Bacaan dengan gambar-gambar yang menarik biasanya bisa dijumpai dalam komik. Tapi apakah semua cerita bergambar itu bisa disebut komik? Apakah Serat Sindujoyo adalah sebuah komik kuno? Ternyata tidak semudah itu menguak kebenarannya. Membutuhkan semiologi Roland Barthes untuk mengungkap relasi antara gambar dengan teks tulis dalam serat tersebut.
Hal inilah yang menjadi tema diskusi bulanan Forum Studi
Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), Senin (23/4) lalu. Sebagai pembicara adalah
Mashuri, peneliti dari Balai Bahasa Surabaya yang kini sedang menuntaskan tesis
pada Program S2 Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM)
Yogjakarta.
Serat Sindujoyo merupakan naskah lama yang berkisah riwayat
hidup Kiai Sindujoyo, tokoh yang dikenal sebagai pembuka kawasan Kroman dan
Lumpur, di Gresik, Jawa Timur. Dalam
naskah yang berisi epos kepahlawanan khas sebuah kampung di pesisir juga
terkandung unsur-unsur sastra babad karena menyangkut awal mula atau asal-usul
kejadian beberapa tempat yang bisa dilacak keberadaannya hingga kini.
Serat Sindujoyo
dipandang sebagai naskah sakral. Naskah itu baru bisa keluar dan
dibacakan di depan publik setiap tahun sekali untuk memperingati hari kematian
(haul) Kiai Sindujoyo, yaitu tiap pertengahan bulan Bakda Mulud, yaitu bulan
keempat dalam penanggalan Jawa dan Hijriyah. Pembacaan yang dimaksudkan adalah
dengan menembangkannya karena Serat Sindujoyo ditulis dalam metrum tembang
macapat.
Naskah ‘asli’ Serat Sindujoyo hanya bisa ditemukan di
kompleks makam Kiai Sindujoyo di kelurahan Lumpur di bawah pengawasan sang juru
kunci Darojat. Sedangkan yang beredar di publik, yang berada di tangan tiga
orang tokoh masyarakat adalah fotokopian.
Naskah Serat Sindujoyo disinyalir berbeda dengan naskah
pesisir lainnya. Kekhasan tersebut bukan hanya dari sisi puitika saja yang
disinyalir memiliki perbedaan dengan naskah bukan pesisir, tetapi juga dari
sudut pandang ilmu kodikologi (pernaskahan), struktur teks, unsur-unsur pembentuknya, serta komposisi
naskahnya.
Dalam khasanah naskah Jawa pesisir jarang dijumpai naskah
yang dilengkapi dengan gambar-gambar ilustrasi yang begitu dominan. Naskah Serat Sindujoyo terdiri dari dua teks
yaitu teks tertulis dan teks tergambar berupa ilustrasi. “Mengacu konsep teks
dari Roland Barthes, ilustrasi juga disebut sebagai teks,” kata Mashuri dalam
diskusi bulanan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), Senin (23/4)
lalu.
Teks tergambarnya demikian dominan. Dari 188 halaman naskah
Serat Sindujoyo, 107 di antaranya berisi ilustrasi, 76 halaman berisi ilustrasi
penuh. Selain itu, ada ilustrasi yang disisipkan di antara teks tertulis, baik
berada di bawah teks tertulis maupun di tengah teks tertulis. Penulis teksnya
adalah Kiai Tarub, sedangkan penggambar, penyungging atau ilustratornya adalah
Kiai Buder.
“Apakah itu tidak seperti ilustrasi saja, yang selalu ada
dalam komik,” tanya Suryadi, dosen Universitas Ciputar Surabaya. Mashuri pun
menerangkan, proporsi ilustrasi dalam Serat Sindujoyo hampir sama dengan teks
tertulisnya. Ilustrasi dalam Serat Sindujoyo tersebut tidak bisa dilepaskan
dari teks sebagaimana komik atau kartun yang masuk genre fiksi rupa karena
ilustrasi tersebut untuk menegaskan atau menerangkan cerita dalam teks.
“Pada awalnya saya juga menduga seperti itu. Tapi ternyata,
ilustrasi dalam serat itu tidak sekadar
melangkapi teks tulisnya. Namun teks tulis dan teks gambar tersebut itu saling
melengkapi. Nah, relasi akan menguak banyak hal,” terang Mashuri. Posisi
ilustrasi menyusun sebuah kerangka tersendiri sebagai sebuah konfigurasi tanda
dan memiliki relasi yang cukup kuat dengan struktur cerita. Ilustrasi itu juga
disertai keterangan tentang lakuan tokoh, profil, latar dan lainnya yang sesuai
dengan narasi tertulis.
Lebih lanjuit diterangkan, hingga kini keberadaan teks
tergambar dalam naskah itu belum mengalami keterbacaan yang memadai karena
ilustrasi hanya dipandang sebagai hiasan naskah, apalagi kajian relasi dan
saling pengaruh antara teks sastra dan teks tergambar yang berbasis naskah di
Indonesia masih jarang.
“Teks tergambar Serat Sindujoyo merupakan metabahasa dari
teks tertulisnya. Hal itu mengacu pada perluasan wilayah ekspresi dalam
kerangka sistem penandaan Barthes, yang terdiri dari ekspresi, isi dan relasi.
Untuk menukik ke hal-ihwal itu maka harus dikenali lebih dulu tentang kerangka
semiologi Barthes, yang di dalamnya terdapat beberapa kerangka pemikiran mulai
dari metabahasa, konotasi-denotasi, dan mitos,” papar Mashuri.
Kata Mashuri, konsep lain dari Barthes yang terkait dengan
konotasi dan metabahasa adalah teori mitos. Pada awalnya, gagasan mitos dalam
sistem penandaan Barthes digunakan sebagai kritik pada budaya massa. “Hanya
saja, pada kesempatan ini, mitos dipahami dalam kapasitasnya sebagai sistem
penandaan yang melibatkan ideologi di dalamnya,” jelas pria asal Lamongan ini.
Jika dirunut, sistem mitos Barthes berpangkal pada konotasi.
Ketika dalam penandaan sistem kedua itu melibatkan ideologi, maka ia menjadi
mitos. Konsepnya hampir sama dengan
sistem konotasi, hanya saja kerangkanya adalah adanya relasi antara sistem
tanda itu dengan unsur-unsur ideologi antara pembuat tanda dan penerimanya. Hal
itu karena mitos dipahami sebagai sebuah
sistem komunikasi dan wacana, yang di dalamnya terdapat pesan. zaki zubaidi