Selasa, 13 November 2012

Pengejawantahan Mimpi dan Kenangan Masa Lalu



Kecoa bagi kebanyakan orang adalah binatang yang menjijikkan. Species jenis serangga ini bahkan sering menjadi inspirasi para pembuat tokoh futuristik alien. Muka yang sangat jorok dan menjijikkan penuh lendir. Seratus persen perlambang antagonis. Memang pada kenyataannya binatang berkulit cokelat mengkilap ini tinggal di tempat-tempat kotor. Ia ada hampir di seluruh pelosok dunia, kecuali kutub.

Kecoa raksasa ada yang tinggal di Balai Pemuda Jalan Yos Sodarso. Ya, kecoa itu merupakan salah satu patung yang ikut dipajang dalam pemeran “New Unity In Sculpture”. Pameran yang dilaksanakan sejak 28 Oktober hingga 3 November 2012 ini diikuti 13 mahasiswa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya, jurusan lukis dan patung.

Kecoa itu dibuat dari batang-batang korek api. Batang kayu kecil-kecil itu ditata sangat rapi hingga membentuk sebuah kecoa raksasa. Pengerjaan yang membutuhkan kesabaran dan keuletan. Karya Agung Budianto itu diberi judul “Kecoa Is Dead”. Kecoa telah mati, ini jelas sebuah hal yang tidak sepele. Sebab membunuh kecoa tidak gampang. Binatang ini bahkan bisa bertahan hidup meski kepalanya sudah terpotong.

Namun lebih lama melihat “Kecoa Is Dead” tiba-tiba mengingatkan saya pada prosa fenomenal karya Franz Kafka berjudul “Metamorphosis”.  Kisah simbolis tentang sebuah perubahan. Ada tokoh Gregor Samsa yang saat bangun tidur tiba-tiba mendapati dirinya telah berubah menjadi kecoa. Jelas bukan hal yang mudah dipahami. Bahkan oleg Gregor sendiri. Dengan tubuh baru yang menjijikkan itu perlu waktu untuk adaptasi. Dikisahkan dalam cerita itu Gregor juga kesulitan bangun dari tempat tidurnya. Ia juga harus bersusah payah membuka pintu kamar dengan tangan bukan lagi tangan manusia.

Kondisi yang sulit diterima sebuah keluarga jika ada salah satu daru mereka berwujud kecoa. Ayah Gregor malah tak peduli dengan perubahan itu bahkan cenderung menyiksa dan mengucilkannya. Sang ibu masih takut-takut saat masuk ke kamar Gregor. Sang adik, Grete masih bisa menunjukkan perhatiannya dengan menyediakan makanan untuk Gregor. Tapi di balik itu semua mereka sering membicarakan Gregor. Keluarga sering kali malu saat Gregor menampakkan diri di hadapan umum.

Gregor yang dalam bentuk kecoa itu malah harus menganggung hidup ayah, ibu, dan adiknya. Ketergantungan terhadapnya itu malah membuat orang tua Gregor dan adiknya menjadi orang yang skeptis dan antisosial. Usaha Gregor untuk menyadarkan mereka memang terkesan sia-sia karena berakhir dengan keputus-asaan hingga membuatnya meninggal di kamarnya sendiri. Usai kematian Gregor, keluarga malah bisa mulai bisa menikmati hidup kembali. Dan mereka akhirnya berbahagia.

Namun dalam karya Franz Kafka ini kecoa menjadi tokoh protagonis, berbeda dengan kebanyakan kisah yang ada. Apakah “Kecoa Is Dead” ini juga merupakan tokoh protagonis yang kematiannya berarti bagi orang lain? Setiap orang yang melihatnya berhak atas seluruh intrepretasi yang muncul.

Agus Budianto saat ditemui mengaku, kecoa itu itu adalah amarah masa lalu. Cowok 19 tahun ini ternyata menjadikan pengalaman pahit itu sebagai gagasan awal proses kreatifnya. Begitu juga pemilihan bahan korek api, menurut Agus memang sangat mewakili karakter dirinya. “Korek itu kan mudah mudah terbakar, begitu juga dengan saya. Jika pada kondisi tertentu saya sangat mudah emosi,” kata Agus saat ditemui, Kamis (1/11) lalu.

Lalu Agus pun menceritakan asal mula ide bentuk kecoa itu. “Dulu ayah saya itu ada masalah dengan orang lain. Ayah bertarung melawan lima orang. Beberapa mati, beberapa lainnya luka parah. Ayah saya menang. Dan karena peristiwa itu ia dipenjara,” tutur Agus. “Nah, sejak ayah masuk penjara kondisi keluarga menjadi goyah. Saya diungsikan ke rumah saudara karena takut musuh ayah balas dendam,” lanjut Agus mengenang masa lalunya.

Kondisi belum membaik masih ditambah lagi ibu ternyata nikah lagi. “Padahal ayah saat itu masih dalam penjara,” kata Agus . Agus mengaku tidak setuju dengan keputusan ibunya. Menurut Agus hal itu sungguh sebuah penghianatan pada ayahnya. “Saya bertengkar dengan ibu dan kabur dari rumah,” ungkap cowok asli Sidotopo ini.  Masalah besar keluarg itulah yang menginspirasi dirinya dalam berkarya. “Saya anggap musuh-musuh ayah adalah kecoa itu,” ucapnya seperti menahan emosi.

Di karya lain Agus membuat patung berjudul “Pertarungan Sedarah”. Patung yang terbuat dari batang korek api dan bungkus korek api itu menvisualkan dua orang yang bertarung. “Itu memang kelanjutan yang kecoa. Itulah pertarungan, pertengkaran saya dan ibu saya,” katanya sambil tersenyum beberapa saat kemudian. “Wah, kok jadi curhat ya,” lanjut Agung. Untuk membuat satu judul karya itu Agung mengaku membutuhkan waktu sekitar sebulan. Butuh ketelatenan untu merangkai batang  korek api yang kecil-kecil itu.

Pada bagian lain ada karya patung yang terbuat dari barang-barang rongsokan. Karya Arifin Londo itu diberi judul “Pangeran Diponegoro” dan ”Berdua Saja”.  Arifin mengaku konsep karyanya itu sangat sederhana. “Untuk yang Diponegoro itu saya lebih ingin mengingatkan bahwa kuda merupakan sarana transportasi yang pernah ada. Dan yang Berdua Saja itu, merupakan pengalama pribadi saat menikmati suasana taman di kota ini bersama pacar,” terang Arifin. Ia menggunakan teknik asembling dalam pembuatan patung-patungnya.

Meski diawali dengan konsep yang sederhana namun ketika menjadi bentuk patung, karya itu bisa melebihi ekspektasi kreatornya. Karena terbuat dari rongsokan logam, kuda dan Pangeran Diponegoro seolah sebuah robot. Pahlawan di masa depan yang mungkin saja dunia ini dihuni para robot. Robot yang berkarat. Manusia juga robot, robot tapi manusia karena punya hati. Mereka masih bisa merasakan cinta. Duduk di bangku taman bersama kekasihnya. 

Menurut ketua panitia, Adiguna, pameran ini memang ingin menyatukan karyawa mahasiswa jurusan patung dan lukis. “Mahasiswa patung bisa melukis, begitu juga sebaliknya mahasiswa lukis juga bisa membuat patung,” kata Adiguna. Pada awalnya yang ikut seleksi pameran ini 25 mahasiswa namun yang dianggap karyanya layak dipamerkan hanya 13 orang saja. “Pameran ini bagian dari proses pembelajaran agar kami bisa membuat karya yang berkualitas,” katanya.zaki zubaidi

Tidak ada komentar: