Minggu, 06 Mei 2012

Serat Sindujoyo”Hanya” Komik Kuno?


Bacaan dengan gambar-gambar yang menarik biasanya bisa dijumpai dalam komik. Tapi apakah semua cerita bergambar itu bisa disebut komik? Apakah Serat Sindujoyo adalah sebuah komik kuno? Ternyata tidak semudah itu menguak kebenarannya. Membutuhkan semiologi Roland Barthes untuk mengungkap relasi antara gambar dengan teks tulis dalam serat tersebut.

Hal inilah yang menjadi tema diskusi bulanan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), Senin (23/4) lalu. Sebagai pembicara adalah Mashuri, peneliti dari Balai Bahasa Surabaya yang kini sedang menuntaskan tesis pada Program S2 Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM) Yogjakarta.  

Serat Sindujoyo merupakan naskah lama yang berkisah riwayat hidup Kiai Sindujoyo, tokoh yang dikenal sebagai pembuka kawasan Kroman dan Lumpur, di Gresik, Jawa Timur.  Dalam naskah yang berisi epos kepahlawanan khas sebuah kampung di pesisir juga terkandung unsur-unsur sastra babad karena menyangkut awal mula atau asal-usul kejadian beberapa tempat yang bisa dilacak keberadaannya hingga kini.

Serat Sindujoyo  dipandang sebagai naskah sakral. Naskah itu baru bisa keluar dan dibacakan di depan publik setiap tahun sekali untuk memperingati hari kematian (haul) Kiai Sindujoyo, yaitu tiap pertengahan bulan Bakda Mulud, yaitu bulan keempat dalam penanggalan Jawa dan Hijriyah. Pembacaan yang dimaksudkan adalah dengan menembangkannya karena Serat Sindujoyo ditulis dalam metrum tembang macapat.

Naskah ‘asli’ Serat Sindujoyo hanya bisa ditemukan di kompleks makam Kiai Sindujoyo di kelurahan Lumpur di bawah pengawasan sang juru kunci Darojat. Sedangkan yang beredar di publik, yang berada di tangan tiga orang tokoh masyarakat adalah fotokopian.

Naskah Serat Sindujoyo disinyalir berbeda dengan naskah pesisir lainnya. Kekhasan tersebut bukan hanya dari sisi puitika saja yang disinyalir memiliki perbedaan dengan naskah bukan pesisir, tetapi juga dari sudut pandang ilmu kodikologi (pernaskahan), struktur teks,  unsur-unsur pembentuknya, serta komposisi naskahnya. 

Dalam khasanah naskah Jawa pesisir jarang dijumpai naskah yang dilengkapi dengan gambar-gambar ilustrasi yang begitu dominan.  Naskah Serat Sindujoyo terdiri dari dua teks yaitu teks tertulis dan teks tergambar berupa ilustrasi. “Mengacu konsep teks dari Roland Barthes, ilustrasi juga disebut sebagai teks,” kata Mashuri dalam diskusi bulanan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), Senin (23/4) lalu.

Teks tergambarnya demikian dominan. Dari 188 halaman naskah Serat Sindujoyo, 107 di antaranya berisi ilustrasi, 76 halaman berisi ilustrasi penuh. Selain itu, ada ilustrasi yang disisipkan di antara teks tertulis, baik berada di bawah teks tertulis maupun di tengah teks tertulis. Penulis teksnya adalah Kiai Tarub, sedangkan penggambar, penyungging atau ilustratornya adalah Kiai Buder.

“Apakah itu tidak seperti ilustrasi saja, yang selalu ada dalam komik,” tanya Suryadi, dosen Universitas Ciputar Surabaya. Mashuri pun menerangkan, proporsi ilustrasi dalam Serat Sindujoyo hampir sama dengan teks tertulisnya. Ilustrasi dalam Serat Sindujoyo tersebut tidak bisa dilepaskan dari teks sebagaimana komik atau kartun yang masuk genre fiksi rupa karena ilustrasi tersebut untuk menegaskan atau menerangkan cerita dalam teks.

“Pada awalnya saya juga menduga seperti itu. Tapi ternyata, ilustrasi dalam serat itu tidak  sekadar melangkapi teks tulisnya. Namun teks tulis dan teks gambar tersebut itu saling melengkapi. Nah, relasi akan menguak banyak hal,” terang Mashuri. Posisi ilustrasi menyusun sebuah kerangka tersendiri sebagai sebuah konfigurasi tanda dan memiliki relasi yang cukup kuat dengan struktur cerita. Ilustrasi itu juga disertai keterangan tentang lakuan tokoh, profil, latar dan lainnya yang sesuai dengan narasi tertulis.

Lebih lanjuit diterangkan, hingga kini keberadaan teks tergambar dalam naskah itu belum mengalami keterbacaan yang memadai karena ilustrasi hanya dipandang sebagai hiasan naskah, apalagi kajian relasi dan saling pengaruh antara teks sastra dan teks tergambar yang berbasis naskah di Indonesia masih jarang. 

“Teks tergambar Serat Sindujoyo merupakan metabahasa dari teks tertulisnya. Hal itu mengacu pada perluasan wilayah ekspresi dalam kerangka sistem penandaan Barthes, yang terdiri dari ekspresi, isi dan relasi. Untuk menukik ke hal-ihwal itu maka harus dikenali lebih dulu tentang kerangka semiologi Barthes, yang di dalamnya terdapat beberapa kerangka pemikiran mulai dari metabahasa, konotasi-denotasi, dan mitos,” papar Mashuri.

Kata Mashuri, konsep lain dari Barthes yang terkait dengan konotasi dan metabahasa adalah teori mitos. Pada awalnya, gagasan mitos dalam sistem penandaan Barthes digunakan sebagai kritik pada budaya massa. “Hanya saja, pada kesempatan ini, mitos dipahami dalam kapasitasnya sebagai sistem penandaan yang melibatkan ideologi di dalamnya,” jelas pria asal Lamongan ini.

Jika dirunut, sistem mitos Barthes berpangkal pada konotasi. Ketika dalam penandaan sistem kedua itu melibatkan ideologi, maka ia menjadi mitos.  Konsepnya hampir sama dengan sistem konotasi, hanya saja kerangkanya adalah adanya relasi antara sistem tanda itu dengan unsur-unsur ideologi antara pembuat tanda dan penerimanya. Hal itu karena  mitos dipahami sebagai sebuah sistem komunikasi dan wacana, yang di dalamnya terdapat pesan. zaki zubaidi