari rumput,” ungkapnya.

Hingga saat ini, sekitar 10 tahun, kurang lebih sudah 700 lukisan di atas biji wijen yang dihasilkannya. Karena kesetiaan itulah ia kemudian dikenal dengan nama Mury Wijen.  Dari ratusan lukisan di atas biji wijen itu, sudah bermacam gambar dihasilkannya. “Ya macam-macam. Ada lukisan logo klub sepak bola baik nasional maupu internasional hingga lukisan wajah tokoh-tokoh nasional,” kata pria yang sangat bersahaja ini.

Mury sampai saat ini masih menyimpan ratusan lukisannya itu dengan baik. Bagaimana cara menyimpan lukisan pada bije wijen itu bisa tahan lama? Mury tidak bersedia membeberikan teknikan penyimpanannya. “Wah, kalau itu rahasia perusahaan,” jawabnya diplomatis sambil tersenyum. Mury juga mengaku punya pengalaman pahit. Satu paket lukisan Wali Songo yang dihasilkannya pernah ditawar orang. “Sembilan biji wijen yang masing-masing bergambar wajah Wali Songo itu ditawar satu setengah juta,” tuturnya. Terang saja Mury menolak mentah-mentah penawaran tersebut karena itu sama saja tidak menghargai karyanya.

Dalam pameran November Art, Mury memajang lukisan wajah-wajah pahlawan nasional. Lukisan tersebut sengaja dibuatnya untuk menyambut Hari Pahlawan. Untuk satu lukisan, Mury membutuhkan waktu lima sampai tujuh hari. “Kalau warnanya lebih sedikit ya bisa lebih cepat. Sebab untuk satu warna harus menunggu kering dulu baru bisa diberi warna yang lain. Kalau ditumpuk warnya bisa pecah,” katanya sedikit membuka rahasia dapurnya. Ia berharap bisa tetap konsisten dan bisa membuat karya-karya lebih berkualitas. “Saya ingin go internasional,” harapnya.

Cuaca di Surabaya yang panas membuat cat yang diloleskannya cepat mengering. Mury pun kembali melanjutkan lukisannya. Ia kembali mengintip lewat alat pembesar yang dirancangnya sendiri. “Alat ini lensanya itu saya ambil dari fotograf. Saya beli di Pasar Loak. Seingat saya dulu harganya tujuh puluh lima ribu,” katanya sambil tangannya terus melukis. Mury berkarya dengan hati. Ia menancapkan eksistensinya dengan kesederhanaan dan tetap tidak sederhana.

Dalam pameran ini, setiap pelukis memang tidak diharuskan menampilkan satu tema khusus. Para pelukis diberi kebebasan. “Bahkan, Mbah Gimbal (salah satu peserta The Master) menyempatkan diri ke sini sebentar. Ia lakukan itu karena sudah komitmen terhadap komunitas. Ia langsung melukis abstrak. Pagi datang, sorenya ia langsung kembali ke jakarta untuk shooting di RCTI,” kata ketua panitia pameran, Muit Arsa.

Muit mengaku dalam pameran ini memang tidak  mendatangkan kurator dari luar. “Karena ini komunitas jadi masing-masing kami sudah mengerti satu sama lainnya. Ya tetap kita pilih. Kalau kurang cocok karyanya ya kita minta untuk menggantinya dengan lukisan yang lain,” papar pelukis yang memiliki ciri khas selalu memakai topi dengan kaca mata di atasnya. Muit berharap, pameran lukisan yang rutin digelar tiap tahun ini mampu menggairahkan perkembangan seni lukis di Surabaya maupun Indonesia. zaki zubaidi 

Pengejawantahan Mimpi dan Kenangan Masa Lalu



Kecoa bagi kebanyakan orang adalah binatang yang menjijikkan. Species jenis serangga ini bahkan sering menjadi inspirasi para pembuat tokoh futuristik alien. Muka yang sangat jorok dan menjijikkan penuh lendir. Seratus persen perlambang antagonis. Memang pada kenyataannya binatang berkulit cokelat mengkilap ini tinggal di tempat-tempat kotor. Ia ada hampir di seluruh pelosok dunia, kecuali kutub.

Kecoa raksasa ada yang tinggal di Balai Pemuda Jalan Yos Sodarso. Ya, kecoa itu merupakan salah satu patung yang ikut dipajang dalam pemeran “New Unity In Sculpture”. Pameran yang dilaksanakan sejak 28 Oktober hingga 3 November 2012 ini diikuti 13 mahasiswa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya, jurusan lukis dan patung.

Kecoa itu dibuat dari batang-batang korek api. Batang kayu kecil-kecil itu ditata sangat rapi hingga membentuk sebuah kecoa raksasa. Pengerjaan yang membutuhkan kesabaran dan keuletan. Karya Agung Budianto itu diberi judul “Kecoa Is Dead”. Kecoa telah mati, ini jelas sebuah hal yang tidak sepele. Sebab membunuh kecoa tidak gampang. Binatang ini bahkan bisa bertahan hidup meski kepalanya sudah terpotong.

Namun lebih lama melihat “Kecoa Is Dead” tiba-tiba mengingatkan saya pada prosa fenomenal karya Franz Kafka berjudul “Metamorphosis”.  Kisah simbolis tentang sebuah perubahan. Ada tokoh Gregor Samsa yang saat bangun tidur tiba-tiba mendapati dirinya telah berubah menjadi kecoa. Jelas bukan hal yang mudah dipahami. Bahkan oleg Gregor sendiri. Dengan tubuh baru yang menjijikkan itu perlu waktu untuk adaptasi. Dikisahkan dalam cerita itu Gregor juga kesulitan bangun dari tempat tidurnya. Ia juga harus bersusah payah membuka pintu kamar dengan tangan bukan lagi tangan manusia.

Kondisi yang sulit diterima sebuah keluarga jika ada salah satu daru mereka berwujud kecoa. Ayah Gregor malah tak peduli dengan perubahan itu bahkan cenderung menyiksa dan mengucilkannya. Sang ibu masih takut-takut saat masuk ke kamar Gregor. Sang adik, Grete masih bisa menunjukkan perhatiannya dengan menyediakan makanan untuk Gregor. Tapi di balik itu semua mereka sering membicarakan Gregor. Keluarga sering kali malu saat Gregor menampakkan diri di hadapan umum.

Gregor yang dalam bentuk kecoa itu malah harus menganggung hidup ayah, ibu, dan adiknya. Ketergantungan terhadapnya itu malah membuat orang tua Gregor dan adiknya menjadi orang yang skeptis dan antisosial. Usaha Gregor untuk menyadarkan mereka memang terkesan sia-sia karena berakhir dengan keputus-asaan hingga membuatnya meninggal di kamarnya sendiri. Usai kematian Gregor, keluarga malah bisa mulai bisa menikmati hidup kembali. Dan mereka akhirnya berbahagia.

Namun dalam karya Franz Kafka ini kecoa menjadi tokoh protagonis, berbeda dengan kebanyakan kisah yang ada. Apakah “Kecoa Is Dead” ini juga merupakan tokoh protagonis yang kematiannya berarti bagi orang lain? Setiap orang yang melihatnya berhak atas seluruh intrepretasi yang muncul.

Agus Budianto saat ditemui mengaku, kecoa itu itu adalah amarah masa lalu. Cowok 19 tahun ini ternyata menjadikan pengalaman pahit itu sebagai gagasan awal proses kreatifnya. Begitu juga pemilihan bahan korek api, menurut Agus memang sangat mewakili karakter dirinya. “Korek itu kan mudah mudah terbakar, begitu juga dengan saya. Jika pada kondisi tertentu saya sangat mudah emosi,” kata Agus saat ditemui, Kamis (1/11) lalu.

Lalu Agus pun menceritakan asal mula ide bentuk kecoa itu. “Dulu ayah saya itu ada masalah dengan orang lain. Ayah bertarung melawan lima orang. Beberapa mati, beberapa lainnya luka parah. Ayah saya menang. Dan karena peristiwa itu ia dipenjara,” tutur Agus. “Nah, sejak ayah masuk penjara kondisi keluarga menjadi goyah. Saya diungsikan ke rumah saudara karena takut musuh ayah balas dendam,” lanjut Agus mengenang masa lalunya.

Kondisi belum membaik masih ditambah lagi ibu ternyata nikah lagi. “Padahal ayah saat itu masih dalam penjara,” kata Agus . Agus mengaku tidak setuju dengan keputusan ibunya. Menurut Agus hal itu sungguh sebuah penghianatan pada ayahnya. “Saya bertengkar dengan ibu dan kabur dari rumah,” ungkap cowok asli Sidotopo ini.  Masalah besar keluarg itulah yang menginspirasi dirinya dalam berkarya. “Saya anggap musuh-musuh ayah adalah kecoa itu,” ucapnya seperti menahan emosi.

Di karya lain Agus membuat patung berjudul “Pertarungan Sedarah”. Patung yang terbuat dari batang korek api dan bungkus korek api itu menvisualkan dua orang yang bertarung. “Itu memang kelanjutan yang kecoa. Itulah pertarungan, pertengkaran saya dan ibu saya,” katanya sambil tersenyum beberapa saat kemudian. “Wah, kok jadi curhat ya,” lanjut Agung. Untuk membuat satu judul karya itu Agung mengaku membutuhkan waktu sekitar sebulan. Butuh ketelatenan untu merangkai batang  korek api yang kecil-kecil itu.

Pada bagian lain ada karya patung yang terbuat dari barang-barang rongsokan. Karya Arifin Londo itu diberi judul “Pangeran Diponegoro” dan ”Berdua Saja”.  Arifin mengaku konsep karyanya itu sangat sederhana. “Untuk yang Diponegoro itu saya lebih ingin mengingatkan bahwa kuda merupakan sarana transportasi yang pernah ada. Dan yang Berdua Saja itu, merupakan pengalama pribadi saat menikmati suasana taman di kota ini bersama pacar,” terang Arifin. Ia menggunakan teknik asembling dalam pembuatan patung-patungnya.

Meski diawali dengan konsep yang sederhana namun ketika menjadi bentuk patung, karya itu bisa melebihi ekspektasi kreatornya. Karena terbuat dari rongsokan logam, kuda dan Pangeran Diponegoro seolah sebuah robot. Pahlawan di masa depan yang mungkin saja dunia ini dihuni para robot. Robot yang berkarat. Manusia juga robot, robot tapi manusia karena punya hati. Mereka masih bisa merasakan cinta. Duduk di bangku taman bersama kekasihnya. 

Menurut ketua panitia, Adiguna, pameran ini memang ingin menyatukan karyawa mahasiswa jurusan patung dan lukis. “Mahasiswa patung bisa melukis, begitu juga sebaliknya mahasiswa lukis juga bisa membuat patung,” kata Adiguna. Pada awalnya yang ikut seleksi pameran ini 25 mahasiswa namun yang dianggap karyanya layak dipamerkan hanya 13 orang saja. “Pameran ini bagian dari proses pembelajaran agar kami bisa membuat karya yang berkualitas,” katanya.zaki zubaidi

Luapan Emosi Hingga Terakota Catatan Sejarah


Dibanding kesenian lainnya, seni keramik memang belum mendapat tempat yang sama. Seni keramik masih terpinggirkan. Seni keramik masih sering kali hanya dianggap sebuah karya dekoratif yang dianggap bagian dari kriya, bukan sebagai suatu bentuk seni rupa. Padahal, seperti seni lainnya, seni keramik juga memiliki nilai estetika tinggi.

Keramik-keramik hasil karya seni mahasiswa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) dipamerkan di Galeri Surabaya pada 2-8 Juli 2012. Dalam pameran tersebut menampilkan 13 karya dari 13 mahasiswa. Pameran ini mencoba menguatkan posisi keramik sebagai hasil kerja seni, tidak sekadar hiasan. “Kita selama ini memang lebih banyak mengenal keramik sebagai benda pakai seperti pot, ubin, genteng, serta peralatan sanitasi, atau souvenir saja,” kata Nuzurlis Koto dalam catatan katalog pameran tersebut.

Beberapa keramik yang dipamerkan ada yang berjudul “Setumpuk Kesetiaan” karya Aris  Dwi Pambudi. Keramik itu sekilas seperti sebuah tas jinjing. Namun jika dicermati adalah bentuk gembok. Sebuah gembok besar yang terbentuk dari puluhan, mungkin ratusan, gembok-gembok kecil. Dengan warna biskuit, karya ini memang tampil dengan emosi yang standar. Kesetiaan yang dimetaforkan melalui sebuah gembok.

Gembok sendiri merupakan alat untuk mengunci atau mengamankan sesuatu. Gembok hanya bisa dibuka dengan satu kunci. Jika kunci itu tidak ada maka gembok tersebut tidak akan bisa dibuka. “Kalau mau memaksa dibuka ya harus merusak gembok itu. Begitulah kesetiaan,” terang Aris ketika ditemui di Galeri Surabaya, Kamis (5/7) lalu.

“Dan gembok merupakan salah satu benda yang saya sukai dan menjadi sumber inspirasi,” lanjut mahasiswa jurusan seni rupa angkatan 2008 ini.  Aris mengakui, karyanya tersebut memang belum selesai. Untuk proses realisasi gagasan hingga menjadi bentuk yang dipamerkan itu Aris membutuhkan waktu sekitar 10 hari. “Nanti rencananya mau saya beri warna silver,” ucapnya.  

Beda lagi dengan keramik berjudul “Kehancuran”karya Dian Alfarizi. Keramik ini bentuknya tidak serealis “Setumpuk Kesetiaan”. Keramik ini didominasi warba kuning dengan sedikit semburat gelap di bagian bawah. Bentuknya seperti huruf U. Mirip bentuk janin sebelum sempurna menjadi bayi. Ada kesan yang ngeri yang ditimbulkan bentuk lubang mengangah yang tak simetris di salah satu ujungnya. Seperti mulut yang mengerang kesakitan.

“Pada awalnya saya ingin membuat perahu,” ungkap Dian, mahasiswa angkatan 2009 asal pamekasan ini. Ia mengaku ada perubahan bentuk saat proses pembuatan tersebut. “Sejak kecil saya sudah akrab dengan perahu, sebab itu muncul gagasan untuk membuatnya dalam bentuk keramik,” lanjutnya. Namun dalam proses pembuatannya ternyata Dian mengalami kegelisahan emosional. Ingatan akan masa lalu, tentang suatu yang kelam. Bentuk perahu itu pun berubah karena luapan emosi tersebut.

“Akhirnya saya bentuk menjadi manusia yang mengalami kehancuran tubuh,” ucapnya. Kata Dian, keramik yang dibuatnya selama 10 hari itu adalah catatan tentang dirinya sendiri, masa lalu, keluarga, hingga kenangan. Ia pun menyempurnakan kegelisahannya itu dengan memberinya warna kuning untuk menyatakan gagasan yang “panas” itu. Ia menolak warna merah yang selama ini lebih dipahami untuk mewakili rasa “panas”. “Kuning itu warna panas,” tandas Dian.

Keramik yang paling beda berjudul “The Wall” karya Agung Tato. Ada sentuhan instalasi dalam karya ini. Keramik kotak-kotak kecil yang ditumpuk membentuk segitiga. Setiap kotak memiliki bentuk yang tidak sama. “Setiap bentuk itu adalah catatan sejarah,” ungkap Agung Tato. Ternyata karya ini belum selesai dan tak akan pernah selesai selama pencipnya masih hidup. “Selama masih ada tahun, maka karya itu akan terus berkembang. Itu sudah saya buat sejak tahun 2002,” ungkapnya.

“The Wall” adalah pembatas. Sesuatu yang menjadi konvensi masyarakat untuk membatasi sesuatu. Semacam hukum, semacam norma. Pembatas yang selalu akan coba diterobos sendiri oleh masyarakatnya. “Selalu ada dua kepentingan, membatasinya dan menerobos batasan itu,” ucap Agung. Ia mencotohkan kebebasan masa kanak-kanak akan menemui batasan-batasan ketika memasuki masa sekolah. “Kebebasan itu akan dibatasi ketika seorang anak masuk sekolah,” katanya.

“The Wall” juga merupakan sebuah bentuk dokumentasi. Penyikapan atas peristiwa itu coba dituangkan dalam setiap keramik kotak. Semuanya ada sekitar 40 kotak dan masih akan terus bertambah. Kotak yang paling atas adalah yang terbaru dibuat Agung. “Kotak yang paling atas itu adalah catatan tentang bencana lumpur Lapindo. Tentang sebuah kota yang tenggelam,” ungkapnya.

Keramik-keramik karya Agung ini sengaja hanya menggunakan warna biskuit. Ia tidak akan mengglasir keramiknya. “Sengaja hanya seperti itu. Seperti terakota. Kebudayaan paling tinggi yang hanya ada di zaman Majapahit,” ungkapnya. Agung pun mengaku juga tidak bisa memastikan seperti apa nanti bentuk akhir “The Wall”.

Pada zama Majapahit pengetahuan tentang pembuatan barang-barang dari tanah liat bakar diduga dapat diuraikan dengan prinsip yang sangat sederhana, yaitu membuat bentuk atau model dari tanah liat, mengeringkan di bawah sinar matahari, dan membakarnya dalam api. Meski prinsipnya sederhana,  namun hasil kesenian terakota dalam berbagai bentuk tersebut tidak mempunyai cacat bawaan yang diakibatkan kurangnya pengetahuan dalam proses pembuatannya. zaki zubaidi