Selasa, 13 November 2012

Luapan Emosi Hingga Terakota Catatan Sejarah


Dibanding kesenian lainnya, seni keramik memang belum mendapat tempat yang sama. Seni keramik masih terpinggirkan. Seni keramik masih sering kali hanya dianggap sebuah karya dekoratif yang dianggap bagian dari kriya, bukan sebagai suatu bentuk seni rupa. Padahal, seperti seni lainnya, seni keramik juga memiliki nilai estetika tinggi.

Keramik-keramik hasil karya seni mahasiswa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) dipamerkan di Galeri Surabaya pada 2-8 Juli 2012. Dalam pameran tersebut menampilkan 13 karya dari 13 mahasiswa. Pameran ini mencoba menguatkan posisi keramik sebagai hasil kerja seni, tidak sekadar hiasan. “Kita selama ini memang lebih banyak mengenal keramik sebagai benda pakai seperti pot, ubin, genteng, serta peralatan sanitasi, atau souvenir saja,” kata Nuzurlis Koto dalam catatan katalog pameran tersebut.

Beberapa keramik yang dipamerkan ada yang berjudul “Setumpuk Kesetiaan” karya Aris  Dwi Pambudi. Keramik itu sekilas seperti sebuah tas jinjing. Namun jika dicermati adalah bentuk gembok. Sebuah gembok besar yang terbentuk dari puluhan, mungkin ratusan, gembok-gembok kecil. Dengan warna biskuit, karya ini memang tampil dengan emosi yang standar. Kesetiaan yang dimetaforkan melalui sebuah gembok.

Gembok sendiri merupakan alat untuk mengunci atau mengamankan sesuatu. Gembok hanya bisa dibuka dengan satu kunci. Jika kunci itu tidak ada maka gembok tersebut tidak akan bisa dibuka. “Kalau mau memaksa dibuka ya harus merusak gembok itu. Begitulah kesetiaan,” terang Aris ketika ditemui di Galeri Surabaya, Kamis (5/7) lalu.

“Dan gembok merupakan salah satu benda yang saya sukai dan menjadi sumber inspirasi,” lanjut mahasiswa jurusan seni rupa angkatan 2008 ini.  Aris mengakui, karyanya tersebut memang belum selesai. Untuk proses realisasi gagasan hingga menjadi bentuk yang dipamerkan itu Aris membutuhkan waktu sekitar 10 hari. “Nanti rencananya mau saya beri warna silver,” ucapnya.  

Beda lagi dengan keramik berjudul “Kehancuran”karya Dian Alfarizi. Keramik ini bentuknya tidak serealis “Setumpuk Kesetiaan”. Keramik ini didominasi warba kuning dengan sedikit semburat gelap di bagian bawah. Bentuknya seperti huruf U. Mirip bentuk janin sebelum sempurna menjadi bayi. Ada kesan yang ngeri yang ditimbulkan bentuk lubang mengangah yang tak simetris di salah satu ujungnya. Seperti mulut yang mengerang kesakitan.

“Pada awalnya saya ingin membuat perahu,” ungkap Dian, mahasiswa angkatan 2009 asal pamekasan ini. Ia mengaku ada perubahan bentuk saat proses pembuatan tersebut. “Sejak kecil saya sudah akrab dengan perahu, sebab itu muncul gagasan untuk membuatnya dalam bentuk keramik,” lanjutnya. Namun dalam proses pembuatannya ternyata Dian mengalami kegelisahan emosional. Ingatan akan masa lalu, tentang suatu yang kelam. Bentuk perahu itu pun berubah karena luapan emosi tersebut.

“Akhirnya saya bentuk menjadi manusia yang mengalami kehancuran tubuh,” ucapnya. Kata Dian, keramik yang dibuatnya selama 10 hari itu adalah catatan tentang dirinya sendiri, masa lalu, keluarga, hingga kenangan. Ia pun menyempurnakan kegelisahannya itu dengan memberinya warna kuning untuk menyatakan gagasan yang “panas” itu. Ia menolak warna merah yang selama ini lebih dipahami untuk mewakili rasa “panas”. “Kuning itu warna panas,” tandas Dian.

Keramik yang paling beda berjudul “The Wall” karya Agung Tato. Ada sentuhan instalasi dalam karya ini. Keramik kotak-kotak kecil yang ditumpuk membentuk segitiga. Setiap kotak memiliki bentuk yang tidak sama. “Setiap bentuk itu adalah catatan sejarah,” ungkap Agung Tato. Ternyata karya ini belum selesai dan tak akan pernah selesai selama pencipnya masih hidup. “Selama masih ada tahun, maka karya itu akan terus berkembang. Itu sudah saya buat sejak tahun 2002,” ungkapnya.

“The Wall” adalah pembatas. Sesuatu yang menjadi konvensi masyarakat untuk membatasi sesuatu. Semacam hukum, semacam norma. Pembatas yang selalu akan coba diterobos sendiri oleh masyarakatnya. “Selalu ada dua kepentingan, membatasinya dan menerobos batasan itu,” ucap Agung. Ia mencotohkan kebebasan masa kanak-kanak akan menemui batasan-batasan ketika memasuki masa sekolah. “Kebebasan itu akan dibatasi ketika seorang anak masuk sekolah,” katanya.

“The Wall” juga merupakan sebuah bentuk dokumentasi. Penyikapan atas peristiwa itu coba dituangkan dalam setiap keramik kotak. Semuanya ada sekitar 40 kotak dan masih akan terus bertambah. Kotak yang paling atas adalah yang terbaru dibuat Agung. “Kotak yang paling atas itu adalah catatan tentang bencana lumpur Lapindo. Tentang sebuah kota yang tenggelam,” ungkapnya.

Keramik-keramik karya Agung ini sengaja hanya menggunakan warna biskuit. Ia tidak akan mengglasir keramiknya. “Sengaja hanya seperti itu. Seperti terakota. Kebudayaan paling tinggi yang hanya ada di zaman Majapahit,” ungkapnya. Agung pun mengaku juga tidak bisa memastikan seperti apa nanti bentuk akhir “The Wall”.

Pada zama Majapahit pengetahuan tentang pembuatan barang-barang dari tanah liat bakar diduga dapat diuraikan dengan prinsip yang sangat sederhana, yaitu membuat bentuk atau model dari tanah liat, mengeringkan di bawah sinar matahari, dan membakarnya dalam api. Meski prinsipnya sederhana,  namun hasil kesenian terakota dalam berbagai bentuk tersebut tidak mempunyai cacat bawaan yang diakibatkan kurangnya pengetahuan dalam proses pembuatannya. zaki zubaidi

Tidak ada komentar: