Berkesenian adalah panggilan jiwa. Butuh ketulusan dan
pengabdian –yang mungkin- buta untuk bisa tetap eksis. Tidak ada jenjang pendidikan yang mencetak
seniman. Kesenian itu universal, milik siapa saja yang mencintainya. Pencari
rumput yang cinta terhadap seni lukis pun mampu mencipta karya yang seksi-rumit.
Meski sering kali karya seni itu tidak mendapatkan penghargaan (baca:
apresisasi) yang sepadan.
Pria bertopi hitam kumal duduk menunduk di pintu kanan
Galeri Surabaya. Menggunakan kaos oblong dan celan jins belel ia mengintip sebiji
wijen melalui sebuah alat. Alat yang terbuat dari pipa paralon. Alat itu
ternyata semacam kaca pembesar untuk melihat biji wijen dalam ukuran lebih besar
dari aslinya. Tangan kanannya sibuk menggerakkan kuas kecil dengan bulu tangan
di ujungnya. Sesekali ia mencelupkan kuas kecil itu pada kaleng berisi cat
minyak.
Ia menjauhkan matanya dari alat pembesar itu. Matanya
berkedip-kedip seperti mengurangi rasa lelah otot pengelihatannya. Setelah
mengambil kuas yang sudah dicelupkan cat minyak, ia menguntip lagi lewat lubang
paralon yang dimodifikasi sehingga tampak seperti mikroskop sederhanya.
Sementara biji wijen itu terus disapunya dengan warna-warna. Sebuah proses
melukis wajah pahlawan di atas biji wijen sedang dilakukan oleh pria yang
bernama Murya Wijen.
“Tidak apa-apa, Mas. Saya juga butuh istirahat,” jawabnya
saat Seputar Indonesia meminta waktu untuk wawancara. Setelah meletakkan kuas,
Murya pun menuturkan sekelumit proses kreatifnya. “Kecil itu indah. Sebab itu
saya lebih memilih media-media yang sangat kecil dalam melukis. Kalau melukis
di kanvas itu sudah banyak dilakukan,” kata Mury. Ia merupakan salah peserta
pameran November Art yang digelar di Galeri Surabaya, Kompleks Balai Pemuda
Jalan Yos Sudarso, pada 5-12 November 2012.
Ia menjadi peserta pameran tersebut bersama 22 pelukis yang
tergabung dalam Komunitas Perupa Jawa Timur (Koperjati). Wurya mengaku sudah
bosa melukis di kanvas. Rasa jenuh itu membuat Mury mencari tantangan baru agar
memilik ciri khas dibanding dengan pelukis-pelukis yang lain. “Saya sempat
melukis di biji beras,” kata berusian 35 tahun ini. Namun temuan baru itu tidak
dilanjutkan lagi setelah mengetahui sudah ada pelukis yang menggunakan berasa
sebagai media karyanya. Mury tidak mau meniru orang lain.
“Setelah tahu ada yang melukis di atas beras, saya berhenti.
Saya bertekad agar bisa melukis di media yang lebih kecil dari pada beras.
Akhirnya saya memilih biji wijen,” kata pria yang mengaku kini tinggal di
Ngawi. Mury pun memulai petualangan seninya yang baru. Tapi tidak ada proses
kreatif yang berjalan lancar. Lukisan pertamanya gagal. “Biji wijen itu kalau
langsung dilukis cepat busuk. Itu disebabkan oleh kandungan minyak dalam
wijen,” ungkapnya.
Mury pun mencari cara yang tepat untuk mengeringkan biji
wijen. Satu-satunya cara terbaik untuk mengeringkan biji wijen adalah dijemur.
“Biarkan kering secara alamiah. Sehingga proses mengeringkan pun tergantung
cuaca,” kata pelukis otodidak ini. Mury ingat, pada tahun 2002 ia berhasil
membuat lukisan pertamanya di atas biji wijen. Sebuah lukisan kaligrafi
“bismillah” berhasil diselesaikan dalam waktu selama dua hari. “Tapi selama dua
hari itu tidak nonstop. Saya juga refreshing beberapa saat. Bisa juga saya
tinggal sebentar untuk mencari rumput. Ya, pekerjaan saya memang pencari
rumput,” ungkapnya.
Hingga saat ini, sekitar 10 tahun, kurang lebih sudah 700
lukisan di atas biji wijen yang dihasilkannya. Karena kesetiaan itulah ia
kemudian dikenal dengan nama Mury Wijen.
Dari ratusan lukisan di atas biji wijen itu, sudah bermacam gambar
dihasilkannya. “Ya macam-macam. Ada lukisan logo klub sepak bola baik nasional
maupu internasional hingga lukisan wajah tokoh-tokoh nasional,” kata pria yang
sangat bersahaja ini.
Mury sampai saat ini masih menyimpan ratusan lukisannya itu
dengan baik. Bagaimana cara menyimpan lukisan pada bije wijen itu bisa tahan
lama? Mury tidak bersedia membeberikan teknikan penyimpanannya. “Wah, kalau itu
rahasia perusahaan,” jawabnya diplomatis sambil tersenyum. Mury juga mengaku punya
pengalaman pahit. Satu paket lukisan Wali Songo yang dihasilkannya pernah
ditawar orang. “Sembilan biji wijen yang masing-masing bergambar wajah Wali
Songo itu ditawar satu setengah juta,” tuturnya. Terang saja Mury menolak
mentah-mentah penawaran tersebut karena itu sama saja tidak menghargai
karyanya.
Dalam pameran November Art, Mury memajang lukisan
wajah-wajah pahlawan nasional. Lukisan tersebut sengaja dibuatnya untuk menyambut
Hari Pahlawan. Untuk satu lukisan, Mury membutuhkan waktu lima sampai tujuh
hari. “Kalau warnanya lebih sedikit ya bisa lebih cepat. Sebab untuk satu warna
harus menunggu kering dulu baru bisa diberi warna yang lain. Kalau ditumpuk
warnya bisa pecah,” katanya sedikit membuka rahasia dapurnya. Ia berharap bisa
tetap konsisten dan bisa membuat karya-karya lebih berkualitas. “Saya ingin go
internasional,” harapnya.
Cuaca di Surabaya yang panas membuat cat yang diloleskannya
cepat mengering. Mury pun kembali melanjutkan lukisannya. Ia kembali mengintip
lewat alat pembesar yang dirancangnya sendiri. “Alat ini lensanya itu saya
ambil dari fotograf. Saya beli di Pasar Loak. Seingat saya dulu harganya tujuh
puluh lima ribu,” katanya sambil tangannya terus melukis. Mury berkarya dengan
hati. Ia menancapkan eksistensinya dengan kesederhanaan dan tetap tidak
sederhana.
Dalam pameran ini, setiap pelukis memang tidak diharuskan
menampilkan satu tema khusus. Para pelukis diberi kebebasan. “Bahkan, Mbah
Gimbal (salah satu peserta The Master) menyempatkan diri ke sini sebentar. Ia
lakukan itu karena sudah komitmen terhadap komunitas. Ia langsung melukis
abstrak. Pagi datang, sorenya ia langsung kembali ke jakarta untuk shooting di
RCTI,” kata ketua panitia pameran, Muit Arsa.
Muit mengaku dalam pameran ini memang tidak mendatangkan kurator dari luar. “Karena ini
komunitas jadi masing-masing kami sudah mengerti satu sama lainnya. Ya tetap
kita pilih. Kalau kurang cocok karyanya ya kita minta untuk menggantinya dengan
lukisan yang lain,” papar pelukis yang memiliki ciri khas selalu memakai topi
dengan kaca mata di atasnya. Muit berharap, pameran lukisan yang rutin digelar
tiap tahun ini mampu menggairahkan perkembangan seni lukis di Surabaya maupun
Indonesia. zaki zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar