Kenyataan saat ini seoalah tak lagi memberi celah pada
imajinasi. Ruang gerak seni dan sastra semakin sempit. Atau bahkan tak ada
lagi. Segala bentuk atau peristiwa (atau papin sebutannya) yang dianggap
imajinasi ternyata sudah banyak terjadi pada realitas sehari-hari.
Seorang Sujewo Tedjo pun mengakui hal ini. "Semua yang
dulu hanya kita bayangkan imajinasikan kini telah terjadi. Saya tak tahu lagi
cerita apa yang bisa dimainkan dalang," saat tampil di Festival Seni Surabaya
(FSS) 2011 beberapa waktu lalu. Hingga Sujewo Tejo melakoni tugasnya sebagai
dalang berdasar cerita yang diinginkan audien.
Begitu juga dalam sebuah karya seni rupa. Karya yang
merepresentasikan realitas jelas tak akan menawarkan daya tarik apapun. Namun
mencari celah imajinasi untuk memberi pemaknaan lain dari sebuah realitas harus
tetap dijaga. Atau kalau tidak, matilah sang pencipta karya. Upaya ini tampak
dalam pameraran “Rite of Now” yang dilaksanakan di Galery AJBS Surabaya pada
20-30 November 2011 lalu.
Pameran ini menampilkan 14 perupa dari Institut Teknologi
Bandung (ITB) dengan berbagai bentuk karya mulai dari lukisan, fotografi,
hingga instalasi. Pengunjung disuguhi karya-karya yang bisa dinikmati seolah
dengan cara instan. Lukiasan berjudul “The Unknown; Unrate Musician: Potret
Etza", karya sederhana menampilkan sosok gitaris dengan wajah paduan
tampan dan cantik. Tak jelas sang gitaris perempuan atau lelaki.
Lukisan dari bahan cat minyak karya Aliansyah ini berada di
wilayah remang. Dominasi warna cokelat tua pada latar, jas sang gitaris, hingga
gitar menambah kesan kelam. Namun dikontraskan dengan warna putih pada kaos
gitaris serta bagian tengah gitar. Sebuah warna netral yang bisa dianggap suci
sekaligus menakutkan.
Sosok ini memang bukan siapa-siapa. Tak merujuk pada
siapapun (meski ada nama pada judul), gitaris yang terkenal. Kita bisa
menikmatinya sebagai sosok asing sekaligus akrab. Gitaris yang handal sekaligus
tolol. Sebab tak ada garis-garis senar pada gitar itu. Banyak pilihan yang bisa
dinikmati sekaligus dicemooh.
Batasan baik dan buruk pun sangat tipis dan nyaris tak
kentara. Pun salah dan benar yang kini semakin subjektif dan samar. Seperti dalam foto berjudul "Everybody but Heaven Knows How
I Was Wrong" karya Citra Sukma. Karya ini menampilkan sosok seorang
biarawati yang berdiri di bawah pohon (semacam) akasia. Ia seorang diri
diantara rindang dan rumput lapang.
Foto ini hanya sephia, tak perlu banyak warna. Seolah
sempurna. Tapi montase dari dua gambar yang serupa itu sesungguhnya menjadikan
ranting-ranting pohon tumbuh dengan patah. Karya mencoba mengakrabi
religiusitas. Sekilas pandang pada foto itu seolah sempurna, seperti ketika
realitas menganggap sesuatu tak salah. Namun sesungguhnya dengan cara pandang
yang tak tergesa jelas akan berbeda.
Diantara salah dan benar ranting itu tumbuh, toh tetap saja
bisa dinikmati. Menikmati montase yang cacat. Menikmati dunia yang tak banyak
warna. Sederhana. Sungguh hidup tak perlu mencaci sebab kebenaran yang
sesungguhnya hanya hak prerogatif pemilik surga (heaven).
Lagi-lagi tentang realitas. Pengulangan (repetisi) yang
dianggap sama namun sesungguhnya tidak sama. Instalasi karya Gabriel Aries
berjudul "Sleeping Beauty" mencoba mencerabut ingatan penikmatnya
kepada folk tale tentang putri raja yang tertidur ratusan tahun dan terbangung
saat pangeran tampan menciumnya. Karya sederhana menampilkan bantal dan guling
tertata rapi di atas tempat tidur. Bukan kasur kapuk atau spring bed, melainkan
tumpukan koran.
Lalu adakah celah imajinasi padanya? Jelas ada meski terlalu
sederhana. Kecantikan yang universal sungguh diragukan adanya. Tak ada putri.
Yang ada ruang kosong. Kita bisa merokunstruksi segala keindahan perempuan
seliar mungkin. Melepas diri dari konvensi yang dijejalkan sejak mata kita
melihat dunia. Konvensi yang -sesungguh- objektif dan kejam. Tumpukan koran
jelas terlau mudah untuk dipahami sebagai representasi dari realitas. Sesedarhana itu? mungkin, tapi mungkin pula
tidak.
Rizki A Zaelani dan A Rikrik Kusmar dalam pengantar
kuratorialnya mengakui, nasib (ekspresi) seni di era sekarang tetap akan
ditentukan oleh bagaimana seni dianggap dan menunjukkan relasinya dengan
preposisi tertentu mengenai sifat dasar realitas. Sehingga menunjukkan kaitan
seni dengan dunia, dengan pengetahuan tentangnya, berarti juga menghubungkannya
pada kekuasaan dan di situlah seorang seniman menemukan dan menghidupi image.
Sesuatu yang dianggap sebagai keadaan sekarang (now) tentu
adalah segala hal yang mengitari dan menghampiri kesadaran kita. Tapi bisakah
kita melihatnya? Realitas fotografik sekarang tak hanya nampak cemerlang, lebih
indah dari aslinya, serta memesona. Namun juga menyisipkan bahkan
terang-terangan menyertakan segala itikad dan hasrat yang tak bisa
dipagarbatasi. Seluruhnya bergerak, berputar-putar, seakan adalah repetisi
tiada henti, dan jadi aturan nilai ideologis ritual hidup keseharian kita.
Kedua kurator ini pun bersepakat dengan seniman legendaris
Paul Cezanne. "What i am trying to translate to you is more mysterious; it
is entwined in the very roots of being, in the implacable source of
sensations". zaki zubaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar