Kamis, 15 Maret 2012

Rite of Now: Mencari Celah Realitas




Kenyataan saat ini seoalah tak lagi memberi celah pada imajinasi. Ruang gerak seni dan sastra semakin sempit. Atau bahkan tak ada lagi. Segala bentuk atau peristiwa (atau papin sebutannya) yang dianggap imajinasi ternyata sudah banyak terjadi pada realitas sehari-hari.

Seorang Sujewo Tedjo pun mengakui hal ini. "Semua yang dulu hanya kita bayangkan imajinasikan kini telah terjadi. Saya tak tahu lagi cerita apa yang bisa dimainkan dalang," saat tampil di Festival Seni Surabaya (FSS) 2011 beberapa waktu lalu. Hingga Sujewo Tejo melakoni tugasnya sebagai dalang berdasar cerita yang diinginkan audien.

Begitu juga dalam sebuah karya seni rupa. Karya yang merepresentasikan realitas jelas tak akan menawarkan daya tarik apapun. Namun mencari celah imajinasi untuk memberi pemaknaan lain dari sebuah realitas harus tetap dijaga. Atau kalau tidak, matilah sang pencipta karya. Upaya ini tampak dalam pameraran “Rite of Now” yang dilaksanakan di Galery AJBS Surabaya pada 20-30 November 2011 lalu.

Pameran ini menampilkan 14 perupa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan berbagai bentuk karya mulai dari lukisan, fotografi, hingga instalasi. Pengunjung disuguhi karya-karya yang bisa dinikmati seolah dengan cara instan. Lukiasan berjudul “The Unknown; Unrate Musician: Potret Etza", karya sederhana menampilkan sosok gitaris dengan wajah paduan tampan dan cantik. Tak jelas sang gitaris perempuan atau lelaki.

Lukisan dari bahan cat minyak karya Aliansyah ini berada di wilayah remang. Dominasi warna cokelat tua pada latar, jas sang gitaris, hingga gitar menambah kesan kelam. Namun dikontraskan dengan warna putih pada kaos gitaris serta bagian tengah gitar. Sebuah warna netral yang bisa dianggap suci sekaligus menakutkan.

Sosok ini memang bukan siapa-siapa. Tak merujuk pada siapapun (meski ada nama pada judul), gitaris yang terkenal. Kita bisa menikmatinya sebagai sosok asing sekaligus akrab. Gitaris yang handal sekaligus tolol. Sebab tak ada garis-garis senar pada gitar itu. Banyak pilihan yang bisa dinikmati sekaligus dicemooh.

Batasan baik dan buruk pun sangat tipis dan nyaris tak kentara. Pun salah dan benar yang kini semakin subjektif dan samar.  Seperti dalam foto  berjudul "Everybody but Heaven Knows How I Was Wrong" karya Citra Sukma. Karya ini menampilkan sosok seorang biarawati yang berdiri di bawah pohon (semacam) akasia. Ia seorang diri diantara rindang dan rumput lapang.

Foto ini hanya sephia, tak perlu banyak warna. Seolah sempurna. Tapi montase dari dua gambar yang serupa itu sesungguhnya menjadikan ranting-ranting pohon tumbuh dengan patah. Karya mencoba mengakrabi religiusitas. Sekilas pandang pada foto itu seolah sempurna, seperti ketika realitas menganggap sesuatu tak salah. Namun sesungguhnya dengan cara pandang yang tak tergesa jelas akan berbeda.

Diantara salah dan benar ranting itu tumbuh, toh tetap saja bisa dinikmati. Menikmati montase yang cacat. Menikmati dunia yang tak banyak warna. Sederhana. Sungguh hidup tak perlu mencaci sebab kebenaran yang sesungguhnya hanya hak prerogatif pemilik surga (heaven).

Lagi-lagi tentang realitas. Pengulangan (repetisi) yang dianggap sama namun sesungguhnya tidak sama. Instalasi karya Gabriel Aries berjudul "Sleeping Beauty" mencoba mencerabut ingatan penikmatnya kepada folk tale tentang putri raja yang tertidur ratusan tahun dan terbangung saat pangeran tampan menciumnya. Karya sederhana menampilkan bantal dan guling tertata rapi di atas tempat tidur. Bukan kasur kapuk atau spring bed, melainkan tumpukan koran.

Lalu adakah celah imajinasi padanya? Jelas ada meski terlalu sederhana. Kecantikan yang universal sungguh diragukan adanya. Tak ada putri. Yang ada ruang kosong. Kita bisa merokunstruksi segala keindahan perempuan seliar mungkin. Melepas diri dari konvensi yang dijejalkan sejak mata kita melihat dunia. Konvensi yang -sesungguh- objektif dan kejam. Tumpukan koran jelas terlau mudah untuk dipahami sebagai representasi dari realitas.  Sesedarhana itu? mungkin, tapi mungkin pula tidak.

Rizki A Zaelani dan A Rikrik Kusmar dalam pengantar kuratorialnya mengakui, nasib (ekspresi) seni di era sekarang tetap akan ditentukan oleh bagaimana seni dianggap dan menunjukkan relasinya dengan preposisi tertentu mengenai sifat dasar realitas. Sehingga menunjukkan kaitan seni dengan dunia, dengan pengetahuan tentangnya, berarti juga menghubungkannya pada kekuasaan dan di situlah seorang seniman menemukan dan menghidupi image.

Sesuatu yang dianggap sebagai keadaan sekarang (now) tentu adalah segala hal yang mengitari dan menghampiri kesadaran kita. Tapi bisakah kita melihatnya? Realitas fotografik sekarang tak hanya nampak cemerlang, lebih indah dari aslinya, serta memesona. Namun juga menyisipkan bahkan terang-terangan menyertakan segala itikad dan hasrat yang tak bisa dipagarbatasi. Seluruhnya bergerak, berputar-putar, seakan adalah repetisi tiada henti, dan jadi aturan nilai ideologis ritual hidup keseharian kita.

Kedua kurator ini pun bersepakat dengan seniman legendaris Paul Cezanne. "What i am trying to translate to you is more mysterious; it is entwined in the very roots of being, in the implacable source of sensations". zaki zubaidi 

Tidak ada komentar: