Buku tebal itu tergelak tepat disamping segelas kopi hitam. Hard cover berwarna hijau. Tulisan besar; What’s Poetry. Di bawahnya menjelaskan buku tebal itu adalah sebuah antologi puisi. Di bawahnya lagi tertulis; Forum Penyair Internasional Indonesia 2012. Jelas antologi itu bukan buku murah. Isinya apakah memang “semahal” kualitas fisiknya?
Jelas pembaca langsung ingin tahu siapa sajakah sastrawan
Indonesia yang ada dalam FPII 2012 itu.
Puisi apa saja yang ada dalam antologi yang telah dilaunching secara
maraton di Magelang, Pekalongan, Malang, dan Surabaya ini. Bukan karya yang
pertama kali dibaca, tapi siapa saja penyairnya.
Biodata para penyair itu ada di halaman 437 hingga 495.
Beberapa nama dalam biodatanya terjelaskan sebagai seorang yang memang telah
menulis beberapa karya dan terpublikasikan di media. Tapi ada juga yang membuat pembaca tercengang-heran,
diantaranya biodata Mikael Johani, Ratri Ninditya, dan Stephani Mamonto.
Mikael Johani dalam biodatanya menerangkan tinggal di
Ciledug, Tangerang. Senin-Jumat naik vespa lx150 ke kantor di daerah Senopati,
Kebayoran Baru (rute pencuri kerbau di zaman pra-Indonesia). Sabtu-Mingggu
disko di rumah. Menulis puisi dan resensi (selain nge-tweet) di tumblr,
posterous, multiply, facebook notes, blogspot dan goodreads. Pernah menerbitkan
stensilan puisi bahas Inggris di tahun 2008, berjudul We are Nowhere and It’s Wow. Dalam banyak hal masih, masih nowhere
sampai sekarang. Lahir di Yogyakarta, 18 Juni 1976. Lulis S1 dari Australian
National University , Jurusan Sastra
Yunani Kuno.
Ratri Ninditya menjelaskan dalam biodata jika dirinya ngekos
pindah-pindah di berbagai tempat di Jakarta. Sebulan sekali pulang ke rumah
orang tua di Gandul, Depok. Menulis copy untuk perusahaan iklan, doesn’t matter.
Menulis puisi dan cerpen di tumblr dan blogspot (yang ini matters to me). S1
Universitas Indonesia, Jurusan Komunikasi. Suka baca, suka lars von trier,
makan, dan ngelamun di kendaraan umum.
Sedangkan Stephanie Mamonto menulis biodatanya, lahir di
Jakarta 7 Mei 1986 dan memilih tetap tinggal di rumah orang tunya di Rawa buaya
sampain saat ini meskipun jauhnya bikin badan encok. Jam 7 pagi sudah menjelma
menjadi mbak-mbak Sudirman, siangnya bisa ada di manamana mengejar
bloger/penulis untuk sebuah perusahaan startup digital media di Indonesia, dan
malamnya ada di Salemba untuk kuliah atau di kedai-kedai kopi tersembunyi yang
kurang hipster untuk menyusun tesis atau menulis sebagai kontributor di
majalah-majalah gaya hidup masa kini tentang pop culture. Hanya bahagia ketika
mengaduk kesedihan di dalam mangkuk berisi sesendok kopi hitam, sedikit
susu, dan sejumput gula. Kuliah malam
S-2 Komunikasi di Universitas Indonesia.
Dalam pemikiran Pierre Bourdieu dinyatakan suatu habitus itu
setidaknya didukung empat modal, yaitu; modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal
simbolis. Suatu proses kepenyairan (habitus) haruslah didukung keempat modal
itu agar dalam bertarung atau memiliki eksitansi dalam arena (baca: sastra)
agar bisa terbaca sebagai sebuah praktik (baca: puisi atau penyair).
Sederhananya, Bourdieu merumuskan
(habitus x modal) + arena = praktik. Sehingga untuk melihat sebuah karya bisa
dilakukan dengan merunut bagaimana kehidupan penulisnya, karya-karya apa saja
yang dihasilkan sebelumnya.
Nah, berdasar biodata ketiga nama itu bisa terjelaskan bahwa
proses kepenyairan mereka itu hanya didukung modal sosial dan modal ekonomi.
Keterlibatan mereka dalam antologi FPII 2012 tidak disertai modal budaya
apalagi modal simbolis. Modal sosial,
jelas mereka punya karena ranah pertaruhan mereka di internet. Jaringan yang
sudah terbentuk diantara sesama blogger atau sejenisnya. Modal ekonomi, jelas,
karena mereka memiliki laptop untuk memproduksi tulisan-tulisannya. Mereka
tidak memiliki modal budaya yang cukup sebagai penulis yang karya-karya
terpublikasikan melalui sebuah seleksi yang ketat. Kalaupun tidak
terpublikasikan, karya mereka bisa dipertanggungjawabkan secara estetis.
Lalu apa penjelasan kurator tentang tanda tanya ini. Afrizal
Malna dalam esai kuratorialnya ternyata menerangkan bahwa puisi yang terkumpul
bukanlah puisi kanon. “Kurasi ini merupakan laporan dari kecenderungan puisi
kontemporer Indonesia. Kehadirannya masih membutuhkan pewacanaan lebih lanjut.
Karena itu saya menyebutnya sebagai sebuah versi dalam puisi kontemporer
Indonesia melalui kurasi ini. Puisi-puisi Indonesia yang sudah menjadi kanon,
saling mereproduksi dirinya, tidak menjadi perhatian utama kurasi ini,” kata
Afrizal dalam tulisan kuratorialnya.
Tentang karya yang tersebar melalui media internet, Afrizal
juga memaklumi jika masih banyak kekurangannya. “Penyair-penyair ini rata-rata
tinggal di kota-kota besar Indonesia, dan kurasi ini sejak awal harus mengakui
kelemahannya untuk mengenali keberagamannya,” tegas Afrizal.
Dari penjelasan ini memang sepertinya ingin mewadahi para
penyair yang belum memiliki karya kanon. Tapi pertanyaan lain masih menyusul;
mengapa ada penyair-penyair kawakan sekaliber
Zawawi Imron dan Mustofa Bisri? Juga nama-nama lain (meski belum sedemikian
kanon) yang karya-karyanya sudah banya terpublikasikan? Tak salah jika muncul
kecurigaan, antologi ini tanpa konsep yang jelas. Atau melenceng dari konsep
awal Tapi mungkin juga kecurigaan itu salah karena cara membaca yang juga
salah. Atau?
Dari pada bingung dengan tanda tanya, mungkin sebaiknya
menikmati puisi penyair internasional Ratri Ninditya yang berjudul “Gengges”. Ngapain cepet-cepet mati/di dalam kubur
pasti sepi sekali/daripada di rumah/main internet/donlot film bokep/lebih baik
keluar/lihat yang nyata/lihat gadis manis dengan gelembung di dada/aa ubanan
dengan gelembung di celana/minum di bremer/dinner pepenero/keleleran di seven
ngalayven/cipika cipiki sama selebriti kurang terkenal/futu futu waktu kalian
buka kamar/hisap hisap yang asam/tiup tiup yang lain/hihihi udah ah/malu/lain
kali jangan ngomongin diri sendiri melulu!zaki zubaidi