Selasa, 13 November 2012

Sihir Uang dalam Dunia Pendidikan



Ruang gelap. Terdengar suara detak jam yang lebih mirip suara mesin deteksi jantung. Lampu perlahan terang (fade in). Seorang lelaki berjenggot duduk santai dengan mata terpejam.  Kakinya selonjor di meja yang di atasanya penuh dengan tumpukan buku-buku tebal. Lelaki dengan eyes-shadow tebal mirip magician Dedy Corbuzer itu mengenakan toga lengkap dengan topinya. Suara detak waktu semakin samar. Lampu perlahan redup (fade out).

Begitulah adegan pembuka monolog Prodo Imitatio karya Arthur S Nalan yang dimainkan Amar Jangkung mahasiswa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwaktikta (STKW) Surabaya. Pentas ini digelar pada Kamis (10/5) di Galeri Surabaya Komplek Balai Pemuda dalam rangkaian acara Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI).

Lampu panggung tiba-tiba menyala. “Salam imitatio! Viva profesores prodo!” teriak lelaki berjenggot membuka adegan kedua. Di sisi kiri panggung masih ada kursi dan meja penuh tumpukan buku tebal. Di tengah panggung agak ke belakang ada properti sapu terbang yang melayang. Di situ tergantung daftar harga ijazah perguruang tinggi. S1 20 juta nego, S2 80 juta nego, dan S3120 juta nego. Di sisi kanan panggung ada meja yang di atasnya terdapat topi toga besar seperti menutupi sesuatu.

“Panggil saja aku Prodo Imitatio!” dan ia kembali tertawa terkekeh sambil mengangkat tinggi kedua tangannya. Selanjutnya ia bercerita tentang sebuah negeri yang orang-orangnya sangat ingin meraih gelar dengan cara instan, tanpa perlu menjalani sebuah proses pendidikan. Dalam kondisi itulah Prodo Imitatio muncul bagai dewa penolong yang bisa meluluskan hasrat meraih gelar tersebut. “Segala sesuatu yang yang menyangkut pemberian gelar diselesaikan dengan sejumlah uang. Untuk wisudanya di hotel berbintang. Saudara-saudara, uang adalah alat pembeli gelar yang paling ampuh dan dahsyat.” Dalam salam setiap kalimatnya selalu dijejali tawa terkekeh.

Ia bergeser mendekati meja. Ia memukul-mukul buku dengan telapak tangannya. “Saudara-saudara, kitab-kitab ini adalah buku-buku tebal yang sengaja kususun bersama tim dari universitasku. Coba lihat, ada kitab 1000 gelar, ada kitab kiat-kiat jual beli gelar, masa depan cemerlang bersama Prodo Imitatio, seni berfikir negarif, dan lain-lain. Kitab-kitab tebal ini disusun dapat menjadi tempat duduk. Siapa berkenan  pesan hubungi saja University of Zuzulapan yang pusatnya di Amarakua. Tetap cabangnya ada di sini. Ya, aku sendiri Prodo Imitatio rektornya!” ia kembali tertawa terkekeh.

Monolog ini memang penuh dengan sindiran atas realitas yang memang benar-benar terjadi di negeri ini. Mendapatkan gelar secara gampang adalah suatu budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun. Prodo Imitatio bergeser mendekat meja di sisi kanan panggung. Dengan trik sulap, tampak tidak menyentuh, topi toga itu terangkat. Terlihatlah sebuah lampu bundar seperti bola kristal yang biasa digunakan dalam kisah-kisah sihir. Sambil melihat lampu itu Prodo Imitatio kembali menyindir.

“Lihat baik-baik ini. Di masa penjajahan, untuk menggoda para bumi putra supaya merasa terhormat, mereka memberi gelar kepada siapa saja yang ingin punya gelar.  Gelar itu melakat dan orang itu merasa menjadi bangsawan, menak, raden. Padahal tidak. Konon dulu ada sebutan Raden Sabenggol Sakancing Bedol. Maksudnya, dia membeli gelar harganya satu benggol, pakaiannya penuh kancing emas imitasi kalau ditarik sekali langsing mberodol !” matanya mendelik.

Di adegan ketiga, Prodo Imitatio sudah berada dalam penjara. Ia menjalani hukuman atas bisnis ilegalnya jual beli gelar terebut. Ia mengenakan kostum belang hitam-putih dan rambutnya gondrong terurai. Ia sibuk menangkap kecoa yang banyak berkeliaran dalam selnya. Lalu ia mendapat kiriman koran dari sipir. Ia pun bangga saat namanya masuk koran karena tertangkap jual beli gelar sehingga dipenjara. Namun kritikan tetap dilontarkan. Sepertinya bisnis palacuran, bisnis gelar palsu ini yang ditangkap hanya penjualnya. Sedangkan pembeli dibiarkan bebas berkeliaran.

Usai ngomel tentang ketidakadilan dalam penegakan hukum, Prodo Imitatio berjalan ke belakang. Tepat di bawah sapu terbang ia menutup pertunjukan. “Maaf, saudara-saudara. Perlu kami beritahukan bahwa bisnis jual beli hanya terjadi di Manaboa, bukan di Indonesia. Terima kasih,” lalu lampu mati (black out). Pementasan sekitar 30 menit itupun berakhir.

Menikmati pertunjukan tersebut, penonton seolah diseret ke dunia sihir. Dunia yang bisa menyediakan segala sesuatunya hanya dengan bimsalabim, lalu keinginan terkabul. Penciptaan dunia ini dengan digunakannnya properti sapu terbang dan lampu kristal. Generasi terbaru pasti akan langsung teringat dunia yang dihuni penyihir cilik Harry Potter.

Upaya penciptaan dunia baru itu memang terasa kuat. Namun sayang permainan emosi agak hambar. Tawa Prodo Imitatio terasa kurang lepas dan kurang licik, padahal untuk ekspresi wajah sudah sangat tajam dengan bantuan make up. Bahkan menjelang ending, aktor seperti kehabisan energi sehingga artikulasi agak belepotan. Tapi pencapaian kenikmatan terhadap sebuah pementasan pada diri setiap penonton tidak selalu sama.  

Namun secara keseluruhan pementasan ini seperti oase di kota yang kering kerontang akan seni pertunjukan. Kekuatan naskah yang satire sudah sampai pada penonton. Tidak bisa dipungkiri dalam sejarah kita memang ada budaya pemberian gelar secara instan; sebuah mitos pembodohan. zaki zubaidi

Tidak ada komentar: