Selasa, 13 November 2012

Ada Superman Berkulit Sawo Matang


SUPER HERO ciptaan dunia Barat telah merampas eksistensi para super hero yang juga ada di dunia Timur, termasuk Indonesia. Gempuran ini memang sangat dahsyat sehingga tokoh semacam Gatotkaca kalah populer dibanding Superman. Lalu apakah perlu ada tokoh Superman berkulit sawo matang?

Lukisan berjudul “Go” karya Suryadi Suyamtina telah menampilkannya. Seorang super hero dengan kostum ketat dominasi warna biru, celana dalam merah, sepatu merah, serta berjubah merah. Di dadanya tertulis simbol S. Rambutnya juga khas, dengan kuncir sebentuk huruf S menempel di jidat. Tapi sang super hero itu berkulit cokelat sawo matang. Satir memang. Jika seorang anak melihat lukisan tersebut mungkin akan berkomentar; “Superman kok hitam? Superman bo’ongan.”

Karya yang dilukis di atas kanvas ukuran 150x200 Cm tersebut dipamerkan di Galery AJBS Surabaya bersama dengan 16 karya lainnnya. Pameran dari kelompok seniman Tenggara ini dilaksanakan pada 10-24 Juni 2012 mendatang. Mengambil tema “Tropical Uniform”, pameran ini berusaha menampilkan keberagaman warna-warni budaya tropis yang diikat benang merah sebagai satu kesatuan di bawah payung ideologi bangsa Timur.

Dalam catatan kuratorialnya, Eddy Soetriyono menyatakan dalam pameran ini kelompok Tenggara menampilkan karya-karya yang mewakili simbol ketimuran, menafsir arti spirit bangsa Timur yang penuh kedalaman makna dan menggali kekuatan lokal yang tidak dimiliki bangsa asing. Sembilan seniman dengan caranya masing-masing memvisualkan segala yang menjadi dasar pemikiran bangsa Timur untuk berbicara secara universal.

Kembali pada lukisan “Go”. Superman berkulit sawo matang itu tidak sendiri. Ia sedang duduk santai berpangku dagu dengan mulut terkatup. Jubahnya tersampir. Di hadapannya ada robot dengan pose nyaris sama. Di belakang Superman itu ada kamera. Semacam acara talk show. Superman itu tampak serius menyimak penjelasan sang robot. Mungkin sang robot sedang menerangkan batapa super hero di masa mendatang sudah tidak diperlukan.

Ini hanya sebuah upaya tafsir sebuah karya lukis. Berdasar judulnya ”Go” diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki banyak arti diantaranya sebagai kata benda; kesempatan dan giliran. Sedangkan go sebagai kata kerja intransitif bearti; pergi, berangkat, hancur, meninggal, hilang, berjalan, berbunyi, jatuh, lari, naik, putus, menujum diperhentikan, boleh, diatur, serta menjadi. Sedangkan sebagai kata sifat bisa bermakna terpesona.

Lukisan lain yang judulnya agak nakal adalah “Yang ke-4 Bukan Yang Terakhir” karya Luddy Astaghis. Karya berukuran 150x240 Cm itu terbuat dari akrilik di atas media kanvas. Menampilkan sosok lelaku tua dengan rambut beruban sedang duduk bersama empat perempuan yang berbeda usia. Cukup gamblang jika tema yang diusung adalah soal poligami yang hingga saat ini menimbulkan pro dan kontra bangsa ini.

Tak ada batasan soal pernikahan (baca: cinta). Sosok pria tua itu botak dengan leher ditutup syal. Ini jelas kondisi usia tua yang tak bisa ditolak: takdir. Meskipun demikian pria itu mengenakan celana blue jeans. Bahkan ada kesan kekanakan yang ingin ditampilkan melalui sandal kamar yang berbentuk kepala kelinci. Kata anak gaul sandalnya itu unyu. Tidak ada yang membatasi cinta selain komitmen. Selebihnya, aturan baik agama maupun sosial, selalu menciptakan hasrat untuk dilanggar. Atau menyiasati agar keinginan nakal tetap tercapai tanpa melanggar aturan.

Sedangkan lukisan berjudul “Lima Kendara Makmur” karya Dadi Setiyadi mencoba menyentil tentang nasionalisme yang hanya tinggal kenangan. Pada kanvas ukuran 200x220 Cm tersebut Dadi Setiyadi menampilkan gambar yang muram. Dominasi hijau tua dan hitam. Ia menampilkan bayangan pada sebuah genangan air atau mungkin sungai. Tampak lima orang pengendara kuda. Mereka masing-masing membawa panji dengan lambang Pancasila. Kelima penunggang kuda itu juga menghadap belakang memandang dengan teropong.

Metafor kenangan yang disuguhkan secara bertubi-tubi; bayang-bayang, penunggang menghadap ke belakang, serta gambar lima sila yang seharusnya satu kesatuan tapi dipanjikan secara parsial. Masih ditegaskan lagi dengan suasana yang kelam. Lukisan yang sangat kontekstual dengan satu dari sekian banyak banyak kondisi terkini bangsa ini. Tak ada lagi kerukunan serta keramahan yang menjadi ciri khas bangsa Timur. Masyarakat begitu mudah terpancing emosinya.

Upaya merekontekstualisasikan ini memang begitu kentara pada karya-karya kelompok Tenggara. Eddy Soetriyono menyatakan,  kelompok ini para perupanya kebanyakan sarjana seni rupa yang terdidik secara formal. Mereka berupaya menjawab tantangan kecenderungan seni rupa kontemporer Indonesia yang sebetulnya hanya “sok kontemporer” di permukaannya tapi jauh di lubuk hatinya menggenggam mentalitas “modernis.  Hal ini tampak dari tindak tanduk perupanya yang membabi buta mengikuti jejak seni rupa kontemporer Barat dan China, tunduk pada pusat Barat, dengan mentalitas inlander yang terjajah.zaki zubaidi


Tidak ada komentar: