Pementasan teater jauh tidak lebih gampang ketimbang membuat
sinetron kerja tayang. Dalam sebuah pementasan tak boleh ada kesalahan, tak ada
adegan yang diulang untuk dibetulkan. Improvisasi atas sebuah kesalahan adalah
harga mati. Semua butuh persiapan matang. Jika ada pementasan teater tanpa
persiapan panjang dan matang, diperlukan keberanian dan tak sedikit kenekatan.
Satu diantara kitab suci para pekerja teater –terutama yang
realis- adalah buku Konstantin Stanislavski yang berjudul “Persiapan Seorang
Aktor”. Metode Stanislavski
mengembangkan sebuah pendekatan sistematis terhadap pelatihan para aktor untuk
mengembangkan dari dalam dirinya ke luar. Stanislavski mengusulkan agar para
aktor mempelajari dan mengalami emosi-emosi dan perasaan-perasaan subyektif dan
mewujudkannya kepada para penonton melalui sarana-sarana fisik dan vokal, yang
juga dikenal sebagai bahasa teater.
Namun ekspektasi yang terlalu tinggi saat menyaksikan
pertunjukan teater sering kali hanya melahirkan rasa kecewa. Sebuah acara
digelar di gedung Srimulat Kampung Seni THR Jalan Kusuma Bangsa, Minggu (17/6)
ini. Parade teater yang diadakan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (PBSI) Universitas Adi Buana Surabaya melaksanakan gladi resik
kemarin, Sabtu (16/6).
Ada enam pementasan yang disuguhkan, yaitu; “Jaka Tarub”
karya Akhudiat, “Los Bagados De Los Pencos” karya WS Rendra, “Kampung Kardus”
karya Gepeng Nugroho, “Wewe Gombel” karya MS Nugroho, “Kisah Cinta di Hari
Rabu” karya Anton Chekov, serta “Rumah Tangga” karya Adjim Arijadi.
Seputar Indonesia (Sindo) berkesempatan menyaksikan gladi
resik “Jaka Tarub”. Adegan dibuka dengan lagu dolanan “Cublak-cublak Suweng”.
Koor suara wanita itu terdengar sayup-sayup dari kursi penonton paling
belakang. Di tengah panggung tampak seorang aktor duduk bersila seolah sedang
bertapa. Tak lama kemudian muncul sang Jaka Tarub. Namun sayang, tampak tak ada
keseriusan dalam gladi resik tersebut.
Pun belum pementasan, namun gladi resik seharusnya mampun
mencapai minimal sembilan puluh persen dari yang akan ditampilkan saat
pertunjukan. Yang terlihat dari gladi resik itu seperti sebuah latihan yang
sangat biasa. Bahkan para aktornya masih ada yang belum hafal naskah. Para
aktor pun memegang naskah di atas panggung. Sungguh butuh keberanian dan
kenekatan untuk sebuah pementasan yang digelar sehari kemudian.
Namun tidak bijaksana jika hanya mencermati segala
kekuarangan yang ada tanpa meminta penjelasan pementasan yang nekat itu. Ketua
panitia Ayu Amaliyah Mardhotillah menjelaskan, acara tersebut dilaksanakan
dalam rangka tugas akhir mata kuliah Teater yang diambil para mahasiswa
angkatan 2009. Tema yang diangkat dalam parade teater ini adalah Indonesia
lintas budaya, sebagai eksplorasi pada keragaman dan percampuran budaya yang
menjadi corak dari Indonesia itu sendiri.
“Tema tersebut diwujudkan dalam bentuk keragaman tema dari
masing-masing naskah yang dipilih sebagai materi yang dipanggungkan,” kata
cewek berjilbab ini di sela-sela kesibukannya mempersiapkan pementasan,
kemarin. Ditambahkan, pilihan terhadap naskah didasarkan pada eksplorasi
masing-masing naskah yang unik dengan karakteristik yang mewakili keragaman dan
percampuran budaya, sebagai Indonesia lintas budaya.
Sementara sutradara pementasan “Los Bagados De Los Pencos”,
Yuni Rahayu mengaku persiapan pementasan memang sangat singkat. “Persiapan
secara keseluruhan hanya dua minggu. Itupun tidak setiap hari latihan,” terang
Yuni. Namun ia bersyukur para aktornya sudah hafal dengan naskah yang
dimainkan. “Memang banyak kekurangannya, baik penjiwaan maupun soal olah
vokal,” lanjutnya.
Dosen yang menjadi penanggung jawab, Suryadi Kusniawan, juga
mengaku memang tidak muluk-muluk dalam pementasan tersebut. Para mahasiswa yang
terlibat tidak semuanya pernah terlibat dalam kegiatan teater. Namun pementasan
teater harus tetap dilaksanakan agar mahasiswa tidak sekadar mengetahui teater
dari teorinya saja.
“Target mata kuliah teater adalah untuk memberikan pengalaman
langsung terhadap para mahasiswa tentang bagaimana peristiwa teater dihadirkan.
Dengan kata lain, menempatkan teater sebagai laku, bukan sebatas pembelajaran
secara teoritis,” kata Suryadi yang juga aktor kawakan Teater Gapus Surabaya.
Dengan model tersebut, kata Suryadi, diharapakan mahasiswa
mampu merasakan sensasi dari peristiwa teater, menyerap spirit yang tersaji
didalamnya. “Kalau dilihat dari sisi FKIP sebagai wadah untuk mencetak
pengajar-pengajar yang nantinya akan bersentuhan secara langsung dalam dunia
pendidikan, melalui praktik belajar mengajar, maka mata kuliah ini diharapkan
dapat menjadi laboratorim yang mampu memberikan mereka penemuan tentang spirit
teater. Penemuan ini nantinya jadi metode yang secara otomatis dapat ditularkan
pada para siswa kereka kelak,” paparnya.
Suryadi mengakui, ada kendala-kendala yang dihadapi.
Diantaranya adalah kurangnya perkenalan para mahasiswa dengan teater semenjak
masih menempuh pendidikan pra-kuliah, yang berdampak pada sulitnya mahasiswa
untuk langsung diajak dalam proses teater. Dan kendala yang kedua terletak pada
totalitas mahasiswa dalam memberlangsungkan proses latihan.
Kalau memang demikian, gebyar teater ini, terlepas dari
banyak kekurangannya tetap masih patut diacungi jempol. Sebuah ihtiar yang penuh
dengan keberanian dan kenekatan. Dan Stanislavski pun “terbunuh” di gedung
Srimulat, pagi ini.zaki zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar