Kamis, 15 Maret 2012

Kegelapan Yang Gagal Menjangkau Absurditas


Noire adalah istilah dalam bahasa Perancis yang artinya hitam. Noire berasosiasi dengan kemarahan, nihilisme, kekalutan, anarki, alienasi. Noire adalah rawa-rawa suram dalam hati di mana kegelapan berfermentasi. Noire mengintip ke lorong berliku dan kamar rahasia dunia yang berisi kegelapan. Noire menekankan pada hal yang kasar, sakit, keburukan dan sisi sadis pengalaman manusia. Noire mengajukan hal absurd. Noire adalah sisi hitam keputusasaan, kesunyian, kengerian, dan rasa takut manusia.

Itulah yang ingin disampaikan dalam pemeran fotografi bertajuk “Noire” dihelat Institut Francais Indonesia (IFI) Surabaya (dulu bernama CCCL) pada 17-26 Januari 2012.  “Kami ingin menggambarkan kemuraman, sekaligus kritik sosial terhadap lingkungan. Baik tentang infrastruktur pemerintah, hingga iklan-iklan produk yang marak di pasaran,” kata salah satu peserta pameran, Decky Yulian.

“Semua foto ini merupakan hasil interpretasi pemahaman masing-masing fotografer mengenai noire,” kata Decky. Pameran diikuti antara lain Adi W, Angga, Alif, Amiah Hayati, Amri, Dea Minarti, Reza Ahmadi, Rinaldi dan Mayang Restanti. Mereka memang pecinta fotografi analog dari berbagai komunitas. Ada tiga komunitas yang tergabung dalam pameran ini yakni Insomnium, Klastic Malang, dan Malang Lomography.

Mengamati satu persatu karya yang dipamerkan memang ada upaya untuk menampilkan “kegelapan” menggapai titik absurditas. Karya berjudul “Beyond Human” karya Decky Yulian mengambil objek foto pepohonan menjulang tinggi menggunakan low angle. Pemilihan judul tersebut memang memunculkan tanda tanya: apa mungkin pepohonan itu melebihi manusia?. Memang ada semacam rasa keputusasaan terhadap rasa kemanusiaan yang saat ini semakin terkikis. Manusia membunuh manusia, misalnya. Jika kemuraman nasib ini dianggap noire, bisa dikompromi. Namun apakah ini sebuah absurditas?

Foto berjudul “La Sorte” karya Emil Ismail menampilkan simpang tiga jembatan kayu. Masing-masing ujungnya terpotong tepi frame. “La Sorte” yang artinya nasib jelas ingin mengatakan bahwa hidup adalah pilihan. Pemaknaan ini juga menganggap titik temu tiga jembatan itu adalah awal penciptaan. Sesungguhnya nalar manusia tak akan mampu memastikan bagaimana nasib akan berakhir. Hidup adalah serba mungkin. Menjadi sia-sia atau tidak menjadi sia-sia.

Namun jika sebaliknya, titik pertemuan tiga jembatan itu adalah sebuah akhir maka hidup adalah pasti. Dari ujung manapun pun bermula pada satu titik semua akan bertemu. Dari rahim ibu siapapun pasti akan berkahir pada maut. Memang semua gambar sangat suram dan muram namun belum mampu mendifiniskan pemaknaan suatu karya yang benar-benar gelap. Apakah ini juga sebuah absurditas?

Meski demikian ada juga beberapa karya yang berihtiar menggelapkan dirinya. Salah satunya tanpa memberi judul foto tersebut. Tidak mengarahkan penikmat pada satu hal, namun memberikan kebebasan -meskipun fotografi tak akan bersungguh-sungguh menampilkan hal itu. Misalnya hasil bidikan Avezine yang mengambil objek seorang perempuan berdiri sendiri. Di belakang perempuan itu tampak tenda sirkus yang sangat besar, sedangkan di hadapannya hanyalah tanah lapang.

Yang pasti tertangkap dengan mudah adalah tentang kesendirian. Namun pemaknaan yang lain serba mungkin dan sangat terbuka. Ekspresi wajah perempuan menggunakan  rok tersebut juga tak tertangkap. Blur. Namun objek perempuan dalam fotografi adalah suatu yang sangat signifikan. Lalu ada apa di dalam tenda sirkus itu? Apakah ada sebuah pertunjukan? Bagaimana ekspresi para penonton sirkus? Tapi jika dalam tenda itu hanya kosong? Banyak kemungkinan yang ditawarkan. Termasuk fokus foto tersebut, perempuan atau tenda sirkus? Jika foto ini bisa dianggap gelap, apakah sudah mampu meringkuh absurditas?

Absurditas merupakan terminus yang sering digunakan filosof eksistensialis untuk menggambarkan betapa anehnya kehidupan dunia ini. Salah satu filosof yang sering menggunakan istilah tersebut dalam karya-karyanya adalah Albert Camus. Filosof asal Perancis itu menegaskan, pada kenyataannya kehidupan ini adalah tanpa tujuan. Manusia tiba-tiba lahir, mengada di dunia dan wajib mengikuti serangkaian aturan berikut norma yang ada dalam masyarakat.

Dalam salah satu karya Camus, “Mite Sisifus”, dikemukakan absurditas kehidupan lahir akibat kejenuhan manusia akan keteraturan aktivitas hidup. Mula-mula apa yang dikerjakan dirasakan bermakna namun lambat laun -dengan alur dan pola yang sama- makna itupun semakin kabur. Hingga hilang sama sekali.

Pada momen ini Camus melontarkan sebuah pertanyaan provokatif; “Apabila hidup sudah tidak bermakna, pantaskah untuk tetap dijalani?”. Camus mengacu pada mitologi klasik Yunan, ketika Sisifus dihukum para dewa untuk membawa batu ke puncak bukit, menggelindingkannya kembali ke bawah lalu membawanya lagi ke atas. Terus dan berulang-ulang hingga menemui ketidakbermaknaan hidup yang dijalani. 

Menurut pengamat seni fotografi Nu’man Anggara, sesungguhnya tidak akan ada pencapaian absurditas dalam fotografi. Jika hanya dianggap sebagai suatu yang gelap memang sangat mungkin namun tidak sampai pada absurd. “Noire sendiri tidak hanya sekadar gelap pada sisi visualitas namun lebih ditekankan pada pemaknaan,” kata pria yang biasa dipanggil Gus Yus.

Absurditas dalam foto sebenarnya malah memang sering dihindari. Sebab foto itu adalah pemaknaan yang langsung. Meskipun demikian upaya pencapaian yang gagal tersebut tidak sama dengan kegagalan pameran ini unjuk idealisme. Penggunaan kamera Lomo menurut Gus Yus memang cukup mewakili penolakan terhadap selera pasar. “Kamera itu seperti menegaskan adanya media sebagai pesan. Dalam hal ini alat itu sendiri juga membutuhkan kritik. Karena Lomo itu sendiri adalah pesan. Sering kali Lomo diasosiasikan alat produksi yang tidak difungsikan untuk fotografi serius. Padahal Lomo atau media jenis apapun bukan subjek determinan karya itu harus dianalisis atau hanya sekadar dilewatkan. zaki zubaidi

Rite of Now: Mencari Celah Realitas




Kenyataan saat ini seoalah tak lagi memberi celah pada imajinasi. Ruang gerak seni dan sastra semakin sempit. Atau bahkan tak ada lagi. Segala bentuk atau peristiwa (atau papin sebutannya) yang dianggap imajinasi ternyata sudah banyak terjadi pada realitas sehari-hari.

Seorang Sujewo Tedjo pun mengakui hal ini. "Semua yang dulu hanya kita bayangkan imajinasikan kini telah terjadi. Saya tak tahu lagi cerita apa yang bisa dimainkan dalang," saat tampil di Festival Seni Surabaya (FSS) 2011 beberapa waktu lalu. Hingga Sujewo Tejo melakoni tugasnya sebagai dalang berdasar cerita yang diinginkan audien.

Begitu juga dalam sebuah karya seni rupa. Karya yang merepresentasikan realitas jelas tak akan menawarkan daya tarik apapun. Namun mencari celah imajinasi untuk memberi pemaknaan lain dari sebuah realitas harus tetap dijaga. Atau kalau tidak, matilah sang pencipta karya. Upaya ini tampak dalam pameraran “Rite of Now” yang dilaksanakan di Galery AJBS Surabaya pada 20-30 November 2011 lalu.

Pameran ini menampilkan 14 perupa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan berbagai bentuk karya mulai dari lukisan, fotografi, hingga instalasi. Pengunjung disuguhi karya-karya yang bisa dinikmati seolah dengan cara instan. Lukiasan berjudul “The Unknown; Unrate Musician: Potret Etza", karya sederhana menampilkan sosok gitaris dengan wajah paduan tampan dan cantik. Tak jelas sang gitaris perempuan atau lelaki.

Lukisan dari bahan cat minyak karya Aliansyah ini berada di wilayah remang. Dominasi warna cokelat tua pada latar, jas sang gitaris, hingga gitar menambah kesan kelam. Namun dikontraskan dengan warna putih pada kaos gitaris serta bagian tengah gitar. Sebuah warna netral yang bisa dianggap suci sekaligus menakutkan.

Sosok ini memang bukan siapa-siapa. Tak merujuk pada siapapun (meski ada nama pada judul), gitaris yang terkenal. Kita bisa menikmatinya sebagai sosok asing sekaligus akrab. Gitaris yang handal sekaligus tolol. Sebab tak ada garis-garis senar pada gitar itu. Banyak pilihan yang bisa dinikmati sekaligus dicemooh.

Batasan baik dan buruk pun sangat tipis dan nyaris tak kentara. Pun salah dan benar yang kini semakin subjektif dan samar.  Seperti dalam foto  berjudul "Everybody but Heaven Knows How I Was Wrong" karya Citra Sukma. Karya ini menampilkan sosok seorang biarawati yang berdiri di bawah pohon (semacam) akasia. Ia seorang diri diantara rindang dan rumput lapang.

Foto ini hanya sephia, tak perlu banyak warna. Seolah sempurna. Tapi montase dari dua gambar yang serupa itu sesungguhnya menjadikan ranting-ranting pohon tumbuh dengan patah. Karya mencoba mengakrabi religiusitas. Sekilas pandang pada foto itu seolah sempurna, seperti ketika realitas menganggap sesuatu tak salah. Namun sesungguhnya dengan cara pandang yang tak tergesa jelas akan berbeda.

Diantara salah dan benar ranting itu tumbuh, toh tetap saja bisa dinikmati. Menikmati montase yang cacat. Menikmati dunia yang tak banyak warna. Sederhana. Sungguh hidup tak perlu mencaci sebab kebenaran yang sesungguhnya hanya hak prerogatif pemilik surga (heaven).

Lagi-lagi tentang realitas. Pengulangan (repetisi) yang dianggap sama namun sesungguhnya tidak sama. Instalasi karya Gabriel Aries berjudul "Sleeping Beauty" mencoba mencerabut ingatan penikmatnya kepada folk tale tentang putri raja yang tertidur ratusan tahun dan terbangung saat pangeran tampan menciumnya. Karya sederhana menampilkan bantal dan guling tertata rapi di atas tempat tidur. Bukan kasur kapuk atau spring bed, melainkan tumpukan koran.

Lalu adakah celah imajinasi padanya? Jelas ada meski terlalu sederhana. Kecantikan yang universal sungguh diragukan adanya. Tak ada putri. Yang ada ruang kosong. Kita bisa merokunstruksi segala keindahan perempuan seliar mungkin. Melepas diri dari konvensi yang dijejalkan sejak mata kita melihat dunia. Konvensi yang -sesungguh- objektif dan kejam. Tumpukan koran jelas terlau mudah untuk dipahami sebagai representasi dari realitas.  Sesedarhana itu? mungkin, tapi mungkin pula tidak.

Rizki A Zaelani dan A Rikrik Kusmar dalam pengantar kuratorialnya mengakui, nasib (ekspresi) seni di era sekarang tetap akan ditentukan oleh bagaimana seni dianggap dan menunjukkan relasinya dengan preposisi tertentu mengenai sifat dasar realitas. Sehingga menunjukkan kaitan seni dengan dunia, dengan pengetahuan tentangnya, berarti juga menghubungkannya pada kekuasaan dan di situlah seorang seniman menemukan dan menghidupi image.

Sesuatu yang dianggap sebagai keadaan sekarang (now) tentu adalah segala hal yang mengitari dan menghampiri kesadaran kita. Tapi bisakah kita melihatnya? Realitas fotografik sekarang tak hanya nampak cemerlang, lebih indah dari aslinya, serta memesona. Namun juga menyisipkan bahkan terang-terangan menyertakan segala itikad dan hasrat yang tak bisa dipagarbatasi. Seluruhnya bergerak, berputar-putar, seakan adalah repetisi tiada henti, dan jadi aturan nilai ideologis ritual hidup keseharian kita.

Kedua kurator ini pun bersepakat dengan seniman legendaris Paul Cezanne. "What i am trying to translate to you is more mysterious; it is entwined in the very roots of being, in the implacable source of sensations". zaki zubaidi