Noire adalah istilah dalam bahasa Perancis yang artinya hitam. Noire berasosiasi dengan kemarahan, nihilisme, kekalutan, anarki, alienasi. Noire adalah rawa-rawa suram dalam hati di mana kegelapan berfermentasi. Noire mengintip ke lorong berliku dan kamar rahasia dunia yang berisi kegelapan. Noire menekankan pada hal yang kasar, sakit, keburukan dan sisi sadis pengalaman manusia. Noire mengajukan hal absurd. Noire adalah sisi hitam keputusasaan, kesunyian, kengerian, dan rasa takut manusia.
Itulah yang ingin disampaikan dalam pemeran fotografi
bertajuk “Noire” dihelat Institut Francais Indonesia (IFI) Surabaya (dulu
bernama CCCL) pada 17-26 Januari 2012.
“Kami ingin menggambarkan kemuraman, sekaligus kritik sosial terhadap
lingkungan. Baik tentang infrastruktur pemerintah, hingga iklan-iklan produk
yang marak di pasaran,” kata salah satu peserta pameran, Decky Yulian.
“Semua foto ini merupakan hasil interpretasi pemahaman masing-masing
fotografer mengenai noire,” kata Decky. Pameran diikuti antara lain Adi W,
Angga, Alif, Amiah Hayati, Amri, Dea Minarti, Reza Ahmadi, Rinaldi dan Mayang
Restanti. Mereka memang pecinta fotografi analog dari berbagai komunitas. Ada
tiga komunitas yang tergabung dalam pameran ini yakni Insomnium, Klastic
Malang, dan Malang Lomography.
Mengamati satu persatu karya yang dipamerkan memang ada
upaya untuk menampilkan “kegelapan” menggapai titik absurditas. Karya berjudul
“Beyond Human” karya Decky Yulian mengambil objek foto pepohonan menjulang
tinggi menggunakan low angle. Pemilihan judul tersebut memang memunculkan tanda
tanya: apa mungkin pepohonan itu melebihi manusia?. Memang ada semacam rasa
keputusasaan terhadap rasa kemanusiaan yang saat ini semakin terkikis. Manusia
membunuh manusia, misalnya. Jika kemuraman nasib ini dianggap noire, bisa
dikompromi. Namun apakah ini sebuah absurditas?
Foto berjudul “La Sorte” karya Emil Ismail menampilkan
simpang tiga jembatan kayu. Masing-masing ujungnya terpotong tepi frame. “La
Sorte” yang artinya nasib jelas ingin mengatakan bahwa hidup adalah pilihan.
Pemaknaan ini juga menganggap titik temu tiga jembatan itu adalah awal
penciptaan. Sesungguhnya nalar manusia tak akan mampu memastikan bagaimana
nasib akan berakhir. Hidup adalah serba mungkin. Menjadi sia-sia atau tidak
menjadi sia-sia.
Namun jika sebaliknya, titik pertemuan tiga jembatan itu
adalah sebuah akhir maka hidup adalah pasti. Dari ujung manapun pun bermula
pada satu titik semua akan bertemu. Dari rahim ibu siapapun pasti akan berkahir
pada maut. Memang semua gambar sangat suram dan muram namun belum mampu
mendifiniskan pemaknaan suatu karya yang benar-benar gelap. Apakah ini juga
sebuah absurditas?
Meski demikian ada juga beberapa karya yang berihtiar
menggelapkan dirinya. Salah satunya tanpa memberi judul foto tersebut. Tidak
mengarahkan penikmat pada satu hal, namun memberikan kebebasan -meskipun
fotografi tak akan bersungguh-sungguh menampilkan hal itu. Misalnya hasil
bidikan Avezine yang mengambil objek seorang perempuan berdiri sendiri. Di
belakang perempuan itu tampak tenda sirkus yang sangat besar, sedangkan di
hadapannya hanyalah tanah lapang.
Yang pasti tertangkap dengan mudah adalah tentang
kesendirian. Namun pemaknaan yang lain serba mungkin dan sangat terbuka. Ekspresi
wajah perempuan menggunakan rok tersebut
juga tak tertangkap. Blur. Namun objek perempuan dalam fotografi adalah suatu
yang sangat signifikan. Lalu ada apa di dalam tenda sirkus itu? Apakah ada
sebuah pertunjukan? Bagaimana ekspresi para penonton sirkus? Tapi jika dalam
tenda itu hanya kosong? Banyak kemungkinan yang ditawarkan. Termasuk fokus foto
tersebut, perempuan atau tenda sirkus? Jika foto ini bisa dianggap gelap,
apakah sudah mampu meringkuh absurditas?
Absurditas merupakan terminus yang sering digunakan filosof
eksistensialis untuk menggambarkan betapa anehnya kehidupan dunia ini. Salah
satu filosof yang sering menggunakan istilah tersebut dalam karya-karyanya
adalah Albert Camus. Filosof asal Perancis itu menegaskan, pada kenyataannya
kehidupan ini adalah tanpa tujuan. Manusia tiba-tiba lahir, mengada di dunia
dan wajib mengikuti serangkaian aturan berikut norma yang ada dalam masyarakat.
Dalam salah satu karya Camus, “Mite Sisifus”, dikemukakan
absurditas kehidupan lahir akibat kejenuhan manusia akan keteraturan aktivitas
hidup. Mula-mula apa yang dikerjakan dirasakan bermakna namun lambat laun
-dengan alur dan pola yang sama- makna itupun semakin kabur. Hingga hilang sama
sekali.
Pada momen ini Camus melontarkan sebuah pertanyaan
provokatif; “Apabila hidup sudah tidak bermakna, pantaskah untuk tetap
dijalani?”. Camus mengacu pada mitologi klasik Yunan, ketika Sisifus dihukum
para dewa untuk membawa batu ke puncak bukit, menggelindingkannya kembali ke
bawah lalu membawanya lagi ke atas. Terus dan berulang-ulang hingga menemui
ketidakbermaknaan hidup yang dijalani.
Menurut pengamat seni fotografi Nu’man Anggara, sesungguhnya
tidak akan ada pencapaian absurditas dalam fotografi. Jika hanya dianggap
sebagai suatu yang gelap memang sangat mungkin namun tidak sampai pada absurd.
“Noire sendiri tidak hanya sekadar gelap pada sisi visualitas namun lebih
ditekankan pada pemaknaan,” kata pria yang biasa dipanggil Gus Yus.
Absurditas dalam foto sebenarnya malah memang sering
dihindari. Sebab foto itu adalah pemaknaan yang langsung. Meskipun demikian
upaya pencapaian yang gagal tersebut tidak sama dengan kegagalan pameran ini
unjuk idealisme. Penggunaan kamera Lomo menurut Gus Yus memang cukup mewakili
penolakan terhadap selera pasar. “Kamera itu seperti menegaskan adanya media
sebagai pesan. Dalam hal ini alat itu sendiri juga membutuhkan kritik. Karena Lomo
itu sendiri adalah pesan. Sering kali Lomo diasosiasikan alat produksi yang
tidak difungsikan untuk fotografi serius. Padahal Lomo atau media jenis apapun
bukan subjek determinan karya itu harus dianalisis atau hanya sekadar
dilewatkan. zaki zubaidi