Ruang gelap. Terdengar suara detak jam yang lebih mirip
suara mesin deteksi jantung. Lampu perlahan terang (fade in). Seorang lelaki berjenggot duduk santai dengan mata
terpejam. Kakinya selonjor di meja yang
di atasanya penuh dengan tumpukan buku-buku tebal. Lelaki dengan eyes-shadow tebal mirip magician Dedy
Corbuzer itu mengenakan toga lengkap dengan topinya. Suara detak waktu semakin samar. Lampu perlahan redup (fade out).
Begitulah adegan pembuka monolog Prodo Imitatio karya Arthur
S Nalan yang dimainkan Amar Jangkung mahasiswa Sekolah Tinggi Kesenian
Wilwaktikta (STKW) Surabaya. Pentas ini digelar pada Kamis (10/5) di Galeri
Surabaya Komplek Balai Pemuda dalam rangkaian acara Pasar Seni Lukis Indonesia
(PSLI).
Lampu panggung tiba-tiba menyala. “Salam imitatio! Viva
profesores prodo!” teriak lelaki berjenggot membuka adegan kedua. Di sisi kiri
panggung masih ada kursi dan meja penuh tumpukan buku tebal. Di tengah panggung
agak ke belakang ada properti sapu terbang yang melayang. Di situ tergantung
daftar harga ijazah perguruang tinggi. S1 20 juta nego, S2 80 juta nego, dan
S3120 juta nego. Di sisi kanan panggung ada meja yang di atasnya terdapat topi
toga besar seperti menutupi sesuatu.
“Panggil saja aku Prodo Imitatio!” dan ia kembali tertawa
terkekeh sambil mengangkat tinggi kedua tangannya. Selanjutnya ia bercerita
tentang sebuah negeri yang orang-orangnya sangat ingin meraih gelar dengan cara
instan, tanpa perlu menjalani sebuah proses pendidikan. Dalam kondisi itulah
Prodo Imitatio muncul bagai dewa penolong yang bisa meluluskan hasrat meraih
gelar tersebut. “Segala sesuatu yang yang menyangkut pemberian gelar
diselesaikan dengan sejumlah uang. Untuk wisudanya di hotel berbintang.
Saudara-saudara, uang adalah alat pembeli gelar yang paling ampuh dan dahsyat.”
Dalam salam setiap kalimatnya selalu dijejali tawa terkekeh.
Ia bergeser mendekati meja. Ia memukul-mukul buku dengan
telapak tangannya. “Saudara-saudara, kitab-kitab ini adalah buku-buku tebal
yang sengaja kususun bersama tim dari universitasku. Coba lihat, ada kitab 1000
gelar, ada kitab kiat-kiat jual beli gelar, masa depan cemerlang bersama Prodo
Imitatio, seni berfikir negarif, dan lain-lain. Kitab-kitab tebal ini disusun
dapat menjadi tempat duduk. Siapa berkenan pesan hubungi saja University of Zuzulapan
yang pusatnya di Amarakua. Tetap cabangnya ada di sini. Ya, aku sendiri Prodo
Imitatio rektornya!” ia kembali tertawa terkekeh.
Monolog ini memang penuh dengan sindiran atas realitas yang
memang benar-benar terjadi di negeri ini. Mendapatkan gelar secara gampang
adalah suatu budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun. Prodo Imitatio
bergeser mendekat meja di sisi kanan panggung. Dengan trik sulap, tampak tidak
menyentuh, topi toga itu terangkat. Terlihatlah sebuah lampu bundar seperti
bola kristal yang biasa digunakan dalam kisah-kisah sihir. Sambil melihat lampu
itu Prodo Imitatio kembali menyindir.
“Lihat baik-baik ini. Di masa penjajahan, untuk menggoda
para bumi putra supaya merasa terhormat, mereka memberi gelar kepada siapa saja
yang ingin punya gelar. Gelar itu
melakat dan orang itu merasa menjadi bangsawan, menak, raden. Padahal tidak.
Konon dulu ada sebutan Raden Sabenggol Sakancing Bedol. Maksudnya, dia membeli
gelar harganya satu benggol, pakaiannya penuh kancing emas imitasi kalau
ditarik sekali langsing mberodol !” matanya mendelik.
Di adegan ketiga, Prodo Imitatio sudah berada dalam penjara.
Ia menjalani hukuman atas bisnis ilegalnya jual beli gelar terebut. Ia
mengenakan kostum belang hitam-putih dan rambutnya gondrong terurai. Ia sibuk
menangkap kecoa yang banyak berkeliaran dalam selnya. Lalu ia mendapat kiriman
koran dari sipir. Ia pun bangga saat namanya masuk koran karena tertangkap jual
beli gelar sehingga dipenjara. Namun kritikan tetap dilontarkan. Sepertinya
bisnis palacuran, bisnis gelar palsu ini yang ditangkap hanya penjualnya.
Sedangkan pembeli dibiarkan bebas berkeliaran.
Usai ngomel tentang ketidakadilan dalam penegakan hukum,
Prodo Imitatio berjalan ke belakang. Tepat di bawah sapu terbang ia menutup
pertunjukan. “Maaf, saudara-saudara. Perlu kami beritahukan bahwa bisnis jual
beli hanya terjadi di Manaboa, bukan di Indonesia. Terima kasih,” lalu lampu
mati (black out). Pementasan sekitar
30 menit itupun berakhir.
Menikmati pertunjukan tersebut, penonton seolah diseret ke
dunia sihir. Dunia yang bisa menyediakan segala sesuatunya hanya dengan bimsalabim, lalu keinginan terkabul.
Penciptaan dunia ini dengan digunakannnya properti sapu terbang dan lampu
kristal. Generasi terbaru pasti akan langsung teringat dunia yang dihuni
penyihir cilik Harry Potter.
Upaya penciptaan dunia baru itu memang terasa kuat. Namun
sayang permainan emosi agak hambar. Tawa Prodo Imitatio terasa kurang lepas dan
kurang licik, padahal untuk ekspresi wajah sudah sangat tajam dengan bantuan make up. Bahkan menjelang ending, aktor
seperti kehabisan energi sehingga artikulasi agak belepotan. Tapi pencapaian kenikmatan terhadap sebuah pementasan pada
diri setiap penonton tidak selalu sama.
Namun secara keseluruhan pementasan ini seperti oase di kota
yang kering kerontang akan seni pertunjukan. Kekuatan naskah yang satire sudah
sampai pada penonton. Tidak bisa dipungkiri dalam sejarah kita memang ada
budaya pemberian gelar secara instan; sebuah mitos pembodohan. zaki zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar