Korupsi (atau sejenisnya) di negeri ini sekarang nyaris tak tebendung. Banyak koruptor yang tertangkap tapi kegiatan menguras kekayaan negara juga masih terjadi. Maling berdasi tidak ada kapok-kapoknya. Salah satu sebabnya adalah hukuman yang terlalu ringan. Saat keluar dari penjara, uang hasil korupsi itu belum habis. Mengapa manusia menjadi serakah? Para koruptor itu sudah kaya. Jelas lebih kaya dari pada maling ayam. Tapi mengapa mereka masih korupsi?
Naskah monolog “Kasir
Kita” karya Arifin C Noer cukup nakal untuk menyingkap kemungkinan-kemungkinan
penyebab seseorang menjadi koruptor. Naskah ini beberapa hari lalu dimainkan
Risky Andi Prananta dari Teater Gapus Surabaya di Fakultas Ilmu Budaya Unair
dalam rangka peringatan Malam Chairil Anwar (MCA). Naskah realis yang penuh
dengan permainan emosi dari seorang tokoh Misbah Jazuli yang sedang galau.
Setting tempat
dibangung sangat sederhana dan realis. Sebuah ruang keluarga. Di sisi kiri
panggung meja dan kursi, di sisi kanan terdapat meja kecil yang di atasnya ada
telepon rumah. Di tengah ada sketsel dengan hiasan pigora bergambar istri dan
anak-anaknya. Sedangkan tata cahaya hanya menggunakan lampu ruang. Terang.
Musik juga sangat minim. Kostum aktor hanya mengenakan kemeja dan celana hitam.
Penghayatan karakter benar-benar menjadi kekuatan terbesar dalam pertaruhan
pementasan ini. Sebuah tugas yang tak ringan bagi aktor.
Pementasan ini
berkisah tentang sang kasir bernama Misbah Jazuli. Ia terbelit masalah karena
menggunakan uang kantor untuk kepentingan pribadinya; memanjakan seorang
perempuan yang merupakan selingkuhannya. Sementara keluarga Misbah Jazuli
sendiri harus mengalami perceraian. Meski sudah cerai, Misbah Jazuli masih
cinta istrinya. Ia menyesali perbuatannya hanya gara-gara tergoda perempuan lain.
Misbah Jazuli bertambah galau karena perusahaan tempatnya bekerja akan
melakukan audit keuangan. Permainan emosi itu menggunakan stimulus telepon
berdering berkali-kali. Misbah Jazuli menerima telepon dari atasannya,
perempuan simpanannya, serta mantan istrinya secara bergantian tanpa bisa
ditebak dari siapa telepon itu berdering.
“Seperti saudara
saksikan sendiri badan saya sedemikian lesunya, bukan? Tuhanku! Ya, hanya
Tuhanku yang tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Saya rindu pada istri saya
dan sedang ditimpa rasa penyesalan dan saya takut masuk kantor berhubung ada
pertanggungjawaban keuangan,” Misbah Jazuli berhenti karena telepon berdering.
Misbah Jazuli
mengira mantan istrinya yang menelepon tapi ternya perempuan nakal. Emosinya
kembali meninggi. “Betapa saya marah. Sesudah beberapa puluh juta uang kantor
saya pakai berfoya-foya. Apakah ia mengharap saya mengangkat lemari besi itu ke
rumahnya. Gila!” Misbah Jazuli menirukan mengangkat brankas penyimpan uang.
Dari posisi tengah panggung, aktor kembali duduk. Nafasnya masih naik turun
karena emosinya masih tinggi.
“Saya telah
berhubungan dengan perempuan, beberapa hari setelah saya bertengkar di pengadilan
agama itu. Saya tertipu. Uang saya ludes, uang kantor ludes. Tapi saya masih
bersyukur lumpur itu baru mengenai betis saya. Setangah bulan lalu saya terjaga
dari mimpi edan itu. Betapa saya terkejut saat meghitung berapa uang kantor
katut. Sejak saat itu saya ingat istri saya. Saya mendengar tangis anak-anak
saya,” kalimat ini tersampaikan dan terasa permainan emosi dari marah hingga
penyesalan.
Namun penyesalan
itu hanya kesia-sian. “Ya manis. Kau ingat laut, pantai, pasir, tikar, kulit
kacang..ah...indah sekalu bukan? Tentu..tentu..ha? Bagaimana? Kawin? Kamu?
Segera? Ya, tentu bisa,” ia meletakkan gagang telepon. Adegan ini tidak panjang
namun pergeseran emosinya juga terasa. Berawal dari rayuan dan berakhir pada
keterkejutan yang pahit. “Apakah ini bukan suatu penghinaan? Dia mengharap agar
nanti sore saya datang ke rumahnya untuk melihat apakah laki-laki calon
suaminya itu cocok atau tidah baginya. Gila!”
Antonin Artaud
dalam sebuah tulisannya “Un athletisme
affektif” menyatakan seorang aktor seperti seorang atlet fisikal dengan
akibat wajar yang mengherankan. Organismenya yang afektif itu sama dengan
organisme afektif pada seorang atlet. Kesamaan yang sangat pararel. Persoalan
pernafasan adalah sesuatu yang sangat penting; secara proporsional terjadi
sebaliknya pada ekspresi-ekspresi yang bersifat eksternal. Makin mengarah ke
dalam dan makin tenang atau terkendali ekspresi tersebut, maka akan makin luas
dan makin berapi-api akting yang diarahkan ke luar (externalized acting).
Menurut sutradara
Dheny Jatmiko, dalam permainannya Risky sebagai aktor sangat total. “Dia haya
butuh waktu dua hari untuk lepas naskah dan bermain apik. Permaina emosinya
sudah bagus. Meski demikian memang masih butuh beberapa perbaikan,” kata Dheny
Jatmiko. Dia mengungkapkan, pementasan di MCA itu ibarat sebuah pembuktian. “Pementasan
ini disiapkan juga untuk seleksi Pekan Seni Mahasiswa, tapi gagal gara-gara
rekorat telat mendaftar,” lanjutnya. Kata Dheny, Risky sangat kecewa dengan
keteledoran itu. Padahal semua sudah dipersiapkan secara matang untuk meraih
juara. zaki zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar