Tanggal 14 September 1972 lampau, Dewan Kesenian Subaya
(DKS) berdiri. Kini telah 41tahun perjalanan hidup dijalani. Namun DKS
mengalami pasang surut dan tahun 2012 ini mungkin –masih- menjadi tahun
keprihatinan. Dalam kondisi mati suri tersebut beberapa perupa masih memiliki
semangat untuk membangkitkan lagi DKS. Harapan itulah yang terpancar dalam
acara Gelar Seni Rupa Spirit 41 Tahun DKS.
Acara yang digelar di Galeri Surabaya Jalan Yos Sudarso itu
menampilkan 29 karya perupa dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Ngawi, Bandung,
serta Bali. Karya yang dipamerkan 25 lukisan, tiga instalasi dan sebuah
fotografi. Beberapa yang menarik perhatian dalam ruang pameran tersebut adalah
instalasi karya Bagas AP yang berjudul “Kursi Atos”.
Karya ini mampu mencuri perhatian karena warna merah
mencolok dari kain yang menjadi backdrop.
Objek utama adalah sebuah kursi kayu tanpa cat, dan di atas sandaran terdapat
tengkorak hewan (semacam banteng) dengan sepasang tanduk yang panjang
melengkung ke atas. Tengkorak tersebut terkesan futuristik karena terbuat dari Printed Circuit Board (PCB) lengkap
komponen-komponennya. Begitu juga di bagian dudukan kursi yang diberi
rangkaian-rangkaian hardware komputer.
Bahan kursi yang terbuat dari kayu dipadu dengan
barang-barang produksi modern seperti bercerita tentang sebuah evolusi-mutasi;
lampau menuju kekinian. Tanduk yang menjulang dengan backdrop pasti langsung mengingatkan kita pada matador-matador
Spanyol yang menantang banteng-banteng liar. Apakah ada korelasi kain warna
merah dengan amarah banteng?
Pada tahun 2007, Discovery Channel menguji apakah banteng
akan menyerang warna atau gerakan dalam tiga percobaan terpisah. Pertama, mereka menempatkan tiga
bendera, yang berwarna merah, biru dan putih, pada kandang banteng. Banteng
kemudian menyeruduk ketiga bendera tersebut tanpa memperhatikan warnanya.
Selanjutnya, mereka menaruh tiga boneka berbaju merah, biru
dan putih di atas arena, dan sekali lagi banteng menyeruduk ketiganya tanpa
diskriminasi. Akhirnya, mereka menempatkan orang hidup berbaju merah di arena
dengan banteng. Orang itu berdiri diam sementara ada dua koboi yang memakai
baju bukan merah yang bergerak di sekitar arena. Banteng itu kemudian menyerang
ketika koboi tersebut bergerak dan tidak menyentuh orang berpakaian merah
sedikit pun.
Kursi sebagai sebuah tempat duduk adalah sebuah bukti
eksistensi. Namun meski sudah dilengkapi perangkat komputer secanggih apapun,
kursi itu tidak akan pernah ada gunanya tanpa orang mendudukinya. Kursi raja
menjadi sangat berharga juga karena ada sang raja. Mungkin seperti itulah
kondisi DKS atau lebih luasanya kesenian di Surabaya saat ini. DKS sebagai sebuah lembaga memang masih ada
namanya. Namun secara eksistensial apakah DKS masih bisa dianggap ada?
Sama dengan kain merah milik para matador itu, hanya sebagai
lambang. Banteng-banteng itu tidak akan tertarik perhatiannya karena warna
merah, tapi karena gerakan-gerakan kain tersebut. Jika semua hanya duduk manis,
bukan tak mungkin ulang tahun DKS yang ke 42 tahun depan menjadi acara haul.
Sebuah peringatan atas kematian. Tapi semoga saja tidak karena masih banyak
seniman-seniman yang aktif berkarya. Mereka masih mampu membangkitkan lagi
gairah berkesenian di kota Surabaya.
Bara api semangat –sekaligus protes- itu sepertinya coba
direfleksikan oleh Taufik Monyong dalam intalasi karyanya yang dipajang di
halaman Balai Pemuda. Intalasi tersebut
tanpa judul. Karya Taufik ini juga didominasi warna merah. Di tengah-tengah
terdapat tiang bendera yang mengibarkan Sang Saka Merah Putih. Tiang-tiang itu
terbuat dari bambu yang dicat merah. Di bambu-bambu yang salin terjalin itu
tergantung palu raksasa yang juga berwarna merah menyala. Di sekelilingnya ada
tumpukan karung yang melingkar. Karung-karung itu juga berwarna merah. Di
tengah lingkaran itu, karung-karung dibakar. Pelan namun pasti, karung-karung
tersebut akan menjadi api. Ini berarti juga seni instalasi tanpa judul itu
pelan-pelan namun pasti juga akan musnah terbakar.
Seni membakar dirinya sendiri. Cukup ironis. Mengingatkan
kita pada aksi-aksi bakar diri sebagai bentuk protes yang sering dilakukan di
Tibet. Associated Press pernah
memberitakan aksi bakar diri yang dilakukan seorang mantan biksu bernama Tenzin
Phutsong. Maraknya aksi bakar diri yang dilakukan oleh biksu Tibet menimbulkan
kekhawatiran banyak pihak.
Pemerintah China menyalahkan biksu Tibet sebagai biang
keladi aksi bakar diri ini. Seorang pejabat Departemen Agama China menuding
seorang biksu Budha Tibet yang memiliki kedekatan dengan Dalai Lama, yang
dikenal sebagai pemimpin spiritual Tibet, menerapkan ajaran esktrem untuk para
biksu melakukan aksi bakar diri.
Terlepas dari masalah di negeri China itu, yang pasti
membakar diri sendiri, seni membakar membakar dirinya sendiri adalah sebuah
bentuk protes. Kegelisahan atas sebuah kondisi kesenian di Kota Surabaya.
“Pameran ini memang dalam rangka memperingati 41 tahun DKS. Semoga pameran yang
digelar dengan sederhana ini mampu menjadi spirit untuk menjadi lebih baik di
masa-masa mendatang,” kata ketua panitia pameran, Muit Arsa saat ditemui Jumat
(23/11) lalu.