Dibanding kesenian lainnya, seni keramik memang belum
mendapat tempat yang sama. Seni keramik masih terpinggirkan. Seni keramik masih
sering kali hanya dianggap sebuah karya dekoratif yang dianggap bagian dari
kriya, bukan sebagai suatu bentuk seni rupa. Padahal, seperti seni lainnya,
seni keramik juga memiliki nilai estetika tinggi.
Keramik-keramik hasil karya seni mahasiswa Sekolah Tinggi Kesenian
Wilwatikta (STKW) dipamerkan di Galeri Surabaya pada 2-8 Juli 2012. Dalam
pameran tersebut menampilkan 13 karya dari 13 mahasiswa. Pameran ini mencoba
menguatkan posisi keramik sebagai hasil kerja seni, tidak sekadar hiasan. “Kita
selama ini memang lebih banyak mengenal keramik sebagai benda pakai seperti
pot, ubin, genteng, serta peralatan sanitasi, atau souvenir saja,” kata
Nuzurlis Koto dalam catatan katalog pameran tersebut.
Beberapa keramik yang dipamerkan ada yang berjudul “Setumpuk
Kesetiaan” karya Aris Dwi Pambudi.
Keramik itu sekilas seperti sebuah tas jinjing. Namun jika dicermati adalah
bentuk gembok. Sebuah gembok besar yang terbentuk dari puluhan, mungkin
ratusan, gembok-gembok kecil. Dengan warna biskuit, karya ini memang tampil
dengan emosi yang standar. Kesetiaan yang dimetaforkan melalui sebuah gembok.
Gembok sendiri merupakan alat untuk mengunci atau
mengamankan sesuatu. Gembok hanya bisa dibuka dengan satu kunci. Jika kunci itu
tidak ada maka gembok tersebut tidak akan bisa dibuka. “Kalau mau memaksa
dibuka ya harus merusak gembok itu. Begitulah kesetiaan,” terang Aris ketika
ditemui di Galeri Surabaya, Kamis (5/7) lalu.
“Dan gembok merupakan salah satu benda yang saya sukai dan
menjadi sumber inspirasi,” lanjut mahasiswa jurusan seni rupa angkatan 2008
ini. Aris mengakui, karyanya tersebut
memang belum selesai. Untuk proses realisasi gagasan hingga menjadi bentuk yang
dipamerkan itu Aris membutuhkan waktu sekitar 10 hari. “Nanti rencananya mau
saya beri warna silver,” ucapnya.
Beda lagi dengan keramik berjudul “Kehancuran”karya Dian
Alfarizi. Keramik ini bentuknya tidak serealis “Setumpuk Kesetiaan”. Keramik
ini didominasi warba kuning dengan sedikit semburat gelap di bagian bawah.
Bentuknya seperti huruf U. Mirip bentuk janin sebelum sempurna menjadi bayi.
Ada kesan yang ngeri yang ditimbulkan bentuk lubang mengangah yang tak simetris
di salah satu ujungnya. Seperti mulut yang mengerang kesakitan.
“Pada awalnya saya ingin membuat perahu,” ungkap Dian,
mahasiswa angkatan 2009 asal pamekasan ini. Ia mengaku ada perubahan bentuk
saat proses pembuatan tersebut. “Sejak kecil saya sudah akrab dengan perahu,
sebab itu muncul gagasan untuk membuatnya dalam bentuk keramik,” lanjutnya.
Namun dalam proses pembuatannya ternyata Dian mengalami kegelisahan emosional.
Ingatan akan masa lalu, tentang suatu yang kelam. Bentuk perahu itu pun berubah
karena luapan emosi tersebut.
“Akhirnya saya bentuk menjadi manusia yang mengalami
kehancuran tubuh,” ucapnya. Kata Dian, keramik yang dibuatnya selama 10 hari
itu adalah catatan tentang dirinya sendiri, masa lalu, keluarga, hingga
kenangan. Ia pun menyempurnakan kegelisahannya itu dengan memberinya warna
kuning untuk menyatakan gagasan yang “panas” itu. Ia menolak warna merah yang
selama ini lebih dipahami untuk mewakili rasa “panas”. “Kuning itu warna
panas,” tandas Dian.
Keramik yang paling beda berjudul “The Wall” karya Agung
Tato. Ada sentuhan instalasi dalam karya ini. Keramik kotak-kotak kecil yang
ditumpuk membentuk segitiga. Setiap kotak memiliki bentuk yang tidak sama. “Setiap
bentuk itu adalah catatan sejarah,” ungkap Agung Tato. Ternyata karya ini belum
selesai dan tak akan pernah selesai selama pencipnya masih hidup. “Selama masih
ada tahun, maka karya itu akan terus berkembang. Itu sudah saya buat sejak
tahun 2002,” ungkapnya.
“The Wall” adalah pembatas. Sesuatu yang menjadi konvensi
masyarakat untuk membatasi sesuatu. Semacam hukum, semacam norma. Pembatas yang
selalu akan coba diterobos sendiri oleh masyarakatnya. “Selalu ada dua
kepentingan, membatasinya dan menerobos batasan itu,” ucap Agung. Ia
mencotohkan kebebasan masa kanak-kanak akan menemui batasan-batasan ketika
memasuki masa sekolah. “Kebebasan itu akan dibatasi ketika seorang anak masuk
sekolah,” katanya.
“The Wall” juga merupakan sebuah bentuk dokumentasi. Penyikapan
atas peristiwa itu coba dituangkan dalam setiap keramik kotak. Semuanya ada
sekitar 40 kotak dan masih akan terus bertambah. Kotak yang paling atas adalah
yang terbaru dibuat Agung. “Kotak yang paling atas itu adalah catatan tentang
bencana lumpur Lapindo. Tentang sebuah kota yang tenggelam,” ungkapnya.
Keramik-keramik karya Agung ini sengaja hanya menggunakan
warna biskuit. Ia tidak akan mengglasir keramiknya. “Sengaja hanya seperti itu.
Seperti terakota. Kebudayaan paling tinggi yang hanya ada di zaman Majapahit,”
ungkapnya. Agung pun mengaku juga tidak bisa memastikan seperti apa nanti
bentuk akhir “The Wall”.
Pada zama Majapahit pengetahuan tentang pembuatan
barang-barang dari tanah liat bakar diduga dapat diuraikan dengan prinsip yang
sangat sederhana, yaitu membuat bentuk atau model dari tanah liat, mengeringkan
di bawah sinar matahari, dan membakarnya dalam api. Meski prinsipnya
sederhana, namun hasil kesenian terakota
dalam berbagai bentuk tersebut tidak mempunyai cacat bawaan yang diakibatkan
kurangnya pengetahuan dalam proses pembuatannya. zaki zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar