Selasa, 13 November 2012

Stanislavski Terbunuh di Gedung Srimulat


Pementasan teater jauh tidak lebih gampang ketimbang membuat sinetron kerja tayang. Dalam sebuah pementasan tak boleh ada kesalahan, tak ada adegan yang diulang untuk dibetulkan. Improvisasi atas sebuah kesalahan adalah harga mati. Semua butuh persiapan matang. Jika ada pementasan teater tanpa persiapan panjang dan matang, diperlukan keberanian dan tak sedikit kenekatan.

Satu diantara kitab suci para pekerja teater –terutama yang realis- adalah buku Konstantin Stanislavski yang berjudul “Persiapan Seorang Aktor”.  Metode Stanislavski mengembangkan sebuah pendekatan sistematis terhadap pelatihan para aktor untuk mengembangkan dari dalam dirinya ke luar. Stanislavski mengusulkan agar para aktor mempelajari dan mengalami emosi-emosi dan perasaan-perasaan subyektif dan mewujudkannya kepada para penonton melalui sarana-sarana fisik dan vokal, yang juga dikenal sebagai bahasa teater.

Namun ekspektasi yang terlalu tinggi saat menyaksikan pertunjukan teater sering kali hanya melahirkan rasa kecewa. Sebuah acara digelar di gedung Srimulat Kampung Seni THR Jalan Kusuma Bangsa, Minggu (17/6) ini. Parade teater yang diadakan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Adi Buana Surabaya melaksanakan gladi resik kemarin, Sabtu (16/6).

Ada enam pementasan yang disuguhkan, yaitu; “Jaka Tarub” karya Akhudiat, “Los Bagados De Los Pencos” karya WS Rendra, “Kampung Kardus” karya Gepeng Nugroho, “Wewe Gombel” karya MS Nugroho, “Kisah Cinta di Hari Rabu” karya Anton Chekov, serta “Rumah Tangga” karya Adjim Arijadi.

Seputar Indonesia (Sindo) berkesempatan menyaksikan gladi resik “Jaka Tarub”. Adegan dibuka dengan lagu dolanan “Cublak-cublak Suweng”. Koor suara wanita itu terdengar sayup-sayup dari kursi penonton paling belakang. Di tengah panggung tampak seorang aktor duduk bersila seolah sedang bertapa. Tak lama kemudian muncul sang Jaka Tarub. Namun sayang, tampak tak ada keseriusan dalam gladi resik tersebut.

Pun belum pementasan, namun gladi resik seharusnya mampun mencapai minimal sembilan puluh persen dari yang akan ditampilkan saat pertunjukan. Yang terlihat dari gladi resik itu seperti sebuah latihan yang sangat biasa. Bahkan para aktornya masih ada yang belum hafal naskah. Para aktor pun memegang naskah di atas panggung. Sungguh butuh keberanian dan kenekatan untuk sebuah pementasan yang digelar sehari kemudian.    

Namun tidak bijaksana jika hanya mencermati segala kekuarangan yang ada tanpa meminta penjelasan pementasan yang nekat itu. Ketua panitia Ayu Amaliyah Mardhotillah menjelaskan, acara tersebut dilaksanakan dalam rangka tugas akhir mata kuliah Teater yang diambil para mahasiswa angkatan 2009. Tema yang diangkat dalam parade teater ini adalah Indonesia lintas budaya, sebagai eksplorasi pada keragaman dan percampuran budaya yang menjadi corak dari Indonesia itu sendiri.

“Tema tersebut diwujudkan dalam bentuk keragaman tema dari masing-masing naskah yang dipilih sebagai materi yang dipanggungkan,” kata cewek berjilbab ini di sela-sela kesibukannya mempersiapkan pementasan, kemarin. Ditambahkan, pilihan terhadap naskah didasarkan pada eksplorasi masing-masing naskah yang unik dengan karakteristik yang mewakili keragaman dan percampuran budaya, sebagai Indonesia lintas budaya.

Sementara sutradara pementasan “Los Bagados De Los Pencos”, Yuni Rahayu mengaku persiapan pementasan memang sangat singkat. “Persiapan secara keseluruhan hanya dua minggu. Itupun tidak setiap hari latihan,” terang Yuni. Namun ia bersyukur para aktornya sudah hafal dengan naskah yang dimainkan. “Memang banyak kekurangannya, baik penjiwaan maupun soal olah vokal,” lanjutnya.

Dosen yang menjadi penanggung jawab, Suryadi Kusniawan, juga mengaku memang tidak muluk-muluk dalam pementasan tersebut. Para mahasiswa yang terlibat tidak semuanya pernah terlibat dalam kegiatan teater. Namun pementasan teater harus tetap dilaksanakan agar mahasiswa tidak sekadar mengetahui teater dari teorinya saja.

“Target mata kuliah teater adalah untuk memberikan pengalaman langsung terhadap para mahasiswa tentang bagaimana peristiwa teater dihadirkan. Dengan kata lain, menempatkan teater sebagai laku, bukan sebatas pembelajaran secara teoritis,” kata Suryadi yang juga aktor kawakan Teater Gapus Surabaya.

Dengan model tersebut, kata Suryadi, diharapakan mahasiswa mampu merasakan sensasi dari peristiwa teater, menyerap spirit yang tersaji didalamnya. “Kalau dilihat dari sisi FKIP sebagai wadah untuk mencetak pengajar-pengajar yang nantinya akan bersentuhan secara langsung dalam dunia pendidikan, melalui praktik belajar mengajar, maka mata kuliah ini diharapkan dapat menjadi laboratorim yang mampu memberikan mereka penemuan tentang spirit teater. Penemuan ini nantinya jadi metode yang secara otomatis dapat ditularkan pada para siswa kereka kelak,” paparnya.

Suryadi mengakui, ada kendala-kendala yang dihadapi. Diantaranya adalah kurangnya perkenalan para mahasiswa dengan teater semenjak masih menempuh pendidikan pra-kuliah, yang berdampak pada sulitnya mahasiswa untuk langsung diajak dalam proses teater. Dan kendala yang kedua terletak pada totalitas mahasiswa dalam memberlangsungkan proses latihan.

Kalau memang demikian, gebyar teater ini, terlepas dari banyak kekurangannya tetap masih patut diacungi jempol. Sebuah ihtiar yang penuh dengan keberanian dan kenekatan. Dan Stanislavski pun “terbunuh” di gedung Srimulat, pagi ini.zaki zubaidi

Tidak ada komentar: