SUPER HERO ciptaan dunia Barat telah merampas eksistensi para super hero yang juga ada di dunia Timur, termasuk Indonesia. Gempuran ini memang sangat dahsyat sehingga tokoh semacam Gatotkaca kalah populer dibanding Superman. Lalu apakah perlu ada tokoh Superman berkulit sawo matang?
Lukisan berjudul “Go” karya Suryadi Suyamtina telah
menampilkannya. Seorang super hero dengan kostum ketat dominasi warna biru,
celana dalam merah, sepatu merah, serta berjubah merah. Di dadanya tertulis
simbol S. Rambutnya juga khas, dengan kuncir sebentuk huruf S menempel di
jidat. Tapi sang super hero itu berkulit cokelat sawo matang. Satir memang. Jika
seorang anak melihat lukisan tersebut mungkin akan berkomentar; “Superman kok
hitam? Superman bo’ongan.”
Karya yang dilukis di atas kanvas ukuran 150x200 Cm tersebut
dipamerkan di Galery AJBS Surabaya bersama dengan 16 karya lainnnya. Pameran
dari kelompok seniman Tenggara ini dilaksanakan pada 10-24 Juni 2012 mendatang.
Mengambil tema “Tropical Uniform”, pameran ini berusaha menampilkan keberagaman
warna-warni budaya tropis yang diikat benang merah sebagai satu kesatuan di
bawah payung ideologi bangsa Timur.
Dalam catatan kuratorialnya, Eddy Soetriyono menyatakan
dalam pameran ini kelompok Tenggara menampilkan karya-karya yang mewakili
simbol ketimuran, menafsir arti spirit bangsa Timur yang penuh kedalaman makna
dan menggali kekuatan lokal yang tidak dimiliki bangsa asing. Sembilan seniman
dengan caranya masing-masing memvisualkan segala yang menjadi dasar pemikiran
bangsa Timur untuk berbicara secara universal.
Kembali pada lukisan “Go”. Superman berkulit sawo matang itu
tidak sendiri. Ia sedang duduk santai berpangku dagu dengan mulut terkatup.
Jubahnya tersampir. Di hadapannya ada robot dengan pose nyaris sama. Di
belakang Superman itu ada kamera. Semacam acara talk show. Superman itu tampak
serius menyimak penjelasan sang robot. Mungkin sang robot sedang menerangkan
batapa super hero di masa mendatang sudah tidak diperlukan.
Ini hanya sebuah upaya tafsir sebuah karya lukis. Berdasar
judulnya ”Go” diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki banyak arti
diantaranya sebagai kata benda; kesempatan dan giliran. Sedangkan go sebagai
kata kerja intransitif bearti; pergi, berangkat, hancur, meninggal, hilang,
berjalan, berbunyi, jatuh, lari, naik, putus, menujum diperhentikan, boleh,
diatur, serta menjadi. Sedangkan sebagai kata sifat bisa bermakna terpesona.
Lukisan lain yang judulnya agak nakal adalah “Yang ke-4
Bukan Yang Terakhir” karya Luddy Astaghis. Karya berukuran 150x240 Cm itu
terbuat dari akrilik di atas media kanvas. Menampilkan sosok lelaku tua dengan
rambut beruban sedang duduk bersama empat perempuan yang berbeda usia. Cukup
gamblang jika tema yang diusung adalah soal poligami yang hingga saat ini
menimbulkan pro dan kontra bangsa ini.
Tak ada batasan soal pernikahan (baca: cinta). Sosok pria
tua itu botak dengan leher ditutup syal. Ini jelas kondisi usia tua yang tak
bisa ditolak: takdir. Meskipun demikian pria itu mengenakan celana blue jeans.
Bahkan ada kesan kekanakan yang ingin ditampilkan melalui sandal kamar yang
berbentuk kepala kelinci. Kata anak gaul sandalnya itu unyu. Tidak ada yang
membatasi cinta selain komitmen. Selebihnya, aturan baik agama maupun sosial,
selalu menciptakan hasrat untuk dilanggar. Atau menyiasati agar keinginan nakal
tetap tercapai tanpa melanggar aturan.
Sedangkan lukisan berjudul “Lima Kendara Makmur” karya Dadi
Setiyadi mencoba menyentil tentang nasionalisme yang hanya tinggal kenangan.
Pada kanvas ukuran 200x220 Cm tersebut Dadi Setiyadi menampilkan gambar yang
muram. Dominasi hijau tua dan hitam. Ia menampilkan bayangan pada sebuah
genangan air atau mungkin sungai. Tampak lima orang pengendara kuda. Mereka
masing-masing membawa panji dengan lambang Pancasila. Kelima penunggang kuda
itu juga menghadap belakang memandang dengan teropong.
Metafor kenangan yang disuguhkan secara bertubi-tubi;
bayang-bayang, penunggang menghadap ke belakang, serta gambar lima sila yang
seharusnya satu kesatuan tapi dipanjikan secara parsial. Masih ditegaskan lagi
dengan suasana yang kelam. Lukisan yang sangat kontekstual dengan satu dari
sekian banyak banyak kondisi terkini bangsa ini. Tak ada lagi kerukunan serta
keramahan yang menjadi ciri khas bangsa Timur. Masyarakat begitu mudah
terpancing emosinya.
Upaya merekontekstualisasikan ini memang begitu kentara pada
karya-karya kelompok Tenggara. Eddy Soetriyono menyatakan, kelompok ini para perupanya kebanyakan
sarjana seni rupa yang terdidik secara formal. Mereka berupaya menjawab
tantangan kecenderungan seni rupa kontemporer Indonesia yang sebetulnya hanya
“sok kontemporer” di permukaannya tapi jauh di lubuk hatinya menggenggam
mentalitas “modernis. Hal ini tampak
dari tindak tanduk perupanya yang membabi buta mengikuti jejak seni rupa
kontemporer Barat dan China, tunduk pada pusat Barat, dengan mentalitas
inlander yang terjajah.zaki zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar